logo Kompas.id
HumanioraMemahami Kebudayaan sebagai...
Iklan

Memahami Kebudayaan sebagai Investasi

Banyak negara telah mengalokasikan anggaran khusus untuk sektor kebudayaan. Mereka melihat kebudayaan sebagai investasi.

Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
· 5 menit baca
Sejumlah seniman bersiap menampilkan Rampak Genteng dalam penutupan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kebudayaan di Gedung Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Jakarta, akhir Oktober 2023.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Sejumlah seniman bersiap menampilkan Rampak Genteng dalam penutupan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kebudayaan di Gedung Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Jakarta, akhir Oktober 2023.

Banyak negara meyakini bahwa kebudayaan adalah ”detak jantung” masyarakat. Karena itulah, pendanaan untuk sektor kebudayaan mesti dianggap sebagai sebuah investasi, bukan sekadar biaya pengeluaran.

Sejak International Fund for Cultural Diversity (IFCD) diluncurkan pada tahun 2010, UNESCO telah menginvestasikan lebih dari 9,4 juta dollar AS di 129 proyek di 65 negara anggota. IFCD merupakan bagian dari Konvensi UNESCO 2005 tentang Perlindungan dan Pemajuan Keanekaragaman Ekspresi Budaya. Saat ini, 44 persen dana IFCD telah diinvestasikan di Afrika, terutama di negara-negara berkembang dan kepulauan-kepulauan kecil.

Pada tahun 2019, rata-rata 1,2 persen dari total belanja pemerintahan di negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga dialokasikan untuk sektor kebudayaan. Negara-negara seperti Estonia, Latvia, Hongaria, dan Eslandia bahkan sampai menyisihkan hampir 3 persen anggaran belanja mereka untuk sektor kebudayaan (https://www.oecd-ilibrary.org).

Kebijakan serupa dilakukan National Endowment for the Arts (NEA) di Amerika Serikat yang memberikan hibah lebih dari 84 juta AS untuk mendukung proyek seni secara nasional pada tahun 2020. Hal ini menggarisbawahi komitmen moneter yang besar terhadap seni, yang mencerminkan upaya untuk mempertahankan dan memelihara sektor penting kebudayaan.

Setahun sebelumnya, pada 2019, sektor seni dan budaya di Amerika Serikat mampu menyumbang kontribusi ekonomi luar biasa sebesar 877,8 miliar dollar AS. Jumlah ini setara dengan 4,5 persen produk domestik bruto Amerika Serikat.

Di Eropa, Uni Eropa mengalokasikan sekitar 1,46 miliar euro untuk program Eropa Kreatif pada periode 2014-2020 (https://gitnux.org). Angka ini merupakan bukti nyata dukungan Uni Eropa terhadap kegiatan seni budaya.

Baca juga: Menimbang Impian Lama Membentuk Kementerian Kebudayaan

Atraksi seni topeng ireng dari Komunitas Lima Gunung menyemarakkan pembukaan kegiatan Indonesia Bertutur di kompleks Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, September 2022.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Atraksi seni topeng ireng dari Komunitas Lima Gunung menyemarakkan pembukaan kegiatan Indonesia Bertutur di kompleks Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, September 2022.

Talangan darurat

Tak bisa dihindari, pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu benar-benar memberikan pukulan berat pada sektor kebudayaan. Di tengah aktivitas kebudayaan yang ”mati suri” selama masa pandemi, para pelaku kebudayaan di sejumlah negara meminta pemerintah untuk menyediakan dana talangan darurat.

Jika dilihat dari besaran dana pemulihan, Amerika Serikat tercatat mengalokasikan anggaran terbesar, mencapai 15,71 miliar dollar AS, disusul Perancis (8,3 miliar dollar AS), Kanada (4,7 miliar dollar AS), Inggris (2,74 miliar dollar AS), Jerman (2,37 miliar dollar AS), Norwegia (543,8 juta dollar AS), Korea Selatan (269,1 juta dollar AS), Singapura (55,6 juta dollar AS), dan Afrika Selatan (6,64 juta dollar AS).

Namun, jika dilihat dari jumlah populasi, Perancis tergolong unggul dalam pendanaan kebudayaan per kapita disusul Kanada dan Norwegia. Sementara itu, Amerika Serikat yang mengalokasikan nominal anggaran kebudayaan terbesar, tetapi memiliki populasi tertinggi di antara negara-negara lainnya, akhirnya harus berada di urutan ke-4, disusul Inggris, Jerman, Singapura, Korea Selatan, dan baru Afrika Selatan (https://news.artnet.com).

Pada tahun 2022, pendanaan dari pemerintah federal, negara bagian, dan daerah di Amerika Serikat untuk sektor seni budaya mencapai 1,85 miliar dollar AS. Rinciannya meliputi National Endowment for the Arts (NEA) menerima dana 180 juta dollar AS (meningkat 7,5 persen), State Arts Agencies (SAA) menerima 833 juta dollar AS (naik 106,8 persen), dan Local Arts Agencies (LAAs) menerima 837 juta dollar AS (naik 23,5 persen).

Iklan

Amerika Serikat yang mengalokasikan nominal anggaran kebudayaan terbesar, tetapi memiliki populasi tertinggi di antara negara-negara lainnya, akhirnya harus berada di urutan ke-4, disusul Inggris, Jerman, Singapura, Korea Selatan, dan baru Afrika Selatan.

