Meski raga Romo Mangun telah tiada 25 tahun lalu, keteladanannya yang menginspirasi harus diteruskan ke generasi muda.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
Pengabdian YB Mangunwijaya tak lekang oleh waktu. Meski raganya telah tiada 25 tahun lalu, pemikiran dan karyanya tetap menginspirasi hingga saat ini, termasuk kepada generasi muda. Sosok yang akrab disapa Romo Mangun ini menjadi imam Katolik yang berkarya nyata di luar altar gereja membantu kaum papa.
Upaya meneruskan semangat spiritualitas Romo Mangun ini dilakukan Bentara Budaya bersama Panitia Peringatan 25 Tahun Wafatnya Romo Mangun di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Jakarta, Sabtu (18/5/2024), dalam sebuah diskusi yang dikemas ringan dengan ngobrol asyik. Obrolan dipantik oleh Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) 2019-2023 Komaruddin Hidayat, Ketua Pengurus Yayasan Dinamika Edukasi Dasar Romo CB Mulyatno Pr, dan pelaku budaya Inaya Wahid.
Puluhan anak muda generasi Z mulai dari pelajar hingga mahasiswa datang menjaring inspirasi Romo Mangun dari ketiga pemantik. Salah satu pelajar bertanya, masih adakah sosok seperti Romo Mangun di masa sekarang yang bisa ditemui mereka? Mereka merasa tokoh-tokoh saat ini belum ada yang bisa setara dengan sosok Romo Mangun.
Kata kunci yang diwariskan Romo Mangun itu kesetiakawanan. Hidup itu bergerak dari hati sebagai proses memaknai kesetiakawanan.
Menurut Inaya, adalah hal wajar jika anak muda saat ini tidak menemui sosok-sosok tokoh seperti Romo Mangun. Sebab, mereka banyak yang terkungkung dalam algoritma internet, sementara tokoh-tokoh yang berkarya di masyarakat justru kurang populer di dunia maya.
”Hari ini banyak dari tokoh-tokoh yang mengabdikan hidupnya untuk masyarakat itu masih ada, mereka tidak muncul karena mereka tidak jualan konten. Hari ini yang muncul di algoritma kita itu orang-orang yang berkebalikan dengan mereka,” kata Inaya.
Putri bungsu dari Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini mencontohkan masih banyak tokoh masyarakat yang berjuang di masyarakat. Misalnya, perempuan yang berjuang dengan menenun untuk bertahan dari lahan tani mereka yang tergusur kepentingan investasi, tokoh agama yang turun dari mimbarnya agar lebih bermakna bagi masyarakat, dan sebagainya.
Begitu pula dengan anak muda generasi Z yang berjuang melalui gerakan sosial, baik secara langsung maupun di dunia maya, untuk mengawal kebijakan pemerintah. Pertemuan ini, kata Inaya, adalah wadah untuk mengingatkan kembali esensi dari perjuangan Romo Mangun yang sampai saat ini masih relevan.
”Kita tidak pernah bertanya, ’Saya bisa tidak terinspirasi dari Romo Mangun?’ Kita selalu menuntut orang lain untuk menjadi tokoh, tetapi tidak melemparkannya pada diri kita sendiri,” ucapnya.
Romo Mulyatno mengungkapkan bahwa Romo Mangun menolak untuk disanjung berlebihan, bahkan tak mau disebut sebagai pahlawan atau tokoh bangsa. Pelayanannya selalu berdasarkan pada nilai-nilai kasih dan kemanusiaan.
Dia bercerita, sekitar tahun 1997, saat acara peresmian Sekolah Mangunan, DI Yogyakarta, oleh utusan Kementerian Pendidikan, Romo Mangun mengajak anak-anak jalanan dari bantaran rel kereta untuk makan bersama di rumah makan. Selesai acara, sisa makanan anak-anak tersebut dihabiskan oleh Romo Mangun di hadapan utusan menteri.
Selain itu, dalam suatu pertemuan lain dengan Gus Dur dan beberapa tokoh, Romo Mangun menyatukan semua sisa teh hangat lalu meminumnya sampai habis. Hal itu dilakukan Romo Mangun semata untuk mengingatkan bahwa rezeki tak boleh disia-siakan.
”Kata kunci yang diwariskan Romo Mangun itu kesetiakawanan. Hidup itu bergerak dari hati sebagai proses memaknai kesetiakawanan. Lalu, tentang sekolah itu, ya, seluruh aktivitas kehidupan kita di tengah masyarakat, bukan gedung sekolah,” ucap Mulyatno.
Menurut Komaruddin Hidayat, yang besar di Pondok Pesantren Pabelan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Romo Mangun bukan hanya tokoh bagi umat Katolik. Keteladanannya sudah menjadi sosok yang terpandang dan menginspirasi umat agama lain.
”Romo Mangun itu total mewakafkan dirinya untuk Tuhan, yang dituangkan untuk kemanusiaan dan diwujudkan untuk kebangsaan dalam konteks keindonesiaan. Manifestasi dia tidak hanya dalam berbagai tulisan, tetapi juga dalam tindakan,” ujar Komaruddin.
Semasa hidupnya, Romo Mangun secara konsisten dan berani membela rakyat yang terpinggirkan dan tersisih. Karya-karya Romo Mangun juga muncul salam beragam bentuk, mulai dari arsitektur, sastra-budaya, sosial-politik, pendidikan, hingga gerakan sosial. Pembelaannya terhadap kaum lemah dilakukan melalui berbagai upaya, seperti seminar, ceramah, khotbah, tulisan artikel, dan buku.
Selain sebagai imam Katolik, Romo Mangun juga dikenal sebagai aktivis, arsitek, dan sastrawan. Pada masa Orde Baru, lelaki kelahiran 6 Mei 1929 itu mendampingi masyarakat di pinggir Sungai Code, Yogyakarta, serta mengadvokasi korban-korban penggusuran akibat pembangunan Waduk Kedungombo di Jawa Tengah. Romo Mangun meninggal dunia pada 10 Februari 1999.