Deklarasi Bajau Mengikat Masyarakat Adat dan Cagar Biosfer
Suku Bajau berjanji akan turut terlibat dalam pelestarian cagar biosfer yang ditetapkan UNESCO di Wakatobi.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
WAKATOBI, KOMPAS — Komunitas Suku Bajau Wakatobi, Sulawesi Tenggara, mendeklarasikan komitmen mereka untuk terlibat dalam upaya pelestarian cagar biosfer yang sudah ditetapkan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO. Deklarasi Bajau dibacakan di Pelabuhan Panggulubelo di Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Rabu (1/5/2024).
Ada tiga poin deklarasi yang mereka teguhkan. Pertama, mengambil peran dalam menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir dan laut melalui pengetahuan tradisional suku Bajau. Kedua, menjadi bagian utama dalam kolaborasi multipihak untuk bersama-sama meningkatkan kontribusi dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem cagar biosfer. Dan terakhir, mengajak seluruh suku Bajau di Asia Tenggara untuk berkolaborasi melestarikan budaya, tradisi, dan cara hidup suku Bajau.
Deklarasi ini ditandatangani oleh Presiden Kerukunan Keluarga Suku Bajau Indonesia Abdul Manan; Ketua Dewan Perwakilan Daerah Persatuan Suku Bajau Indonesia (POSBI) Wakatobi Surni; Bupati Wakatobi Haliana; Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Irini Dewi Wanti; dan Asisten Deputi Wawasan Kebangsaan, Pertahanan, dan Keamanan, Sekretariat Wakil Presiden Muharromi.
”Orang-orang Bajau ini adalah penjaga laut. Ini harus tetap terpelihara demi kelestarian cagar biosfer kita karena yang sangat paham adalah orang-orang yang tinggal di atas laut ini sendiri,” kata Irini.
Kita (Suku Bajau) tidak boleh melihat alam terpisah dari kita, kalau kita menempatkan terpisah atau alam sebagai obyek. maka akan ada keinginan kita untuk mengeksploitasi itu.
Menurut Irini, sejumlah kebudayaan lokal suku Bajau harus terus diturunkan ke anak-cucu karena regenerasi menjadi masalah yang membuat transfer ilmu kebudayaan terputus. Pemerintah, kata Irini, telah mengantisipasi hal tersebut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dengan demikian, pemerintah daerah dan masyarakat adat bisa memaksimalkannya.
Sementara itu, Abdul Manan menjelaskan, suku Bajau atau sering disebut pula suku Bajo selama ini tidak terlalu mengerti dampak dari penetapan kawasan, baik taman nasional oleh pemerintah Indonesia pada 2002 maupun sebagai Cagar Biosfer oleh UNESCO pada 2013. Ketidakmengertian ini membuat masyarakat lokal dan Suku Bajau merasa tidak diuntungkan dengan penetapan tersebut.
Padahal, dengan ditetapkan sebagai kawasan Cagar Biosfer, Wakatobi memiliki kekuatan hukum untuk pelestarian untuk terlindungi dari ancaman kerusakan alam oleh manusia. Selain itu, kebudayaannya juga bisa terangkat dan dikenal banyak negara lalu mengundang wisatawan untuk datang.
Oleh karena itu, Abdul berharap pemerintah bisa terus memberdayakan suku Bajau, khususnya di Wakatobi sebagai cagar biosfer agar penetapan-penetapan status tersebut bisa dirasakan oleh masyarakat suku Bajau. Deklarasi ini, kata Abdul, bisa semakin menguatkan komitmen suku Bajau untuk terus menjaga cagar biosfer dengan kearifan dan kebudayaan lokal yang mereka miliki.
”Kita (Suku Bajau) tidak boleh melihat alam terpisah dari kita, kalau kita menempatkan terpisah atau alam sebagai obyek maka akan ada keinginan kita untuk mengeksploitasi itu, kalau sebagai subyek kita akan merawat itu cagar biosfer,” kata Manan.
Deklarasi Bajau ini sekaligus menjadi sumbangsih pemikiran dari suku Bajau untuk Konferensi Internasional Jaringan Cagar Biosfer Asia Tenggara atau SeaBRnet ke-15 digelar Desa Patuno, Kabupaten Wakatobi dari 30 April sampai 2 Mei 2024. Hasil dari SeaBRnet juga akan dilanjutkan ke Kongres Jaringan Cagar Biosfer Dunia (WNBR) di Hangzhou, China, pada 2025. Kongres sepuluh tahunan ini terakhir kali digelar di Lima, Peru, pada 2016 yang melahirkan Rencana Aksi Lima.
Bupati Wakatobi, Haliana menambahkan, masyarakat Wakatobi harus menyimak forum SeaBRnet untuk berbagi gagasan, pengetahuan, pengalaman, pendekatan inovatif, dan komitmen untuk mengoptimalkan dampak jaringan kerja sama regional. Sebab, visi Kabupaten Wakatobi 2021-2026 ingin menjadi kabupaten konservasi maritim yang sentosa.
”Mari memperkuat jaringan kolaboratif regional ini untuk berkontribusi lebih pada penanganan isu lingkungan dunia saat ini triple planetary crisis, yaitu perubahan iklim, polusi, dan degradasi lingkungan serta kehilangan keanekaragaman hayati,” ucap Haliana.
Parade kapal
Seusai penandatanganan deklarasi, seluruh delegasi ASEAN dan UNESCO disambut oleh pertunjukan parade 500 perahu nelayan suku Bajau Wakatobi. Persembahan adat ini ditampilkan oleh suku Bajau dari Desa Mola, Kabuenga, dan sebagainya sebagai bentuk penyambutan tamu.
Adapun kesepuluh pergelaran seni budaya suku Bajau yang akan ditampilkan di 10 kapal utama yang besarnya sekitar 4 meter x 4 meter itu meliputi pertunjukan silat dan genrang atau gendang Bajau, tarian Duata, tarian Mbo Pumpiah, tarian Palilibuang, musik gambus Bajau, dan pertunjukan Liligo, dan Iko-Iko Sama.
Selain itu, ada pula penampilan gadis-gadis Bajau yang memakai bedak pupur sambil melaut, serta tampilan gambaran keluarga yang sedang mencari hasil (pong’ka), tampilan pendidikan anak Bajau, dan tampilan Mbo Buayaang.