Inklusi Sosial Mendukung Kesempatan Kerja Penyandang Autisme
Kesempatan kerja bagi penyandang autisme masih minim karena inklusi sosial di Indonesia masih rendah.
Setiap anak terlahir dengan potensi diri yang berbeda-beda dan bisa dikembangkan seiring pertumbuhan usia, termasuk anak dengan autisme. Diagnosis dini, intervensi tepat, lingkungan inklusif, dan orangtua yang kuat bisa menjadikan anak berkebutuhan khusus mandiri menjalani hidupnya.
Namun, potensi dan kelebihan mereka acap kali masih terhalang oleh kesempatan berkarya di masyarakat. Inklusi sosial perlu ditingkatkan agar mereka juga dapat berkontribusi dalam berbagai bidang.
Dokter spesialis anak konsultan neurologi Hardiono D Pusponegoro menegaskan, meskipun ada tantangan, orang dengan autisme atau kebutuhan khusus lain dapat berkontribusi signifikan dalam masyarakat. Namun, mereka harus mendapatkan dukungan dan kesempatan yang tepat dari semua pihak.
”Pemahaman akan gaya komunikasi, dukungan dari rekan kerja, atasan, atau mentor hingga lingkungan kerja yang inklusif dan terbuka kepada individu dengan autisme bisa membantu meningkatkan kontribusi mereka di tempat kerja,” kata Hardiono dalam diskusi yang digelar Zally Zarras Learning Center dan Yayasan Drisana di Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Sementara itu, masih banyak kesenjangan kesempatan kerja dan pendidikan bagi penyandang autisme. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, dari 440 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja mencapai 237.000 orang, hanya 2.851 orang atau 1,2 persen tenaga kerja disabilitas yang berhasil ditempatkan dalam sektor formal.
Baca juga: Defisit Guru Pendamping Khusus Hambat Pendidikan Inklusi
Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 201 tentang Penyandang Disabilitas mensyaratkan kewajiban mempekerjakan penyandang disabilitas dengan porsi 1 persen untuk perusahaan swasta dan 2 persen untuk BUMN/BUMD. Implementasi aturan perlu didorong untuk mencapai kondisi ideal.
Menurut Hardiono, pendekatan dan dukungan kepada individu yang memiliki autisme dan kebutuhan khusus lain harus dimulai dari lingkungan pertama, yaitu keluarga. Penerimaan dari keluarga, khususnya orangtua, yang lapang dada bisa mendukung tumbuh kembang anak dengan autisme.
Setelah keluarga menerima, masyarakat juga harus menjadi lingkungan sosial yang inklusif dengan memastikan semua hak yang dimilikinya didapat dengan setara. Kenyataannya, Indonesia menempati peringkat ke-125 dalam peringkat Indeks Inklusivitas Global 2020 dengan skor 26,5. Indonesia berada di bawah Filipina, Vietnam, Singapura, dan Thailand.
Kebijakan sekolah inklusif melalui Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 pun dinilainya belum optimal. Banyak guru yang belum memiliki kemampuan pendidikan khusus untuk mengajar anak berkebutuhan khusus. Hardiono menyebutkan, keberadaan guru pembimbing khusus justru menegasikan semangat inklusif yang seharusnya semua murid diperlakukan sama.
Awalnya saya pikir permasalahan ini hanya pada guru, tetapi ternyata kesadaran dan kepedulian itu masih menjadi tantangan.
Hal ini juga diamini oleh Pelaksana Tugas Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Aswin Wihdiyanto yang mengatakan bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki dari kebijakan sekolah inklusif. Hal itu terutama terkait peningkatan kualitas guru dan kesadaran warga sekolah agar inklusif.
”Awalnya saya pikir permasalahan ini hanya pada guru, tetapi ternyata kesadaran dan kepedulian itu masih menjadi tantangan. Pendidikan anak berkebutuhan khusus itu harus semua pihak, pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, sekolah, termasuk orangtua,” kata Aswin.
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan per Mei 2023, jumlah guru pendamping khusus di Tanah Air sebanyak 4.695 orang dan 10.244 guru reguler yang dilatih mendampingi penyandang disabilitas. Sementara Indonesia memiliki 40.165 sekolah inklusi di tingkat pendidikan dasar dan menengah dengan total murid penyandang disabilitas sebanyak 135.874 orang. Di sekolah luar biasa ada 2.326 sekolah yang melayani 152.756 murid.
Spekix 2024
Guna menjembatani kesenjangan tersebut, Zally Zarras Learning Center dan Yayasan Drisana akan mengadakan Special Kids Expo (Spekix) 2024 pada 11-12 Mei 2024 di Jakarta Convention Center. Acara yang gratis untuk umum ini mengajak seluruh masyarakat untuk mendukung lingkungan sosial yang inklusif.
Deputy Chairperson Spekix 2024 Zavnura Pingkan Sutowo mengatakan, Spekix 2024 akan memberikan kesempatan untuk memahami lebih dalam kebutuhan dan dukungan bagi orang dengan autisme dari masa kanak-kanak hingga dewasa melalui berbagai kegiatan, seminar, dan pameran yang informatif dan menginspirasi.
”Ini adalah platform yang efektif dalam mendukung dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat berkebutuhan khusus dan menjadi wadah bagi para pemangku kepentingan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang penilaian, terapi, pendidikan formal, keterampilan, dan pelatihan yang diperlukan bagi orangtua, keluarga, pendidik, dan pengasuh anak dengan autisme,” kata Zally.
Diagnosis dini
Hardino menambahkan, umumnya diagnosis autisme dapat ditegakkan mulai anak berumur 18 bulan. Skrining dilakukan dengan M-CHAT atau Modified Checklist for Autism in Toddler.
Metode M-CHAT dilakukan dengan asesmen psikologis yang mengevaluasi risiko gangguan spektrum autisme pada anak usia 16-30 bulan. Apabila tidak lolos skrining, diagnosis dilanjutkan dengan metode Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition atau DSM-V.
Akses terhadap pelayanan dokter anak pun sudah semakin membaik sehingga orangtua seharusnya bisa melakukan deteksi dini. Menurut Hardiono, sudah ada seratusan dokter anak di Indonesia yang mampu melakukan diagnosis dan penanganan autisme.
”Ini semua dokter anak sudah bisa dan mengerti skrining. Diagnosis cepat, terapi tepat, peran orangtua terlatih akan sangat memengaruhi kemajuan anak,” ucap profesor di Universitas Indonesia itu.
Baca juga: Menerima dan Merangkul Anak Autisme
Adapun autisme biasanya ditandai dengan gangguan fungsi sosial dan komunikasi. Gejala autisme bervariasi, mulai dari fokus yang intens pada satu hal, tidak responsif, hingga gerakan berulang atau cedera diri.