Perempuan Pekerja Informal, Kerja 40 Jam Per Minggu dengan Gaji Rendah
Perempuan menghadapi berbagai tantangan dan hambatan saat bekerja, termasuk saat memutuskan menjadi pekerja informal.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Beban kerja yang kerap lebih besar di sektor formal membuat sebagian besar perempuan di Indonesia memilih menekuni pekerjaan informal. Namun, pilihan itu harus dijalani di tengah jam kerja panjang dengan pendapatan rendah.
Kini, sebagian besar perempuan pekerja informal tercatat bekerja lebih dari 40 jam per minggu. Namun, lebih dari 70 persen di antaranya hanya mendapat kurang dari Rp 3 juta per bulan.
Deritanya tidak hanya itu. Selain harus ikut mengurus rumah tangga, perempuan di sektor informal jauh dari akses perlindungan sosial.
Dalam studi bertema ”Meningkatkan Akses terhadap Pekerjaan Bagi Pekerja Informal Perempuan Dalam Ekonomi Digital”, banyak perempuan pekerja informal di Indonesia belum mendapat perlindungan sosial. Studi ini dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama MicroSave Consulting (MSC) Indonesia.
Dari hasil studi terhadap 400 pekerja informal perempuan di sembilan provinsi pada tahun 2023, ada 97 persen perempuan pekerja informal tidak menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebanyak 88 persen juga tidak terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJamsostek).
”Sebanyak 98 dari pekerja informal perempuan tidak mendapatkan hak cuti maternitas atau akses layanan penitipan anak. Baru 21 persen dari pekerja informal perempuan dalam studi ini terafiliasi dengan serikat pekerja,” ujar Putu Monica Christy, Senior Manager MSC Indonesia di Jakarta, Kamis (30/5/2024).
Monica mengatakan, hasil studi menemukan perempuan umumnya lebih termotivasi memasuki dunia kerja informal. Pertimbangan jam kerja fleksibel dan cepat memperoleh pendapatan. Selain itu, mereka mempertimbangkan harus meluangkan waktu melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak.
Terkait keuangan digital, menurut Rhifa Ayudhia, Assistant Manager MSC Indonesia, studi ini menemukan rendahnya penggunaan layanan keuangan digital pada perempuan pekerja informal. Dalam hal ini mereka yang bekerja hibrida dan daring.
Mayoritas perempuan pekerja informasi lebih menyukai pembayaran tunai, 95 persen pekerja hibrida dan 99 persen pekerja daring. Sedangkan metode pembayaran nontunai, seperti transfer bank, lebih disukai pekerja daring (79 persen) dibanding pekerja hibrida (34 persen) dan offline (10 persen).
Selain itu, akses terhadap kredit juga masih rendah. Hanya 40 persen perempuan pekerja informal pernah mengambil kredit formal dan 26 persen kredit informal.
Kredit digunakan untuk memenuhi keperluan produktif, seperti pembelian alat kerja dan bahan baku. Selain itu, ada keperluan konsumtif, seperti memenuhi kebutuhan keluarga.
Selanjutnya, tim peneliti merekomendasikan dukungan bagi pekerja informal perempuan di ekonomi digital. Hal itu, antara lain, melalui layanan keuangan yang harus menyesuaikan dengan sifat dan karakteristik pekerjaan informal.
Selain itu, layanan pengasuhan anak perlu diperluas dengan basis komunitas, dengan standar dan kualitas yang ditetapkan, dan mengatasi stigma negatif ”penitipan anak”.
Tak hanya itu, perlindungan sosial harus inklusif, khususnya bagi perempuan usia reproduktif dan lanjut usia, dengan skema cuti melahirkan berbayar dan sistem pensiun universal.
”Akses pelatihan dan pengembangan karier yang sering tidak didapatkan oleh pekerja informal, harus inklusif, misalnya dengan pendekatan hibrida sehingga dapat diakses baik online maupun offline,” kata Monica.
Partisipasi rendah
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA Indra Gunawan mengungkapkan, penelitian ini bertujuan memahami pengalaman, hambatan, tantangan, dan pendukung perempuan dalam ekonomi digital. Studi terkait perempuan dalam ekonomi digital juga untuk menganalisis akses kerja bagi pekerja informal perempuan dalam ekonomi digital.
Alasannya, selama 20 tahun terakhir, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan berada pada kisaran 50 persen. Hal itu jauh di bawah partisipasi laki-laki, sebesar 80 persen.
”Meski jumlahnya lebih rendah, peluang perempuan lebih besar kemungkinannya untuk menjadi pekerja informal. Sekitar 66 persen atau 54,5 juta pekerja informal di Indonesia adalah perempuan,” papar Indra.
Bahkan, dari data Survei Angkatan Kerja Nasional di Badan Pusat Statistik Februari 2023, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki sebesar 83,98 persen dan perempuan 54,42 persen. Kondisi ini menunjukkan TPAK laki-laki lebih tinggi sekitar 1,5 kali TPAK perempuan.
Dari kondisi tersebut, persentase perempuan yang bekerja paruh waktu sebesar 37,88 persen, dibandingkan laki-laki sebesar 19,32 persen. Ini memengaruhi rata-rata upah selama sebulan. Pegawai laki-laki mendapat Rp 3,23 juta dibandingkan perempuan sebesar Rp 2,42 juta.
Data ini selaras dengan studi yang dilakukan Kementerian PPPA dan MSC, yakni perempuan pekerja lebih besar kemungkinannya untuk menjadi pekerja informal. Sektor informal yang banyak mendominasi yakni sektor pertanian, kehutanan, perdagangan serta industri pengolahan.
Hal tersebut menunjukkan perempuan belum sepenuhnya memiliki kesempatan berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja. Alasannya, adanya kombinasi dan interaksi dari berbagai faktor.
”Tingginya persentase perempuan yang bekerja di sektor informal karena terkait dengan status perkawinan, pendidikan, serta kondisi sosial ekonomi mereka,” kata Indra.
Perempuan menikah yang bekerja baik di sektor formal maupun informal lebih rendah daripada perempuan yang tidak menikah, yaitu 44 persen. Namun, angka tersebut menurun menjadi 41,78 persen ketika perempuan telah memiliki lebih dari dua anak. Penurunan menjadi semakin signifikan ketika perempuan menikah memiliki anak balita, yaitu di angka 19 persen.