Direktur Senior Penelitian National Assembly of State Arts Agencies Ryan Stubbs mengatakan, pendanaan untuk sektor seni di Amerika Serikat turun pada tahun 2021 akibat dampak pandemi. Para pengambil kebijakan kemudian merespons tantangan ini dengan menyalurkan bantuan dana.

”Kombinasi bantuan federal dan negara bagian, serta membaiknya perekonomian ketika dibuka kembali (pascapandemi), menyebabkan pendanaan sektor seni mencapai angka tertinggi sepanjang masa pada tahun anggaran 2022,” ujarnya seperti dikutip dalam Grantmakers in the Arts, Annual Arts Funding Snapshot 2023.

Keberpihakan Amerika Serikat pada sektor seni budaya tidak sia-sia. Pada 2022 pula, sektor ini mampu menyumbang kontribusi ekonomi sebesar 1,1 triliun dollar AS atau 4,3 persen dari produk domestik bruto Amerika Serikat.

Atraksi kesenian tayub menyemarakkan acara tradisi Merti Tirta Amerta Bhumi di Situs Liyangan, Dusun Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung, Jawa Tengah, Oktober 2023.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Atraksi kesenian tayub menyemarakkan acara tradisi Merti Tirta Amerta Bhumi di Situs Liyangan, Dusun Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung, Jawa Tengah, Oktober 2023.

Dana perwalian kebudayaan

Meski belum terlalu lama seperti Amerika Serikat atau negara-negara Eropa, Pemerintah Indonesia juga mulai mengalokasikan Dana Perwalian Kebudayaan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemajuan kebudayaan seturut amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dana Perwalian Kebudayaan merupakan wadah pengelolaan dana hibah dari berbagai sumber, baik dari pemerintah maupun donasi swasta.

Dana Perwalian Kebudayaan merupakan dana yang dihimpun kemudian diinvestasikan dalam bentuk saham, obligasi, atau surat berharga lainnya. Hasil investasi dari dana inilah yang kemudian disebut Dana Abadi yang bisa digunakan untuk pendanaan kegiatan pemajuan kebudayaan.

Tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 2 triliun untuk Dana Perwalian Kebudayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dana Perwalian Kebudayaan yang diwujudkan lewat dana abadi kebudayaan dan kemudian disebut Dana Indonesiana ini bersumber dari dana pokok yang diinvestasikan dan bunganya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pelindungan, pengelolaan, dan penguatan kebudayaan. Pengelola Dana Indonesiana ini adalah Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Menurut peneliti Koalisi Seni Ratri Ninditya, dalam riset Koalisi Seni berjudul ”Keberlangsungan Lembaga Seni Delapan Kota” (2015) ditemukan fakta-fakta yang menegaskan bahwa faktor pendanaan merupakan hal krusial untuk laju perkembangan seni Indonesia. Sayangnya, kontribusi pemerintah terhadap pendanaan seni masih sangat minim.

”Dari 227 responden, hanya 33,9 persen yang memperoleh pendanaan dari pemerintah daerah, sementara 15,4 persen (lainnya) didanai pemerintah pusat. Sebanyak 68 persen lembaga seni menyatakan tidak ada sosialisasi dari pemerintah mengenai dukungan untuk seni sehingga akses ke dana publik menjadi sulit,” paparnya.

Pada umumnya, dukungan dari pihak swasta terhadap kesenian masih berupa sponsor kegiatan yang mengharapkan kontraprestasi ketimbang donasi melalui tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Dampaknya, mayoritas lembaga seni (79,7 persen) masih bergantung pada pendanaan swadaya dari sumber daya internal.

Ratri juga menemukan adanya ketimpangan pendanaan antara pegiat seni pemula dan nonkomersial yang lebih sulit mendapat pendanaan ketimbang seniman komersial yang sudah populer. Sejumlah kegiatan seni, seperti penelitian, penerbitan, ataupun pengarsipan, juga kurang menarik donor dibandingkan pertunjukan, festival, ataupun pameran.

Karena itulah, kemunculan Dana Indonesiana dengan sistem penganggaran yang lebih fleksibel diharapkan bisa menjawab berbagai macam kebuntuan terkait pendanaan kegiatan-kegiatan seni budaya. Menurut Ratri, fasilitas ini diharapkan bisa memberikan kesempatan kepada pelaku-pelaku baru kesenian untuk berkembang mengingat selama ini mekanisme sponsorship dari perusahaan cenderung memilih seni komersial atau pelaku yang sudah terkenal.

Akan tetapi, selain dari sisi investasi ekonomi, tentu kebudayaan memiliki nilai-nilai imateriel lain yang tidak kalah luar biasa. Di tengah banyaknya krisis yang terjadi di seluruh penjuru bumi, manusia butuh waktu untuk saling terhubung, saling memahami, dan membayangkan masa depan yang lebih baik.

Baca juga: Mengoptimalkan Potensi Museum dan Cagar Budaya

Di sinilah, musik, seni, sastra, bioskop, tari, dan beragam ekspresi budaya serta kreativitas lainnya memiliki kekuatan untuk menyembuhkan, memberdayakan, dan mendorong momentum guna mengatasi berbagai tantangan. Ini semua bisa terjadi jika seluruh komponen masyarakat benar-benar bisa memahami kebudayaan sebagai sebuah investasi.

Editor:
ICHWAN SUSANTO, ADHITYA RAMADHAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000