Kebudayaan Bukan Benda Mati
Kebudayaan tidak sekadar kumpulan obyek atau deretan benda-benda mati, melainkan kumpulan relasi sosial.
Sudah jamak berkembang di masyarakat, ketika dilontarkan istilah kebudayaan, yang berkelindan di benak orang biasanya seputar kesenian atau cagar budaya. Pemahaman ini tidak sepenuhnya salah, hanya perlu diperluas cara pandangnya.
Pasal 43 dan 44 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menyebutkan, dalam memajukan kebudayaan, pemerintah pusat dan daerah bertugas ”menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan”.
”Bagaimana cara melihat seni dan budaya yang tidak mereduksinya menjadi kumpulan obyek? Lihatlah ekosistemnya,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid beberapa waktu lalu.
Dengan demikian, kebudayaan tidak sekadar kumpulan obyek atau deretan benda-benda mati, melainkan kumpulan relasi sosial yang bersifat dinamis. Karena itulah, pemahaman tentang kebudayaan dimulai dengan memperhatikan ekosistemnya.
Hal itulah yang dilakukan Pendiri Perkumpulan Eksotika Desa Panji Kusumah saat mendampingi masyarakat adat Desa Bayan di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
Untuk menggali potensi tenun, masyarakat diajak membuat ”peta pikiran”, mulai dari menelusuri bahan baku benang tenun, proses pemintalan benang, pewarnaan, pembuatan motif atau desain, proses penenunan, hingga bagaimana produk tenun sampai ke konsumen.
Baca juga: Kebudayaan yang Berdampak
Dalam proses pembuatan ”peta pikiran” inilah terlihat ekosistem tenun Bayan, mulai dari pelaku pemintalan benang, pewarnaan benang, pembuat motif, penenun, penjual, hingga konsumen. Seluruh proses ini didokumentasikan. Selanjutnya, masyarakat mengidentifikasi permasalahan-permasalahan berikut solusi-solusinya.
Salah satu masalah yang dialami masyarakat Desa Bayan terkait krisis penenun. Mereka kemudian berpikir tentang bagaimana melakukan regenerasi penenun.
Berangkat dari keresahan tersebut, ada keluarga yang kemudian menyediakan rumah mereka sebagai sanggar tempat belajar menenun. Anak-anak dari keluarga-keluarga kurang mampu dilatih belajar menenun.
Setelah bisa membuat motif dan menjahit, mereka akhirnya dapat membuat tenun. Tenun itu dijual dan uangnya bisa dipakai untuk biaya sekolah, menabung, bahkan membeli bibit tanaman untuk orangtua mereka.
”Akhirnya anak-anak ini mendapatkan tambahan penghasilan. Pola yang dikembangkan adalah bagi hasil antara pemilik sanggar dengan anak-anak penenun,” kata Panji.
Dengan berbekal ”peta pikiran”, masyarakat bisa bercerita tentang ekosistem budaya tenun sesuai versi mereka. Di sinilah terlihat tata interaksi yang saling menunjang antara pelaku, peserta, lingkungan alam, dan obyek-obyek pemajuan kebudayaan dalam suatu kawasan.
”Sumber daya manusia dan pemahaman masyarakat perlu dikuatkan. Merekalah pelaku sekaligus penjaga kebudayaan,” kata Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan di Kemendikbudristek Restu Gunawan.
Baca juga: Aku Berfestival, maka Aku Ada
Berbagai persoalan
Tak dimungkiri, pemajuan kebudayaan di Indonesia masih dibelenggu berbagai persoalan. Upaya mengatasinya tidak hanya membutuhkan peran pegiat budaya dan pemerintah. Perlu juga keterlibatan unsur-unsur lain untuk bergotong royong menghidupkan ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan.
Direktur Koalisi Seni Aristofani Fahmi mengatakan, ekosistem seni budaya di Indonesia saat ini belum seluruhnya menyadari perannya masing-masing. Pemda, misalnya, belum bertindak sebagai fasilitator.
Sejumlah pelaku dan penggiat seni budaya belum fokus merancang karya dan berkegiatan tanpa harus memikirkan kendala, seperti keterbatasan fasilitas dan pembiayaan. Hasil riset akademisi pun belum terkoneksi dan belum menjadi rujukan dalam dokumen perencanaan kebudayaan di pokok pikiran kebudayaan daerah (PPKD).
Pasar, dalam hal ini pelaku usaha dan masyarakat, belum mengapresiasi atau menempatkan karya seni budaya sebagai barang yang bernilai ekonomi tinggi. ”Karena itu, seluruh stakeholder strategis dalam ekosistem seni budaya kita perlu terus didorong untuk segera menyadari berdasarkan perannya,” ujar Aristofani, Minggu (2/6/2024).
