Jawaban Nadiem Makarim atas polemik UKT dalam rapat dengan DPR dinilai hanya melempar bola panas ke pihak kampus.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketegasan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim dalam menindaklanjuti kenaikan uang kuliah tunggal sangat dinanti masyarakat. Desakan kini tidak hanya datang dari masyarakat serta mahasiswa dan orangtuanya sebagai pihak yang mengalami langsung, tetapi juga dari parlemen.
Dalam rapat kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Selasa (21/5/2024), semua anggota Komisi X mendesak Nadiem mencabut dan merevisi aturan terkait dengan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH). Aturan ini dinilai menyebabkan PTN menaikkan uang kuliah tunggal (UKT) yang membebani mahasiswa.
Ada dua peraturan yang diyakini menjadi penyebab UKT naik. Pertama, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan PTN Menjadi PTN BH dan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Jika benar yang dikatakan kementerian, semestinya UKT di ITB akan murah dan terjangkau oleh mahasiswa.
Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, jawaban Nadiem menanggapi hal tersebut tidak tegas. Nadiem hanya berjanji akan mengkaji, bukan mencabut.
Kemendikbudristek justru berdalih bahwa tarif SSBOPT sudah sesuai dengan kemampuan mahasiswa. Padahal, kenyataannya, kata Ubaid, SSBOPT ini dijadikan dasar oleh kampus-kampus untuk menaikkan UKT.
”Jadi, persoalan ini masih ruwet. Tiap-tiap pihak saling lempar bola panas. Satu sisi, Kemendikbudristek merasa sudah tetapkan pagu yang berkeadilan. Namun, di sisi lain, ketika pagu ini dirujuk oleh kampus dalam menentukan UKT, ternyata mahasiswa menjerit kemahalan,” kata Ubaid di Jakarta, Rabu (22/5/2024).
Pernyataan Kemendikbudristek yang menyebut kenaikan UKT hanya pada mahasiswa baru juga perlu dipertanyakan. Sebab, mahasiswa dari berbagai PTN sudah sejak 2019 menyuarakan uang kuliah tinggi setiap tahunnya saat memasuki masa penerimaan mahasiswa baru.
Ubaid menambahkan, kenaikan UKT yang terjadi di banyak PTN BH ini membuktikan bahwa ada kesalahan pada peraturan yang dibuat Kemendikbudristek, yakni Permendikbudristek No 2/2024 tentang SSBOPT yang dijadikan dasar kampus-kampus menaikkan UKT.
”Jika keributan ini terjadi di mana-mana dan di banyak kampus, jelas bahwa yang tidak berkeadilan atau yang bermasalah adalah kebijakan di level pusat,” ucapnya.
Institut Teknologi Bandung (ITB) yang diklaim Kemendikbudristek sebagai contoh baik di ruang rapat DPR juga dinilai keliru. Disebutkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Abdul Haris bahwa pada tahun 2023 komposisi proporsi anggaran ITB adalah dari APBN sebanyak 18 persen, UKT+IPI (Iuran Pengembangan Institusi) sebesar 26 persen, dan sumber lainnya 56 persen.
Di sisi lain, beberapa bulan lalu sempat viral gerakan mahasiswa ITB yang memprotes mahalnya UKT dan pemaksaan pihak kampus terhadap mahasiswa untuk ambil skema pinjaman daring sebagai dana talangan. Bahkan, Ketua Yayasan Beasiswa Luar Biasa (BLB) menyebut total tunggakan UKT mahasiswa ITB semester ganjil saat ini mencapai Rp 4,3 miliar.
”Jika benar yang dikatakan kementerian, semestinya UKT di ITB akan murah dan terjangkau oleh mahasiswa. Tapi, ternyata tidak, bahkan proporsi itu sama sekali tidak meringankan beban mahasiswa ITB,” tutur Ubaid.
Sementara itu, Abdul Haris dalam rapat mengatakan, Kemendikbudristek akan terus mengkaji akar masalah dan mencarikan solusi permasalahan yang terjadi setiap tahun ini. Mereka merasa sudah membuat aturan yang inklusif dan berkeadilan.
”Kami selalu mendengarkan dan menerima masukan secara saksama. Kami juga telah melakukan komunikasi yang intens dengan para pemimpin perguruan tinggi untuk menyamakan frekuensi dan menuju titik temu yang terbaik bagi kita semua,” ujar Abdul.
Berdasarkan data Kemendikbudristek, proporsi mahasiswa baru yang masuk ke dalam kelompok UKT tertinggi (kelompok 8-kelompok 12) hanya 3,7 persen dari total mahasiswa baru. Sebaliknya, 29,2 persen mahasiswa baru masuk ke kelompok UKT rendah, yakni tarif UKT kelompok 1, kelompok 2, dan penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, sehingga melampaui mandat 20 persen dari UU Pendidikan Tinggi.
Mahasiswa yang tidak ditempatkan sesuai dengan kemampuan ekonominya bisa mengajukan peninjauan kembali ke PTN untuk disesuaikan. Hal ini, kata Abdul, dijamin dalam Permendikbudristek No 2/2024 tentang SSBOPT PTN.
Abdul juga menegaskan, status PTN BH bukan penyebab UKT naik karena PTN seharusnya bersifat nirlaba. PTN BH memiliki otonomi untuk menjalin kerja sama, mengelola dana abadi, menjalankan usaha, dan mengelola aset sehingga tidak semata-mata bergantung pada UKT dari mahasiswa untuk pendanaannya.
Oleh sebab itu, Nadiem mengingatkan para pengelola PTN untuk tidak menaikkan UKT terlalu tinggi dalam waktu dekat. Penghitungan besaran UKT harus selalu mengedepankan asas keadilan dan inklusivitas.
”Saya meminta semua ketua perguruan tinggi dan prodi-prodi untuk memastikan bahwa kalaupun ada peningkatan, harus rasional, harus masuk akal, dan tidak terburu-buru tergesa-gesa melakukan lompatan yang besar,” kata Nadiem.