Mengenalkan Jalur Rempah ke Generasi Penerus Wakatobi
Generasi penerus di Wakatobi perlu mengenal identitas kesukuannya agar tak lupa dengan kearifan leluhurnya.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
WAKATOBI, KOMPAS — Proses transfer pengetahuan mengenai sejarah dan kebudayaan harus terus disinambungkan kepada generasi penerus. Mereka yang hidup di zaman sekarang sangat perlu mengenal identitas kesukuannya agar tak lupa dengan asal-usul leluhurnya.
Salah satu cara untuk mengenalkan sejarah dan kebudayaan pada generasi muda yakni melalui pameran ”Polaosi”. Pameran tersebut digelar Direktorat Jenderal Kebudayaan (Ditjenbud) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di Patuno Resort, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 30 April-2 Mei 2024.
Pameran ini mengangkat narasi mengenai relasi manusia, biosfer, dan rempah. Maka dari itu, Polaosi yang berarti ’harmoni’ dalam bahasa masyarakat Wakatobi menggambarkan mengenai perjalanan rempah yang telah menorehkan sejarah yang berjejak dan berkesinambungan di Wakatobi.
Masyarakat Wakatobi menyebut hubungan harmoni itu, Polaosi. Pameran Polaosi merupakan perayaan yang mengangkat aspek manusia, biosfer, dan rempah. Selain itu, pameran tersebut juga menceritakan tentang Jalur Rempah dan cagar biosfer di Wakatobi.
Sejarawan sekaligus kurator pameran Erwien Kusuma memaparkan, rempah telah mengharmonisasikan seluruh kepulauan Nusantara menjadi satu. Jejaknya berkesinambungan dari Banda, Kepulauan Maluku, melewati perairan Buton dan Kepulauan Wakatobi, lalu berlayar menuju wilayah Indonesia lainnya hingga mancanegara.
Koleksi sejarah
”Pendekatan saya dalam pameran ini adalah melalui koleksi sejarah. Narasumber di sini mengumpulkan memorabilia rempah dan perdagangan. Toponomi dan memorabilia pelayaran yang diangkat di sini berkaitan dengan kepulauan Wakatobi dengan rempah itu,” kata Erwien.
Dalam pameran ini, Erwien memulai dengan narasi sejarah wewangian rempah. Wanginya yang kuat, seperti cengkeh, pala, lada kemukus, kayu manis, cendana, gambir, kunyit, dan vanili, telah mengundang bangsa-bangsa dunia untuk memburunya ke Nusantara. Peta jalur rempah dari Nusantara menuju mancanegara hingga abad ke-16 Masehi pun ditampilkan.
Pendekatan saya dalam pameran ini adalah melalui koleksi sejarah. Narasumber di sini mengumpulkan memorabilia rempah dan perdagangan.
Manuskrip yang menggambarkan beberapa fauna dan flora dalam kitab ”Aja'ib al-Makhluqat wa Ghara'ib al-Maujudat” karya Zakariyya al-Qazwini (1283 Masehi) pun ditampilkan. Manuskrip ini diperoleh dari British Library yang membuktikan bahwa sejak era prakolonial, rempah sudah menjadi kekayaan Nusantara.
Pameran juga menampilkan kebudayaan suku Bajau yang tersebar di kawasan ASEAN, termasuk di Wakatobi. Seperti miniatur perahu, dayung, alat memanah ikan, kacamata untuk menyelam, dan bendera Ula-Ula khas suku Bajau.
Erwien mengutip sejarawan Adrian Bernard Lapian yang mengungkapkan bahwa suku Bajau menganggap dunia ini hanya ada dua jenis orang, yakni orang Sama dan orang Bagai. Orang Sama adalah mereka yang hidup di laut dan orang Bagai yang di darat.
Berdasarkan sensus tahun 2000, populasi suku Bajau mencapai lebih dari 1,7 juta jiwa. Mereka tersebar di Filipina sebanyak 570.000 jiwa, di Malaysia 347.000 jiwa, dan di Indonesia sebanyak 158.000 jiwa. Ini berbeda dengan hasil riset Kompas tahun 2012 yang menyebutkan suku Bajau di Indonesia mencapai 11 juta jiwa di seluruh Indonesia.
Semuanya disatukan dalam satu Organisasi Kerukunan Keluarga Bajau di Indonesia. Organisasi ini aktif bekerja sama dengan suku Bajau dari negara lain dalam The Bajau International Communities Confederation yang berhasil menyatukan suku Bajau sebagai putra dunia UNESCO yang berkomitmen menjaga kelestarian lingkungan.
”Suku Bajau itu dalam konteks cagar biosfer ini, dari awal orang Sama untuk memutuskan tinggal bersama dengan orang Bagai itu diikat dengan komitmen untuk merawat lingkungannya,” ucapnya.
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kemendikbudristek, Irini Dewi Wanti menegaskan, pengetahuan dan sejarah dalam pameran ini perlu diketahui banyak orang Wakatobi dan suku Bajau. Sebab, banyak pengetahuan lokal yang belum tercatat dalam arsip sejarah.
Oleh karena itu, 250 siswa sekolah dasar diundang untuk menyimak pameran Polaosi bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional.
Mereka diajak untuk mengenal tradisi suku Bajau mulai dari Tarian Palibuang dan Tarian Duata yang menggambarkan kehidupan orang Bajau saat melaut, musik tradisional Gambus Bajau dan Liligo, serta diajarkan untuk merakit miniatur perahu, juga mengenal rempah-rempah.
”Kita memberikan pengetahuan seluas-luasnya kepada peserta didik bahwa sumbangan kebudayaan itu begitu besar kontribusinya untuk keberlanjutan cagar biosfer dunia,” kata Irini.