Sampah Pembalut dan Popok Sekali Pakai Bebani Lingkungan
Sampah pembalut dan popok sekali pakai berisiko membebani lingkungan jika tidak dikelola dengan benar.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan pembalut dan popok sekali pakai dapat menghasilkan ribuan ton sampah setiap harinya. Sampah pembalut dan popok sekali pakai dengan bahan yang sulit terurai ini berisiko membebani lingkungan jika tidak dikelola dengan benar.
Peneliti Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lies Indriati, mengemukakan, fungsi utama dari pembalut dan popok sekali pakai adalah untuk menyerap cairan. Meski terdapat jenis yang digunakan berulang, produk ini mayoritas merupakan sekali pakai atau setelah digunakan langsung dibuang ke lingkungan.
”Pembalut dan popok sekali pakai yang langsung dibuang dapat berisiko menimbulkan pencemaran lingkungan. Sejumlah faktor yang menjadi beban lingkungan dari produk ini adalah bahan baku, jumlah atau volume, perilaku pengguna ataupun pengelola, regulasi, serta aspek pengelolaan sampah,” ujarnya dalam diskusi secara daring, Rabu (22/5/2024).
Mayoritas sampah popok bekas ini masih dibuang di tempat sampah, sungai, atau dikubur.
Hasil studi pada 2021 menunjukkan, potensi penggunaan popok bayi untuk usia 0-4 tahun sebesar 17,44 juta per hari. Berat popok yang telah digunakan ini pun meningkat menjadi 200 gram. Dari jumlah tersebut, potensi sampah yang dihasilkan mencapai 3.488 ton per hari.
Sementara untuk pembalut, total penggunaan untuk usia 15-49 tahun diperkirakan 1.151 juta per bulan. Adapun berat pembalut bekas ini 35 gram per pembalut sehingga potensi sampah yang dihasilkan mencapai 42.000 ton per bulan.
Secara umum, komponen popok bayi dan pembalut terdiri dari lima bagian, yaitu lapisan atas, lapisan acquisition distribution layer (ADL) khusus untuk pembalut, bagian inti penyerap, lapisan bawah, serta perekat dan kertas pelepas. Sejumlah komponen yang terdapat dalam lapisan tersebut juga mengandung bahan yang sulit terurai di lingkungan.
Komposisi pembalut sekali pakai yang sulit terurai ini meliputi 48 persen serat pulp fluf, 36 persen campuran plastik (polypropylene, polyethylene, dan polyethlene terephthalate), 7 persen perekat, 6 persen super-absorbent polymer (SAP), serta 3 persen kertas pelepas.
Menurut Lies, pada umumnya orangtua mengetahui ada komponen serat dalam popok dan memiliki risiko terhadap lingkungan. Namun, mayoritas sampah popok bekas ini masih dibuang di tempat sampah, sungai, atau dikubur. Sebagian orangtua memang telah memisahkan sampah ini, tetapi tidak mengetahui penanganan selanjutnya.
”Dari sisi pembalut, mayoritas perempuan juga memahami komponen dan risiko terhadap lingkungan. Akan tetapi, hampir semua menanganinya dengan cara dicuci dan air cucian dibuang ke saluran air kamar mandi. Kemudian umumnya pembalut bekas dibuang ke tempat sampah dan sedikit sekali yang ditangani khusus,” ucapnya.
Lies menyebut bahwa saat ini memang sudah ada regulasi terkait pengelolaan sampah, baik nasional maupun daerah. Akan tetapi, regulasi tersebut belum secara jelas dan tegas mengatur tentang sistem pengelolaan sampah produk penyerap higienis jenis sekali pakai.
Oleh karena itu, kata Lies, ke depan pihak-pihak terkait perlu mengembangkan bahan-bahan produk penyerap higienis sekali pakai yang lebih ramah lingkungan. Perlu juga mengedukasi masyarakat tentang produk dan potensi risiko lingkungan yang ditimbulkan serta membuat kebijakan guna mendukung pengelolaan sampah produk penyerap higienis sekali pakai.
Pengolahan sampah popok
Chief Executive Officer (CEO) Bank Sampah Bersinar Febriyanti SR mengatakan, pada 2020 pihaknya mulai melakukan pengelolaan sampah bayi bekerja sama dengan Balai Besar Pulp dan Kertas. Bank Sampah Bersinar kemudian membuat mesin pengolah sampah popok bayi menjadi produk turunan yang bisa dimanfaatkan.
Pengolahan sampah popok bayi ini pertama kali harus dimulai dengan memilah dari sumbernya. Setelah itu, sampah tersebut disetorkan ke Bank Sampah Bersinar. Dengan bantuan mesin, komponen sampah popok bayi yang akan dipisah adalah fiber, plastik, dan cairan SAP. Setiap komponen disalurkan ke pihak lain sebagai material produk turunan.
Febriyanti menegaskan bahwa tujuan dari bank sampah ini adalah mengajak masyarakat mulai mengelola dan memilah sampahnya dari rumah. Masyarakat juga diajarkan bahwa pemilahan sampah bisa memberikan dampak ekonomi.
”Kuncinya adalah kami mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah yang organik dan anorganik. Popok bayi yang bisa diterima juga harus bersih dari kotoran padat. Kami kembalikan lagi bahwa tanggung jawab pertama membersihkan popok dari kotoran padat adalah orangtua,” katanya.