Orangtua Dilema Mengatur Penggunaan Telepon Seluler Anak
Pemakaian gawai oleh anak meningkatkan risiko gangguan mental. Orangtua dilema mengaturnya sebab gawai juga berguna.
Keterkaitan antara penggunaan telepon seluler pada anak dengan meningkatnya berbagai gangguan mental itu nyata. Namun, isu ini masih jauh dari bayangan banyak orangtua dan masyarakat. Jika tidak segera dikelola, permasalahan ini bisa menjadi bom waktu yang tidak hanya mengancam kesejahteraan keluarga, tetapi juga bangsa.
Dugaan depresi pada A (13), warga Kota Cirebon, Jawa Barat, akibat telepon selulernya dijual orangtuanya untuk kebutuhan makan sehari-hari yang mengemuka pada pertengahan Mei 2024, hanyalah satu dari banyak masalah gangguan mental akibat penggunaan gawai di masyarakat. Jutaan anak Indonesia lainnya dikhawatirkan menghadapi masalah yang sama.
Kekhawatiran itu cukup beralasan mengingat data State of Mobile 2024 yang dipublikasikan data.ai pada Januari 2024 menunjukkan, Indonesia adalah peringkat I sekaligus juara bertahan selama 2020-2023 untuk kategori waktu terpanjang yang dihabiskan dalam menggunakan gawai per hari. Sejak 2022, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang penduduknya menghabiskan lebih dari 6 jam per hari di depan gawai.
Baca juga: Ponselnya Dijual untuk Makan Keluarga, Anak di Cirebon Diduga Depresi
Waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia di depan gawai pada 2020 masih 5,63 jam per hari. Namun, pada 2023 menjadi 6,05 jam per hari. Sebagian besar waktu di depan gawai itu digunakan untuk mengakses media sosial, seperti Youtube, Tiktok, Whatsapp, dan Instagram. Peramban Chrome Browser juga masuk lima besar aplikasi yang banyak diakses masyarakat.
Data penggunaan gawai tersebut memang bersifat umum, tidak terfokus pada anak. Namun, karena sebagian besar pengguna gawai adalah anak dan orang muda, perilaku penggunaan gawai masyarakat itu sedikit banyak bisa menggambarkan bagaimana perilaku anak-anak Indonesia dalam memakai gawai.
Kondisi ini selaras dengan survei pengguna internet yang dipublikasikan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Februari 2024. Dari 78,19 persen penduduk pengguna internet pada 2023, sebanyak 34,40 persen di antaranya adalah generasi Z kelahiran 1997-2012 atau berumur 11 tahun-26 tahun. Dibandingkan generasi lain, generasi Z adalah persentase terbesar pengguna internet di Indonesia.
Di luar data, tentu kita mudah menyaksikan bagaimana anak-anak kita berinteraksi dengan gawai. Dalam kehidupan sehari-hari, berapa jam yang dihabiskan anak-anak kita untuk memegang ponsel? Saat acara keluarga, berkumpul bersama teman atau sepupu, berapa banyak waktu yang mereka gunakan untuk menatap layar gawai dibanding yang digunakan untuk saling mengobrol dengan yang lain?
Baca juga: Anak-anak Melawan Candu Gawai
Untuk orangtua, berapa banyak orangtua memilih memberikan ponselnya kepada anak balitanya agar tidak menangis dibanding mengajak mereka melakukan beragam aktivitas fisik? Berapa banyak orangtua yang sudah membekali anak-anak mereka yang duduk di bangku sekolah dasar dengan ponsel cerdas dan mahal? Berapa banyak orangtua bisa mengontrol apa yang disaksikan anak-anak mereka di ponsel?
Selama ini, kita masih terfokus pada isu pemerataan akses dan internet cepat untuk bangsa. Namun, sepertinya kita sangat kurang memberi perhatian pada pengelolaan penggunaan ponsel agar produktif dan tidak menjebak anak-anak dalam berbagai persoalan kesehatan mental di masa depan.
Plus minus
Penggunaan gawai pada anak remaja memang telah lama menimbulkan dilema pada orangtua. Di satu sisi, gawai memberi manfaat bagi remaja. Manfaat ini sejalan dengan survei Pew Research Center yang diterbitkan Maret 2024 yang menunjukkan 70 persen remaja berusia 13 tahun-17 tahun di AS menganggap penggunaan ponsel lebih banyak manfaat positif dibandingkan dampak negatifnya.
