Daftar Pasal Kontroversial dalam Draf Revisi UU Penyiaran
Pasal-pasal kontroversi dalam draf revisi UU Penyiaran tak hanya berdampak pada pers, tapi melibatkan kreator konten.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Draf revisi Undang-Undang Penyiaran yang terbaru menjadi kontroversi karena dianggap akan mengancam kebebasan pers, membatasi informasi publik, hingga membatasi keberagaman konten di ruang digital. Proses perumusannya pun tidak melibatkan masyarakat secara bermakna sehingga berpotensi terjadi tumpang tindih aturan.
Dewan Pers bersama komunitas pers, baik dari media massa maupun pers mahasiswa, akademisi, hingga institusi perguruan tinggi dengan tegas mendesak pemerintah dan DPR menghentikan proses legislasi yang akan mengubah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ini. Sebab, banyak pasal dalam revisi UU Penyiaran tersebut yang janggal dan tidak melalui proses yang benar.
Pertama, Pasal 50 B Ayat (2) dalam RUU Penyiaran dinilai akan mengancam kebebasan pers. Pasal itu memuat Standar Isi Siaran (SIS) yang salah satu poinnya adalah huruf c melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi.
Mandat penyelesaian sengketa karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers dan itu dituangkan dalam UU Pers.
Poin pelarangan ini tumpang tindih dengan Pasal 4q UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal yang lahir pascareformasi ini menegaskan bahwa tidak ada lagi ruang untuk tindakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan karya jurnalistik, termasuk liputan jurnalisme investigasi.
”Jurnalisme investigasi itu bagian dari hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Ini bukan bicara soal apa yang publik inginkan, tetapi apa yang publik butuhkan. Wartawan punya tugas untuk mendidik, bukan hanya memberikan informasi. Dan, untuk memenuhi hak masyarakat itu, ya, melalui jurnalisme investigasi," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nany Afrida, Selasa (21/5/2024).
Masih dalam pasal yang sama, pada Huruf g juga disebutkan, SIS akan mencakup larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku homoseksual, biseksual, dan transjender (LGBT). Poin ini tidak berperspektif jender, ruang-ruang berekspresi akan semakin sempit dan membuat kerja-kerja jurnalistik menjadi tidak inklusif.
Kemudian, RUU Penyiaran akan memberikan kewenangan berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI yang selama ini mengawasi TV dan radio akan diperluas untuk mengawasi konten digital juga melalui Pasal 1 Ayat (9) dan Pasal 17 revisi UU Penyiaran.
Meski dalam revisi UU Penyiaran tidak disebutkan secara eksplisit, Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis dalam pembahasan ini mengatakan, ”Baik live streaming maupun rekaman, podcast, dan sebagainya itu menjadi satu sama dengan isi siaran TV,” kata Abdul, Selasa (19/3/2024).
Artinya, pasal ini nantinya tidak hanya berpotensi mengekang jurnalis, tetapi juga para kreator konten dan pekerja seni karena KPI akan mendapatkan wewenang tambahan untuk menentukan kelayakan konten di platform-platform digital, baik audio maupun visual. Konten yang mengandung unsur kekerasan, rokok, mistis, narkotika, dan gaya hidup negatif akan disensor lalu mengakibatkan berkurangnya keragaman konten.
”Konten-konten mereka bisa dianggap memiliki unsur pornografi, kesusilaan, yang mana unsur-unsur ini kan sangat subyektif dan multitafsir. Kalau ini kemudian masuk, maka konten-konten mereka akan dibredel,” kata Astried Permata dari Jakarta Feminis.
Ketiga, Pasal 8A Huruf q juncto 42 Ayat (1) dan (2) pada RUU Penyiaran berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang Dewan Pers dan KPI. Sebab, nantinya, KPI juga berwenang menyelesaikan sengketa tayangan jurnalistik yang seharusnya diselesaikan Dewan Pers sesuai UU Pers.
Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 dan SIS. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers.
”Penyelesaian itu justru akan dilakukan oleh lembaga yang sebetulnya tidak punya mandat penyelesaian etik terhadap karya jurnalistik. Mandat penyelesaian sengketa karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers dan itu dituangkan dalam UU (Pers),” kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, Selasa (14/5/2024).
Berkas revisi UU Penyiaran dibuat oleh Komisi I DPR dan sekarang sudah diserahkan kepada Badan Legislasi DPR untuk dibahas dalam waktu dekat. Setelah itu, dalam beberapa langkah lagi bisa langsung diserahkan paling lambat sebelum 30 September 2024 atau sebelum sidang paripurna di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengklaim tidak ada upaya dari Komisi I untuk melakukan apa yang menjadi kekhawatiran tersebut. DPR melalui rapat Baleg dengan pemerintah berjanji akan membuka selebar-lebarnya partisipasi bermakna dari publik.
”Sebagai draf tentu penulisannya belum sempurna dan cenderung multitafsir. Tentu setelah menjadi RUU, maka RUU akan diumumkan ke publik secara resmi,” kata Meutya.