Vasektomi, Kontrasepsi Pria yang Tak Berkembang di Seluruh Dunia
Pengguna metode kontrasepsi vasektomi terus turun di dunia. Pelibatan pria dalam kesehatan reproduksi makin menantang.
Jumlah pria pengguna kontrasepsi vasektomi di Indonesia sangat rendah dan terus turun dari tahun ke tahun. Meski demikian, persoalan ini dialami oleh hampir semua negara. Kondisi ini membuat upaya meningkatkan partisipasi laki-laki dalam pencegahan kehamilan dan pengendalian penduduk makin menantang.
Dibandingkan perempuan, laki-laki memang memiliki pilihan alat atau metode kontrasepsi yang sangat terbatas. Laki-laki hanya bisa memilih antara kondom atau vasektomi. Kondom adalah alat kontrasepsi sekali pakai yang terbuat dari karet lateks, sedangkan vasektomi adalah tindakan sterilisasi pria dengan memotong dan mengikat saluran sperma (vas deferens).
Penggunaan kondom membutuhkan kesadaran tinggi, bisa menimbulkan reaksi alergi pada sebagian orang, tapi mudah digunakan dan efektif mencegah infeksi penyakit menular seksual. Vasektomi cukup dilakukan sekali seumur hidup, bersifat permanen meski tersedia tindakan pembalikan vasektomi, dan 99 persen efektif mencegah kehamilan.
Baca juga: Vasektomi, Pilihan Kontrasepsi Pria yang Jarang Dilirik
Meski vasektomi atau metode operasi pria (MOP) ini sudah diperkenalkan sejak program keluarga berencana dijalankan di seluruh dunia, prevalensi penggunanya tetap rendah. Bahkan, dari dekade ke dekade, jumlah laki-laki yang memilih vasektomi terus turun.
Vasektomi pertama pada manusia, seperti dikutip dari tulisan JH Leavesley di Family Planning Information Service, 5 Desember 1980, dilakukan oleh Reginald Harrison di London, Inggris, pada 1900. Namun, vasektomi saat itu dilakukan bukan untuk keperluan sterilisasi, melainkan mengatasi gangguan atrofi atau penyusutan pada prostat.
Vasektomi baru digunakan untuk pencegahan kehamilan sejak Perang Dunia II. Sejak itu, vasektomi mulai diperkenalkan sebagai bagian dari program keluarga berencana yang dilakukan di negara-negara berkembang. Di Indonesia, vasektomi juga mulai dikenalkan sejak dekade pertama terbentuknya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional dibentuk tahun 1970 yang sekarang bernama Badan Kependudukan dan KB Nasional.
Data World Contraceptive Use 2022 yang disusun Departemen Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDESA) menyebut prevalensi vasektomi di Indonesia pada 1979 mencapai 0,1 persen dari keseluruhan akseptor KB. Selanjutnya, jumlah itu terus mengalami pasang surut dan mencapai prevalensi tertingginya 1994 sebesar 0,7 persen. Setelah itu, laki-laki yang divasektomi terus berkurang hingga mencapai 0,3 persen pada 2018.
Program layanan kesehatan dasar di negara berpenghasilan menengah dan bawah itu kurang terfokus pada laki-laki, termasuk layanan kontrasepsinya.
Terus menurunnya prevalensi vasektomi di Indonesia itu justru terjadi saat tingkat penggunaan kontrasepsi modern (mCPR) terus meningkat. Tahun 1979, mCPR Indonesia mencapai 24,6 persen dan mencapai tingkat tertinggi pada 2013 sebesar 60,9 persen.
Kontradiksi antara prevalensi pengguna kontrasepsi modern dan pengguna vasektomi itu menunjukkan makin mundurnya keterlibatan laki-laki dalam program KB dan pengendalian penduduk di Indonesia. Persoalan KB dan kesehatan reproduksi masih dipandang sebagai urusan perempuan sehingga perempuanlah yang dijadikan sasaran utama program KB.
Sumber lain, Profil Statistik Kesehatan 2023, Badan Pusat Statistik menyebut persentase pasangan usia subur 15-49 tahun yang memilih vasektomi pada 2023 hanya 0,21 persen. Tindakan vasektomi itu hanya terfokus di Jawa serta sebagian provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Prevalensi vasektomi tertinggi ada di DI Yogyakarta sebesar 0,48 persen dan DKI Jakarta 0,42 persen, sedangkan prevalensi vasektomi di 23 provinsi dari 34 provinsi mendekati nol atau datanya tidak tersedia.
Pada saat yang sama, prevalensi tubektomi atau sterilisasi wanita sudah mencapai 3,46 persen dan tersebar di semua provinsi. Provinsi dengan prevalensi tubektomi tertinggi adalah Bali sebesar 7,60 persen, Kepulauan Riau (7,34), dan Sumatera Utara (7,05). Adapun provinsi dengan tubektomi terendah adalah Maluku Utara (0,99) dan Kalimantan Tengah (1,08).
Situasi global
Rendah dan terus menurunnya pengguna vasektomi itu sebenarnya tidak hanya masalah Indonesia, tetapi fenomena global. Studi Roy Jacobstein dan rekan di Global Health: Science and Practice, 28 Februari 2023 menunjukkan, meski jumlah pengguna kontrasepsi naik 188 juta orang selama 20 tahun terakhir, tetapi pengguna vasektomi dalam periode yang sama justru turun drastis hingga hanya sepertiganya.
Tahun 2020, ada 922 juta perempuan di seluruh dunia yang menggunakan kontrasepsi. Dari jumlah itu, 219 juta perempuan memilih tubektomi dan hanya ada 17 juga laki-laki yang divasektomi. Dibanding tahun 2001, jumlah perempuan yang ditubektomi naik 8 juta orang, sedangkan laki-laki yang memilih vasektomi justru turun 27 juta orang atau 61 persen.