Menurut Aristofani, salah satu upaya menghidupkan ekosistem seni budaya adalah memperbanyak forum dialog yang melibatkan seluas-luasnya pihak terkait. Pemda semestinya memfasilitasi masyarakat untuk bermusyawarah dalam merancang kerja kebudayaan hingga implementasi di daerahnya.
”Karena itu, praktik kebudayaan dapat kembali menjadi bagian kehidupan sehari-hari di masyarakat. Tidak hanya selesai saat pertunjukan, pameran, festival, atau helat meriah yang sejak lama menjadi pilihan pemerintah,” katanya.
Kebudayaan tidak sekadar kumpulan obyek atau deretan benda-benda mati, melainkan kumpulan relasi sosial yang bersifat dinamis.
Aristofani menuturkan, siklus ekosistem seni budaya, antara lain kreasi, produksi, konsumsi, distribusi, dan apresiasi selama ini berjalan masing-masing, baik itu masyarakat pelaku seni budaya, pemerintah, maupun akademisi. Menurut dia, masalahnya terletak pada paradigma kerja kebudayaan, minimnya pengetahuan terkait teknis dan tata kelola, serta trust issue.
Sejak adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, paradigma perencanaan kebudayaan berubah dari top down menjadi bottom up. UU ini memandatkan pemda menyusun mekanisme pelibatan publik dan membuka kesempatan seluas-luasnya pada masyarakat pelaku seni budaya untuk merancang dan melaksanakan praktik kebudayaannya sesuai apa yang dibutuhkan di daerahnya.
Akan tetapi, kondisi ideal ini belum terwujud karena minimnya pengetahuan para birokrat terkait teknis dan tata kelola penyusunan dokumen PPKD. Sering kali pelibatan masyarakat pelaku seni budaya pada program pemerintah hanya sebatas checklist. Bahkan, terkadang sebagian pelaku seni merasa dirugikan atas proses administrasi dan remunerasi yang tidak transparan.
Aristofani mengingatkan, saat ini, negara sedang dalam masa penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN). Untuk itu, Koalisi Seni mendorong semua pihak, baik pemerintah daerah, masyarakat pelaku seni budaya, maupun akademisi, untuk duduk bersama menyusun pemutakhiran PPKD, sinkronisasi ke dalam RPJMD, dan ditetapkan paling lambat Oktober 2024.
”Ini agar kebudayaan tidak lagi menjadi sektor paling belakang dan tidak penting dalam pembangunan. Sesuai tujuan UU Pemajuan Kebudayaan, yaitu menjadikan kebudayaan sebagai haluan pembangunan nasional,” katanya.
Penguatan ekosistem
Penguatan ekosistem kebudayaan melalui pembentukan kawasan pemajuan kebudayaan sempat mengemuka dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kebudayaan pada Oktober tahun lalu di Jakarta. Kawasan pemajuan kebudayaan menjadi salah satu gagasan yang perlu diakomodasi dalam perencanaan pembangunan nasional.
Wilayah Jatiwangi di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, direncanakan sebagai kawasan pemajuan kebudayaan. Gagasan ini berangkat dari keinginan komunitas masyarakat yang aktif berkebudayaan di daerah tersebut.
Baca juga: Rampak Genteng, Eksistensi Sentra Genteng Jatiwangi
Salah satu inisiator Jatiwangi Art Factory, Ismal Muntaha, mengatakan, kawasan pemajuan kebudayaan mempunyai beberapa syarat, yaitu komunitas yang bergerak memajukan kebudayaan, sumber daya yang diolah, dan bersinergi dengan pemda. Dengan demikian, kawasan ini akan mengintegrasikan berbagai pihak, seperti pegiat budaya, petani, perajin genteng dan bata, ibu rumah tangga, dan pelaku usaha.
”Hal ini sudah tertuang dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah Majalengka). Kami diminta membuat rencana aksi untuk lima tahun,” ujarnya.
Berbagai nilai budaya terus digali dalam aktivitas masyarakat. Bertani, misalnya, bukan sekadar bercocok tanam. Di dalam prosesnya juga terdapat berbagai ritual budaya yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak lama.
Ismal menambahkan, pihaknya menggelar pertunjukan Rampak Genteng setiap tiga tahun sekali. Kegiatan itu menunjukkan kreativitas warga mengolah genteng atau tanah liat menjadi produk berdaya guna, termasuk untuk berkesenian.
”Festival ini juga cara kami mengolah sumber daya dengan landasan kebudayaan. Salah satu ciri lingkungan yang bagus adalah jika kebudayaannya masih terjaga,” katanya.
Menurut Direktur Perlindungan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek Judi Wahjudin, ekosistem kebudayaan sangat luas. Karena itulah, pemajuan kebudayaan harus dilakukan secara bergotong royong dan sinergi.
Baca juga: Irama Tanah Kehidupan dari Jatiwangi