Dampak Label Cagar Biosfer bagi Suku Bajau Belum Optimal
Suku Bajau mendukung label cagar biosfer dunia, tetapi nelayan lain masih mengambil hasil laut dengan cara merusak alam.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
WAKATOBI, KOMPAS — Manfaat penetapan Kepulauan Wakatobi sebagai cagar biosfer oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO belum dirasakan penuh oleh suku Bajau. Keterlibatan masyarakat dalam upaya konservasi alam dan pemajuan kebudayaan di Wakatobi perlu diperkuat.
Presiden Kerukunan Keluarga Suku Bajau Abdul Manan memaparkan, masih banyak suku Bajau di Wakatobi belum mengerti manfaat dari penetapan cagar biosfer yang ditetapkan UNESCO sejak 2013 sehingga mereka merasa tidak diuntungkan. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi langsung kepada masyarakat.
Dia menyatakan suku Bajau sangat mendukung penetapan wilayahnya sebagai cagar biosfer dunia, tetapi nelayan dari daerah luar masih mengambil hasil laut Wakatobi dengan cara yang tidak ramah lingkungan. Padahal, nelayan suku Bajau tidak pernah mencari ikan dengan menggunakan bom, pukat harimau, dan sebagainya.
”Jadi, tuntaskan dulu ini informasi dan perlakuan di cagar biosfer agar lebih berdampak pada kesejahteraan masyarakat,” kata Abdul di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Jumat (3/5/2024).
Selain itu, pengembangan kebudayaan di internal suku Bajau pun perlahan mulai luntur. Generasi muda Bajau sudah banyak yang tidak mengenal dan melakukan tradisi-tradisi Bajau dalam kehidupan sehari-hari karena diterpa modernitas.
Tradisi lisan, Iko-iko, yang sering dilakukan leluhur Bajau dulu, kini sudah jarang dipraktikkan. Padahal, Iko-iko dahulu digunakan sebagai media untuk moderasi beragama sekaligus hiburan di kalangan suku Bajau. Anak-anak Wakatobi kini lebih banyak bermain gim daring di gawai mereka.
Suku Bajau tetap ingin terlibat dalam upaya konservasi cagar biosfer dalam program UNESCO melalui Deklarasi Bajau.
Sekretaris Jaringan Cagar Biosfer Asia Tenggara (SeaBRnet) Ryuichi Fukuhara menegaskan, masyarakat lokal termasuk dalam elemen penting dalam upaya konservasi alam. Sebab, mereka sudah menjaga kawasan cagar biosfer tersebut sejak lama dengan kearifan lokal yang ramah lingkungan.
”Dengarkan masyarakat lokal, lembaga konservasi, dan pembuat kebijakan untuk bisa mendapatkan gambaran utuh tentang tantangan di area pengembangan cagar biosfer,” kata Ryuichi.
Dosen Ilmu Lingkungan di Universitas Halu Oleo Kendari, Amar Ma’ruf, menambahkan, salah satu permasalahan bagi nelayan suku Bajau di Wakatobi adalah rendahnya harga hasil tangkapan yang dibeli oleh tengkulak di pasar. Desakan ekonomi membuat suku Bajau tak punya pilihan lain dengan tetap menjual ikannya dengan harga murah.
Kesejahteraan
Padahal, penetapan kawasan cagar biosfer seharusnya turut menyejahterakan masyarakat di dalamnya. Namun, dalam data Badan Pusat Statistik, Kabupaten Wakatobi merupakan daerah dengan penduduk termiskin ketiga dari 18 kabupaten atau kota di Sulawesi Tenggara dengan persentase penduduk miskin sebesar 14,81 persen.
”Bos-bos ikan itu, kan, juga orang Bajau, jadi jangan lagi potong harga ikan itu, kenapa seperti itu? Ya, karena kurang merefleksikan 'sai kita' (kekeluargaan Bajau). Dia tidak sadar bahwa telah menghancurkan ekonomi komunitas Bajau,” kata Amar.
Meski begitu, suku Bajau tetap ingin terlibat dalam upaya konservasi cagar biosfer dalam program UNESCO melalui Deklarasi Bajau yang dibacakan di Pelabuhan Panggulubelo di Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Rabu (1/5/2024).
Mereka menyatakan bersedia untuk mengambil peran dan berkolaborasi dengan semua suku Bajau di Asia Tenggara untuk melestarikan budaya, tradisi, dan cara hidup suku Bajau.
Deklarasi Bajau ini sekaligus menjadi sumbangsih pemikiran dari suku Bajau untuk Konferensi Internasional Jaringan Cagar Biosfer Asia Tenggara atau SeaBRnet ke-15 yang digelar di Desa Patuno, Kabupaten Wakatobi, dari 30 April sampai 2 Mei 2024.
Hasil dari SeaBRnet juga akan dilanjutkan ke Kongres Jaringan Cagar Biosfer Dunia (WNBR) di Hangzhou, China, pada 2025. Kongres sepuluh tahunan ini terakhir kali digelar di Lima, Peru, pada 2016 yang melahirkan Rencana Aksi Lima.