Negara dengan prevalensi vasektomi tertinggi adalah Korea Selatan sebesar 16,8 persen dan terus meningkat dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Ada lima negara dengan prevalensi vasektomi terakhirnya di atas 10 persen dan 17 negara dengan prevalensinya lebih dari 2 persen. Adapun 56 negara memiliki prevalensi vasektomi kurang dari 0,1 persen.
Negara-negara dengan prevalensi tinggi vasektomi itu umumnya negara-negara yang dianggap memiliki kesetaraan jender lebih baik. Sementara itu, negara berkembang yang masuk kelompok negara dengan prevalensi vasektomi di atas 2 persen adalah Bhutan (12,6 persen), Kosta Rika (5,2), Brasil (4,2), Kolombia (3,6), Nepal (3,5), Iran (2,8), dan Meksiko (2,3)
Menurut Jacobstein dan rekan, rendah dan terus turunnya peminat vasektomi dipicu oleh ketidakseimbangan antara sisi permintaan dan penawaran vasektomi. Pengetahuan masyarakat tentang vasektomi paling rendah di antara berbagai jenis atau metode kontrasepsi modern lain.
Baca juga: Mitos-mitos tentang Vasektomi
Di Nigeria, sebanyak 82-88 persen perempuan dan laki-laki tahu tentang kontrasepsi pil dan suntik. Namun, yang tahu tentang vasektomi hanya 18 persen perempuan dan 33 persen laki-laki. Adapun di India, 93-95 persen laki-laki dan perempuan di perkotaan tahu tentang tubektomi, tetapi yang mengenal vasektomi hanya 85-88 persen.
Selain itu, penyediaan dan layanan informasi tentang kontrasepsi mantap, termasuk vasektomi, juga lebih banyak menyasar kaum perempuan dibandingkan laki-laki. Kondisi ini pun terjadi di Amerika Serikat. Ketidaksetaraan dalam akses informasi itu menimbulkan banyaknya bias terhadap vasektomi. Repotnya, disinformasi terkait vasektomi itu tidak hanya dialami calon akseptor, tetapi juga tenaga kesehatan dan pejabat pemerintah yang menjalankan program KB.
Di sisi lain, dukungan industri terhadap vasektomi juga paling rendah dibandingkan alat atau metode kontrasepsi lain. Vasektomi juga belum menjadi prioritas pemerintah dan lembaga donor. Namun, kondisi ini bisa dimaklumi mengingat anggaran pemerintah dan lembaga donor terbatas sehingga perlu diutamakan pada alat dan metode kontrasepsi yang banyak diminati masyarakat serta sumber dayanya tersedia.
Meski demikian, lanjut Jacobstein dan rekan, kunci dari semua persoalan tersebut adalah norma dan budaya di masyarakat yang masih menjadikan pemilihan kontrasepsi dan urusan kesehatan reproduksi sebagai domain dan tanggung jawab perempuan, sama seperti dalam pengasuhan anak.
Dalam masyarakat, perempuan menerima tuntutan lebih besar untuk hamil dan melahirkan. Mereka juga harus menanggung beban morbiditas dan mortalitas akibat kehamilan dan persalinan. Kondisi itu akhirnya membuat program, konseling, penyebaran informasi, hingga layanan kontrasepsi lebih banyak menyasar perempuan dibandingkan laki-laki.
Baca juga: KB dan Kontrasepsi
Tingginya angka kematian ibu dan bayi di negara-negara berkembang akhirnya juga membuat prioritas kontrasepsi lebih banyak ditujukan kepada perempuan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan mereka. Kondisi ini membuat program layanan kesehatan dasar di negara berpenghasilan menengah dan bawah itu kurang terfokus pada laki-laki, termasuk layanan kontrasepsinya.
Karena itu, agar vasektomi makin menjadi pilihan kontrasepsi pria, Jacobstein dan rekan merekomendasikan program vasektomi disusun secara holistik, penyebaran informasi yang masif, serta disertai dengan kemudahan dalam mengakses layanan dan juga pembiayaannya.
Semakin meningkatnya kesetaraan jender, khususnya di perkotaan dan di kalangan terdidik, sebenarnya menjadi pintu masuk untuk terus mengampanyekan vasektomi. Namun, sering kali mereka akhirnya kecewa karena tidak mudah untuk mengakses layanannya. Kompas beberapa kali menemukan laki-laki yang ingin divasektomi, tetapi kesulitan menjangkau layanannya sehingga membuat mereka akhirnya mundur.
Pemerintah sebagai pelaksana program KB juga perlu terus membangun lingkungan yang mendukung untuk menjalankan vasektomi. Upaya ini salah satunya bisa dilakukan dengan terus mendorong dukungan dari kelompok agama mengingat hukum vasektomi masih pro dan kontra di masyarakat. Dukungan tokoh masyarakat dan warga senior juga diperlukan mengingat sebagian tenaga kesehatan meminta syarat dukungan keluarga sebelum melakukan vasektomi.
Meski tidak mudah untuk terus mendorong peningkatan partisipasi laki-laki dalam pencegahan kehamilan dan pengendalian penduduk, bukan berarti itu tidak mungkin. Toh, beberapa negara berkembang, negara dengan religiositas masyarakat yang tinggi, atau negara dengan pendapatan menengah bawah, nyatanya tetap bisa mendorong penggunaan vasektomi.
Bagaimanapun, meningkatnya kesadaran laki-laki untuk menggunakan kontrasepsi, termasuk vasektomi, sejatinya juga telah mengajak laki-laki untuk lebih peduli dengan urusan kesehatan dan kesejahteraan keluarga.