Obat Pascatransplantasi Ginjal Sempat Langka, Ketiadaan Obat Jangan Berulang
Kelangkaan obat pascatransplantasi ginjal yang sempat terjadi pada pasien di RSCM jangan terulang.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelangkaan distribusi obat sempat terjadi selama beberapa bulan pada obat untuk pasien pascatransplantasi ginjal. Kelangkaan obat ini diharapkan tidak berulang. Pasien yang tidak mengonsumsi obat berisiko mengalami kerusakan pada ginjal baru yang dapat mengancam keselamatan jiwa.
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia Tony Richard Samosir mengutarakan, kelangkaan obat ditemukan pada pasien program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo. Kelangkaan tersebut terjadi selama beberapa bulan terakhir. Bahkan, pasien sama sekali tidak mendapatkan obat pada April 2024.
”Ketersediaan obat dikabarkan baru tersedia pagi ini, tetapi apakah semua pasien mendapatkan haknya, itu belum dapat dikonfirmasi. Kelangkaan ini sudah terjadi berulang kali. Obat yang langka ini sangat penting yang seharusnya tidak boleh ditunda untuk diminum,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (2/5/2024).
Menurut dia, kelangkaan obat yang terjadi secara berulang ini harus segera diatasi. Kondisi ini dapat menimbulkan ancaman serius pada pasien transplantasi ginjal. Kualitas hidup pasien pun akan menurun.
Pasien pascatransplantasi ginjal yang terlambat mengonsumi obat berisiko mengalami kerusakan pada ginjal donor yang baru diterima. Apabila ginjal rusak, pasien harus kembali menjalani perawatan cuci darah sehingga hasil transplantasi yang didapatkan tidak tercapai.
Ia mendesak Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat secara proaktif memanggil Direktur Utama RSCM dan Menteri Kesehatan untuk menanggapi isu kelangkaan obat tersebut. Ia juga akan melaporkan persoalan ini secara paralel kepada Ombudsman.
Kelangkaan ini sudah terjadi berulang kali. Obat yang langka ini sangat penting yang seharusnya tidak boleh ditunda untuk diminum.
Berdasarkan hasil penelusuran Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia, obat yang rutin kosong yang harus dikonsumsi pasien pascatransplantasi ginjal ialah jenis Sandimmun, Certican, dan Myfortic. Obat itu merupakan obat utama bagi pasien transplantasi organ, termasuk transplantasi ginjal. Apabila obat tersebut tak dikonsumsi bisa berisiko memicu penolakan pada ginjal donor yang diterima.
Mengancam keselamatan jiwa
Tony menambahkan, ketiadaan obat imunosupresan bagi pasien transplantasi organ merupakan kondisi kritis yang dapat mengancam jiwa bagi pasien. Penundaan dosis obat bisa mengakibatkan kondisi yang fatal akibat penolakan tubuh pada organ donor.
Karena itu, kelangkaan obat bagi pasien pascatransplantasi ginjal harus segera diatasi. Diharapkan, pembiaran kelangkaan obat tidak dibiarkan berlarut. Hal ini bentuk kelalaian dan pelanggaran terhadap hak asasi pasien.
Selama ini para pasien mencoba mengatasi permasalahan kelangkaan obat tersebut dengan mencari pinjaman obat kepada sesama pasien pascatransplantasi. Sejumlah pasien juga akhirnya terpaksa membeli obat tersebut dengan harga yang mahal. Namun, itu dinilai tidak bisa mengatasi persoalan kebutuhan secara berkelanjutan.
”Sebagai rumah sakit pusat nasional rujukan terakhir, RSCM harus memastikan tidak ada lagi keterlambatan obat karena dapat membahayakan keselamatan pasien,” kata Tony.
Secara terpisah, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Edy Wuryanto, menuturkan, kondisi kekosongan imunosupresan bagi pasien pascatransplantasi ginjal sangat disayangkan. Hal ini bisa berisiko pada kematian bagi pasien.
Apalagi, kondisi ini terjadi pada pasien peserta JKN yang sudah secara rutin membayar iuran untuk kepesertaannya. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan pelayanan yang terbaik, termasuk memastikan kebutuhan obat bisa terpenuhi.
”Saya meminta Menkes (Menteri Kesehatan) dan Dirjen Farmalkes (Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan) segera mencari penyebab dan menyelesaikan mengapa kekosongan obat yang penting ini bisa terjadi? Hal ini tidak boleh lagi terjadi di masa mendatang saat Menkes sedang melakukan transformasi pelayanan kesehatan,” tutur Edy.