Cuti Suami Jangan Malah Tambah Merepotkan Istri
Kendati membawa semangat mendorong peran ayah dalam keluarga, RUU KIA harus memastikan ayah hadir bagi ibu dan anaknya.
Diaturnya peran ayah/suami secara khusus dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan terus mengundang tanggapan publik, baik setuju maupun kontra. Karena itulah, pengaturan soal hak dan kewajiban ayah harus lebih diperjelas. Hal ini agar tidak terjadi salah tafsir dalam implementasinya.
RUU tersebut pun perlu memastikan kehadiran suami sebagai penopang istri pada fase seribu hari pertama kelahiran anak. Bukan sebaliknya, malah menambah beban istri yang baru melahirkan.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah memandang pengaturan peran ayah dalam RUU KIA sebagai sebuah upaya melekatkan peran ayah dalam pengasuhan anak pada seribu hari pertama. Sebab, selama ini peran pengasuhan saat anak lahir lebih banyak ditumpukan pada ibu sehingga sejumlah ibu mengalami tekanan berlebihan (baby blues).
”Namun, perlu ada langkah khusus memastikan tujuan itu tercapai. Bukan sebaliknya, hadirnya suami karena cuti itu malah merepotkan istri. Karena dia (suami) urus motor, hewan peliharaan, bukan ikut mengurus bayi yang membutuhkan kehadiran kedua orangtua,” kata Ai, Jumat (26/4/2024), di Jakarta.
Baca juga: Selain Cuti Melahirkan 6 Bulan bagi Ibu Pekerja, Ada Apa Lagi di RUU?
Kekhawatiran Ai cukup beralasan. Selama ini, meskipun suami dan istri bekerja, pada saat libur atau berada di rumah, umumnya kegiatan rumah tangga, termasuk mengurus anak, tetap bertumpu pada istri. Bahkan, ada suami yang kerap membiarkan istri yang baru saja melahirkan tetap melakukan pekerjaan rumah tangga.
Padahal, jika ada dukungan suami, beban istri akan lebih ringan, terutama pada masa awal kelahiran anak. Kehadiran suami yang mendukung istri sangat berarti karena tidak semua beban rumah tangga dan pengasuhan anak berada pada istri.
Hal lain yang juga perlu dikaji lebih jauh adalah soal pemberian waktu cuti. Ini karena ada yang diatur jelas pada jumlah hari cutinya, tetapi masih mencantumkan kata kesepakatan. Ada juga yang sama sekali tidak mencantumkan lama ayah/suami harus cuti mendampingi istri saat mengalami gangguan kesehatan dan sebagainya.
Walau membolehkan cuti, RUU tersebut tidak mengatur berapa lama waktu yang bisa diambil suami. RUU hanya menyebutkan suami diberikan waktu yang cukup untuk mendampingi istri dan anak dengan sejumlah alasan. Kata tidak ”cukup” bisa menimbulkan interpretasi luas.
”Sebaiknya tidak perlu ada batasan paling lama untuk cuti karena akan menyebabkan interpretasi dan keputusan yang berbeda dari pemberi kerja. Lebih baik ditegaskan, misalnya 30 hari, sebagai jumlah yang saat ini mulai banyak diterapkan di sejumlah negara,” kata Tata Sudrajat, Deputi Chief of Program Impact Creation Save the Children Indonesia.
Tantangannya adalah bagaimana kewajiban ini dapat dilaksanakan dalam masyarakat yang paternalistik.
Sejak awal Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan atau RUU KIA pada Fase 1.000 HPK, DPR dan pemerintah menyampaikan, semangat pengaturan peran ayah/suami adalah untuk meningkatkan peran ayah dalam pengasuhan anak. Selain itu, suami wajib melakukan pendampingan kepada istri pada saat kehamilan, keguguran, persalinan, dan pascapersalinan.
Untuk hal tersebut, suami berhak mengajukan cuti pendampingan istri dengan waktu tertentu. Untuk masa persalinan, misalnya, suami bisa mengajukan cuti dua hari atau paling lama tiga hari berikutnya. Saat istri mengalami keguguran, suami juga berhak mengajukan cuti selama dua hari. Lamanya cuti ini juga bergantung pada kesepakatan.