Selain itu, sebanyak 69 persen remaja mengaku lebih mudah melakukan hobi atau minat dengan bantuan gawai. Telepon cerdas juga membuat mereka menjadi lebih kreatif (65 persen), meningkatkan prestasi akademik di sekolah (45 persen), hingga mempermudah mencari sahabat baru (37 persen). Bahkan, ada 30 persen remaja yang menilai ponsel justru menjadi alat yang baik untuk mengasah kemampuan sosialnya.
Sementara studi lain menunjukkan besarnya keterkaitan antara penggunaan gawai dan meningkatnya masalah mental remaja di seluruh dunia. Data Survei Perilaku Berisiko Remaja 2011-2021 yang dikeluarkan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS (CDC) menemukan, 42 persen siswa sekolah menengah di AS merasa sedih dan putus asa dalam dua minggu terakhir hingga tidak bisa melakukan aktivitas harian. Bahkan, 30 persen siswi dilaporkan memiliki niat serius untuk bunuh diri.
Baca juga: Kecanduan terhadap Gawai Mengganggu Emosi dan Mental Anak
Seperti ditulis profesor psikologi di Universitas Bellarmine Louisville AS Hank Rothgerber di Psychology Today, 22 Juni 2023, sumber berbagai masalah mental remaja itu adalah gawai. Kesehatan mental remaja memang menurun progresif sejak 2010-2014 atau saat telepon cerdas muncul. Adapun studi Sapiens Lab di sejumlah negara yang dipublikasikan Mei 2023 menemukan risiko kesehatan mental anak perempuan turun dari 74 persen ke 46 persen saat batas usia diberikan gawai naik dari 6 tahun menjadi 18 tahun.
Selain itu, akses ponsel cerdas, khususnya media sosial, secara terus-menerus bisa membahayakan kesehatan mental remaja. Media sosial memicu tekanan terhadap citra tubuh dan menimbulkan ketakutan akan tertinggal informasi, tren tertentu, serta dikucilkan secara sosial. Penggunaan ponsel juga memicu gangguan tidur dan mendorong perbandingan terus-menerus dengan orang lain hingga menciptakan kecemasan secara berkelanjutan.
Sumber berbagai masalah mental remaja itu adalah gawai.
Studi lain yang dilakukan Jong Ho Cha dan rekan di Korea Selatan dan dipublikasikan di jurnal PLOS One, 6 Desember 2023, menemukan, jumlah remaja di negara itu yang menghabiskan lebih dari 4 jam di depan gawai meningkat dari 30 persen pada 2017 menjadi 55 persen pada 2020. Situasi itu meningkatkan gangguan kesehatan mental, penyalahgunaan narkotika dan zat aditif lain, serta memicu lonjakan kasus obesitas.
Kebingungan
Dampak positif dan negatif akibat penggunaan ponsel itu, menurut Rothgerber, telah memicu dilema sebagian orangtua. Meningkatnya gangguan mental remaja akibat gawai seolah mudah diatasi cukup dengan mencegah penggunaan ponsel atau membatasi akses media sosial anak selama mungkin.
Nyatanya, cara itu sering kali justru menimbulkan ketegangan hubungan orangtua dengan anak. Dengan akses ponsel dan media sosial yang terbatas, remaja akan kehilangan interaksi sosial dan mengalami pengucilan karena teman-teman sebayanya sudah menggunakan gawai. Situasi ini bisa memunculkan kecemasan lain pada remaja.
Setiap keluarga juga memiliki alasan tertentu untuk membekali atau mengizinkan anak mereka memiliki atau mengakses ponsel pada usia muda. Bahkan, sejumlah keluarga justru mendapatkan popularitas dan keuntungan ekonomi hingga lebih terhubung dengan orang lain saat memaparkan anak mereka dengan gawai dan media sosial sejak dini.
Pemberian akses terhadap gawai sejak dini juga menghindarkan orangtua dari rengekan dan rongrongan anak. Sebagian orangtua juga membolehkan penggunaan ponsel pada anak-anak mereka meski masih kecil karena merasa mampu mengawasi penggunaan ponsel anaknya hingga meningkatkan status sosialnya dalam keluarga masyarakat.
Karena itu, pembatasan ponsel dengan memberikan ponsel pada anak saat usia mereka 18 tahun akan memberi manfaat optimal saat semua orangtua melakukannya. Kondisi ini sepertinya sulit dicapai mengingat banyak orangtua sudah membekali anak sekolah dasar mereka dengan ponsel cerdas, bahkan memaparkan mereka dengan gawai dan media sosial sejak mereka masih bayi.
