Media Sosial Pengaruhi Kesejahteraan dan Pilihan Karier Anak Perempuan
Media sosial tidak terpisahkan dari keseharian. Dampaknya pada anak perempuan perlu diwaspadai.
JAKARTA, KOMPAS — Media sosial memengaruhi kesejahteraan, pembelajaran, dan pilihan karier anak perempuan. Hal ini disebabkan keberadaan media sosial memperkuat stereotipe jender.
Laporan baru UNESCO berjudul Technology on Her Terms memperingatkan, meski teknologi digital dapat meningkatkan pengajaran dan pembelajaran, teknologi ini menghadirkan risiko seperti pelanggaran privasi pengguna, gangguan dalam pembelajaran, dan penindasan di dunia maya (cyberbullying).
Selain itu, media sosial juga dapat memperkuat stereotipe jender. Kondisi tersebut berdampak negatif terhadap kesejahteraan (wellbeing), pembelajaran, dan pilihan karier anak perempuan.
Baca juga: Media Sosial, Ruang Rentan bagi Perempuan
Direktur Jenderal Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) Audrey Azoulay, seperti dikutip dari laman resmi UNESCO, Senin (13/5/2024), mengutarakan, kehidupan sosial anak-anak semakin banyak diperbincangkan di media sosial.
Namun, sering kali platform berbasis algoritma memperbesar paparan terhadap norma jender negatif. ”Aspek etis harus dipertimbangkan dalam desain platform ini. Media sosial tak boleh membatasi perempuan dan anak perempuan pada peran yang membatasi aspirasi pendidikan dan karier mereka,” kata Audrey.
Pengaruhi kesehatan mental
Dari laporan UNESCO didapati bahwa konten berbasis gambar dan berbasis algoritma, terutama di media sosial, bisa memaparkan anak perempuan pada materi mulai dari konten seksual hingga video yang mengagungkan perilaku tidak sehat atau standar tubuh tidak realistis.
Paparan tersebut dapat berdampak buruk pada harga diri dan citra tubuh anak perempuan. Pada gilirannya, hal ini berdampak pada kesehatan mental dan kesejahteraan anak perempuan, yang penting bagi keberhasilan akademis.
Berdasarkan riset Facebook, sekitar 32 persen gadis remaja menuturkan ketika mereka merasa buruk terhadap tubuh mereka, Instagram justru membuat mereka merasa lebih buruk. Hal ini juga menggarisbawahi desain Tiktok yang membuat ketagihan, ditandai dengan video pendek dan menarik.
Model kepuasan instan ini dapat memengaruhi rentang perhatian dan kebiasaan belajar. Hal ini membuat konsentrasi berkelanjutan pada tugas-tugas pendidikan dan ekstrakurikuler menjadi lebih menantang.
Anak perempuan juga lebih banyak mengalami cyberbullying atau perundungan di dunia maya dibandingkan anak laki-laki.
Di negara-negara OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi), rata-rata 12 persen anak perempuan berusia 15 tahun melaporkan pernah mengalami cyberbullying dibandingkan dengan 8 persen anak laki-laki.
Situasi ini diperburuk dengan maraknya konten seksual berbasis gambar, deepfake yang dibuat kecerdasan buatan, dan gambar seksual yang dihasilkan sendiri dan beredar secara daring dan di ruang kelas.
Siswa perempuan di beberapa negara yang diwawancarai untuk laporan tersebut mengatakan bahwa mereka dihadapkan pada gambar atau video yang tidak ingin mereka lihat.
Audrey mengatakan, media sosial menciptakan lingkaran umpan balik, yakni anak perempuan dihadapkan pada norma-norma jender negatif .
Hal tersebut diperkuat media sosial bahwa mata pelajaran sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) dianggap sebagai bidang yang berorientasi pada pria, serta kehilangan kesempatan membentuk alat yang membuat mereka terkena stereotipe ini.
Berdasarkan data UNESCO, hanya sekitar 35 persen perempuan yang menyelesaikan pendidikan STEM tingkat perguruan tinggi di seluruh dunia. Angka ini tidak berubah dalam 10 tahun terakhir.
Hal ini akibat bias yang terus-menerus menghalangi perempuan untuk mengejar karier di bidang STEM. Pada akhirnya hal ini mengakibatkan kurangnya perempuan dalam angkatan kerja di bidang teknologi.