Hak cuti tersebut diberikan dengan sejumlah persyaratan bagi suami, yakni wajib menjaga kesehatan istri dan anak serta memberikan gizi yang cukup dan seimbang bagi istri dan anak. Suami pun wajib mendukung istri dalam memberikan air susu ibu eksklusif sejak anak dilahirkan sampai berusia enam bulan serta mendampingi istri dan anak dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi sesuai standar.
Kalangan pemerhati perempuan dan anak menilai pengaturan peran ayah/suami tersebut sangat baik. Kedua orangtua bisa membagi tanggung jawab dalam pengasuhan.
Apalagi, RUU tersebut tidak hanya mengatur peran suami. Dalam RUU ada juga kewajiban bersama (ayah dan ibu), yakni mempersiapkan, memeriksakan, dan menjaga kesehatan mulai dari masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan serta menjaga kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.
Baca juga: Kesejahteraan Ibu dan Anak, PRT, dan Perlindungan Hak Perempuan
Selain itu, memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif sejak anak dilahirkan sampai berusia enam bulan dan dilanjutkan dengan pemberian ASI dan makanan pendamping ASI pada anak sampai berusia dua tahun, kecuali terdapat indikasi medis. Kedua orangtua juga wajib memberikan gizi cukup dan seimbang bagi anak dan stimulasi yang tepat sesuai dengan usia dan kondisi anak untuk optimalisasi tumbuh kembang anak.
Ayah dan ibu juga wajib memantau pertumbuhan dan perkembangan serta memeriksakan kesehatan anak secara berkala di fasilitas pelayanan kesehatan; mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak dengan penuh kasih sayang. Orangtua pun wajib memberikan penanaman nilai agama, keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan budi pekerti kepada anak.
”Namun, tantangannya adalah bagaimana kewajiban ini dapat dilaksanakan dalam masyarakat yang paternalistik, di mana perempuan ditempatkan untuk urusan-urusan domestik. Terlebih bahwa dalam RUU KIA ini tidak ada sanksi bagi ibu atau ayah ketika tidak melaksanakan kewajiban,” kata Tata.
Dua pengaturan
Pengaturan tersebut berbeda dengan UU Perlindungan Anak yang memberlakukan hukuman pidana, bahkan dengan pemberatan, jika terjadi kekerasan pada anak oleh orangtua. Beberapa kewajiban ibu yang diatur dalam RUU KIA juga hampir sama dengan kewajiban orangtua pada UU Perlindungan Anak.
”Jangan sampai dengan adanya dua pengaturan tentang kewajiban dan tanggung jawab ibu, ayah, atau orangtua, hukum menjadi ’take away menu’ ketika terjadi perselisihan. Pihak yang beperkara tentunya akan mengambil peraturan yang menguntungkannya, seperti tidak ada sanksi,” kata Tata.
Karena itu, peraturan yang baru agar tidak mengatur lagi hal yang sudah ada dalam peraturan lain. Kecuali peraturan baru mengubah peraturan sepanjang tidak mengurangi standar yang ditetapkan sebelumnya.
Kendati peran ayah/suami dan hak cutinya sudah diatur dalam RUU KIA, bagi Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks), potensi domestifikasi perempuan dalam RUU tersebut masih sangat tinggi. Hal ini bisa terlihat dari waktu cuti yang diberikan pada perempuan (istri) dan laki-laki yang berbeda, yakni lebih besar pada perempuan.
”Ini menjadi indikasi bahwa peran pengasuhan anak masih dititikberatkan hanya kepada perempuan,” Naila Rizki dari Kompaks.
Kompaks juga menilai RUU KIA belum mengakomodasi kepentingan semua perempuan pekerja di Tanah Air. Hal ini karena pengaturan hanya berlaku pada perempuan pekerja di sektor formal (di luar aparatur sipil negara dan anggota TNI/kepolisian). Padahal, perempuan yang bekerja di sektor informal jauh lebih banyak, termasuk perempuan pekerja rumah tangga.
Sebelumnya, Diah Pitaloka, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, mengatakan, RUU KIA diusulkan karena banyaknya keluhan masyarakat serta masukan mengenai pengasuhan anak. RUU ini dinilai positif untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mendorong peran ayah dan ibu sebagai orangtua yang bertanggung jawab terhadap kesehatan, pendidikan, serta kesejahteraan anak-anaknya.
”Jadi, tidak hanya dititikberatkan pada ibu, tapi juga bagaimana ayah mengambil ruang peran pengasuhan anak sebagai orangtua,” kata Diah.