Baca juga: Persoalan Internet dan Gawai pada Remaja Perlu Disikapi dengan Bijak
Situasi ini pada akhirnya menjadi perlombaan orangtua untuk memaparkan anak-anak mereka dengan berbagai masalah kesehatan mental yang besar di masa depan. Kondisi ini sering kali justru berbalik menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran orangtua yang paham dampak negatif ponsel pada anak mereka, tetapi tidak sanggup mencegah penggunaan ponsel pintar pada anak mereka sejak dini.
Meski tidak mudah, Asosiasi Psikologi Amerika (APA) dalam situsnya 9 Mei 2023 menyarankan sejumlah hal yang bisa dilakukan orangtua terhadap penggunaan ponsel dan media sosial untuk anaknya. Upaya ini bertumpu pada pembatasan waktu, pemantauan dan pengawasan orangtua, serta diskusi berkelanjutan antara orangtua dan anak.
Hal utama yang perlu disadari adalah otak remaja sedang dalam fase perkembangan drastis sehingga sangat rentan dengan fitur-fitur tertentu pada media sosial. Di masa remaja awal, sekitar umur 10 tahun, bagian otak yang terkait dengan keinginan untuk mendapat perhatian teman sebaya menjadi sangat sensitif. Namun di masa ini, sistem kendali diri pada otak remaja belum matang.
Baca juga: Kecanduan Gawai Punya Dampak Serius
Karena itu, fitur ”like” pada media sosial dan kecerdasan buatan yang mendorong pengguliran atau scroll berlebihan bisa membahayakan perkembangan otak remaja. Untuk itu, pemakaian media sosial perlu dibatasi. Salah satunya dengan penggunaan pengaturan waktu yang ada di ponsel. Pastikan juga remaja tidur malam 8 jam agar otaknya tetap tumbuh sehat.
Selama anak menggunakan media sosial, pengawasan orangtua dan diskusi anak-orangtua harus terus berjalan. Cermati fungsi obrolan dan unggahan dalam media sosial untuk membatasi komunikasi anak dengan orang asing serta paparan konten dewasa dan membahayakan. Pada remaja awal, pembatasan akses media sosial hanya saat berada di rumah bisa dipertimbangkan.
Baca juga: Media Sosial Mencuri Kebahagiaanmu
Orangtua juga harus menjadi contoh yang baik dalam penggunaan ponsel dan media sosial. Percuma orangtua membatasi anak jika orangtua justru terlalu sibuk dengan gawainya. Hindari penggunaan gawai di meja makan atau saat kumpul keluarga. Pastikan pula diskusi dengan anak menggambarkan perasaan orangtua yang sebenarnya, berkomunikasi secara jujur, tidak penuh prasangka atau pemaksaan kehendak.
Tak hanya itu, orangtua perlu mencermati penggunaan media sosial yang tidak sehat. Apabila pemakaian ponsel dan media sosial sudah mengganggu kegiatan mereka sehari-hari, seperti sekolah, bersosialisasi dengan teman, tidur malam yang cukup, atau menjalani hobi sebelumnya, orangtua sudah harus waspada.
Demikian pula saat anak-anak mulai berbohong demi mengakses media sosial, memiliki dorongan kuat untuk terus menggunakannya, hingga ingin berhenti menggunakan media sosial, tetapi tidak berhenti-henti juga. Kondisi ini menjadi indikasi awal anak mengalami gangguan psikologi atau kesulitan dalam penggunaan media sosialnya. Menerapkan batasan baru penggunaan media sosial atau berkonsultasi dengan profesional kesehatan mental bisa ditempuh agar anak terhindar dari kecanduan gawai.
Orangtua seharusnya juga bisa membantu anaknya memahami literasi digital. Gawai dan media sosial sejatinya bisa bermanfaat bagi anak, termasuk dalam menginformasikan kesehatan mental. Karena itu, penggunaan gawai dan media sosial secara bertanggung jawab serta paham dengan risikonya perlu terus dibangun.
Bagaimanapun, kehadiran teknologi informasi tidak bisa dibendung. Toh, teknologi ini juga memberi banyak manfaat. Namun, upaya penggunaan gawai dan media sosial secara positif dan produktif perlu terus didorong. Pada akhirnya, waktu penggunaan gawai yang panjang bisa diminimalkan dampaknya selagi gawai digunakan untuk hal-hal yang berguna, terukur, dan meningkatkan kesejahteraan penggunanya.