Perempuan memegang kurang dari 25 persen pekerjaan di bidang sains, teknik, teknologi informasi, dan komunikasi. Mereka hanya mencakup 26 persen karyawan di bidang data dan kecerdasan buatan.
Selain itu, kaum perempuan juga hanya mencakup 15 persen dari total pekerja di bidang teknik dan 12 persen di bidang komputasi awan di seluruh negara dengan perekonomian terkemuka di dunia. Hanya 17 persen permohonan paten yang diajukan perempuan di seluruh dunia.
Baca juga: Perempuan Cenderung Tidak Percaya Diri Masuki Bidang STEM
Lebih lanjut Audrey memaparkan, bukti menunjukkan transformasi digital dipimpin oleh laki-laki. Meski 68 persen negara mempunyai kebijakan untuk mendukung pendidikan STEM, hanya setengah dari kebijakan tersebut yang secara khusus mendukung anak perempuan dan perempuan.
”Perlu ada kebijakan yang berupaya mempromosikan teladan, termasuk di media sosial, untuk mendorong pilihan karier di bidang STEM di kalangan perempuan muda,” tuturnya.
Menurut Audrey, peningkatan akses anak perempuan terhadap studi STEM menjadi kunci untuk memastikan perempuan berpartisipasi secara setara dalam transformasi digital di masyarakat, dan mendukung rancangan teknologi yang inklusif.
Perlawanan
Jenna Drenten, Guru Besar Pemasaran dari Sekolah Bisnis Quinlan, Loyola University Chicago, Amerika Serikat, mengatakan, media sosial semakin menjadi bentuk dominan dalam cara masyarakat berkomunikasi, berinteraksi satu sama lain, mendapatkan berita, dan membeli sesuatu.
Perlu ada kebijakan yang berupaya mempromosikan teladan, termasuk di media sosial, untuk mendorong pilihan karier di bidang STEM di kalangan perempuan muda.
Menurut Jenna, yang bergabung dalam kelompok riset internasional dan turut menerbitkan Handbook of Research on Gender and Marketing, dari sudut pandang budaya, penting untuk memahami bagaimana hal tersebut mengubah praktik komunikasi, hubungan, dan perekonomian.
Jenna membahas citra tubuh dan media sosial dengan hal-hal seperti ”tubuh yang dapat diberi tagar” dan bagaimana media sosial mengubah idealnya kecantikan. Ada juga gim dan isu jender di industri game, seperti GamerGate di komunitas gim, yang mengakibatkan pelecehan berbasis jender.
Baca juga: Mari Berdayakan Media Sosial dengan Baik
Jenna menemukan tren, secara tradisional, tubuh wanita yang digambarkan di media ini cenderung berkulit putih, tinggi, dan pirang. Media sosial menyediakan ruang bagi rata-rata perempuan untuk mengunggah foto mereka, dan hal ini sangat bagus untuk representasi.
”Apakah kita benar-benar jatuh ke dalam perangkap yang sama, mereproduksi cita-cita kecantikan yang sama atau baru,” kata Jenna.
Dari aspek permainan, terdapat banyak pelecehan berbasis jender dan banyak perempuan dikucilkan. Dari sudut pandang produksi, gim video memenuhi stereotipe jender tradisional. Ada lebih banyak nuansa jender di dunia saat ini dan hal ini tecermin dalam komunitas gim dan tidak bersifat top-down.
”Namun, muncul penolakan konsumen terhadap industri gim. Konsumen mengatakan, jika Anda tidak ingin memproduksi gim yang beragam, kami akan memproduksinya sendiri.”
Saat ini kita hidup dalam kontinum dinamis tentang apa arti jender dan menjadi maskulin atau feminin. Pada masa lalu, jender dipandang sebagai hal hitam dan putih, tetapi masyarakat saat ini mengatakan bahwa jender sebenarnya tidak bisa ditampung dalam dua wadah saja.
”Penelitian saya menyoroti bagaimana konsumen menggunakan media sosial dan teknologi untuk memperkuat atau menantang idealisme jender dan menanyakan bagaimana pemasar dapat menggunakan wawasan ini untuk meningkatkan kesejahteraan konsumen,” kata Jenna.