Memaksimalkan Potensi Karbon Biru dalam Dokumen Penurunan Emisi
Indonesia memiliki potensi penurunan emisi dari karbon biru yang sangat besar dari jutaan hektar mangrove dan lamun.
Saat ini, Indonesia tengah menyusun dokumen kontribusi nasional penurunan emisi kedua atau second NDC yang dimandatkan dalam Kesepakatan Paris 2015. Target penurunan emisi dalam NDC kedua ini nantinya akan sesuai dengan skenario mempertahankan kenaikan rata-rata suhu permukaan Bumi secara global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (22/4/2024), Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi menyampaikan bahwa Indonesia akan mengidentifikasi penambahan sektor baru yang akan dituangkan dalam NDC kedua, yaitu kelautan.
Potensi sektor kelautan sebagai instrumen penurunan emisi gas rumah kaca atau karbon biru sudah menjadi fokus Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan, potensi karbon biru sebagai bagian dari penghitungan target mitigasi perubahan iklim sudah dilakukan KLHK pada 2021 meskipun saat itu belum dimasukkan dalam dokumen pembaruan NDC.
Baca juga: Pengelolaan Ekosistem Karbon Biru Diintegrasikan dengan Kebijakan Perubahan Iklim
Indonesia sudah memiliki satu peta mangrove dengan proyeksi karbon biru hingga mencapai lebih dari 3,3 miliar ton. Di sisi lain, pengurangan emisi tahunan karbon biru sebanyak 10-31 persen memberikan kesempatan yang sangat baik untuk melakukan akselerasi terkait upaya mitigasi perubahan iklim sekaligus meningkatkan komitmen dalam NDC.
Indonesia berupaya memaksimalkan potensi penurunan emisi dari karbon biru yang sangat besar karena memiliki 3,3 juta hektar mangrove dan 3 juta hektar padang lamun. Luas mangrove di Indonesia ini merupakan 23 persen dari total mangrove dunia.
Namun, hilangnya mangrove dalam tiga dekade terakhir telah menghasilkan emisi gas rumah kaca yang cukup besar. Sebaliknya, studi mengungkap bahwa menghindari konversi mangrove akan mengurangi hingga 30 persen emisi nasional dari sektor tata guna lahan.
Ekosistem mangrove juga telah diketahui memiliki kemampuan menyimpan karbon lebih besar daripada hutan tropis daratan. Hasil studi yang dilakukan para peneliti dari University of California-Riverside (UCR) dan University of California-San Diego, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa mangrove mampu menjaga karbon hingga 5.000 tahun.
Sementara di Indonesia, hutan mangrove rata-rata mampu menyerap 52,85 ton karbon dioksida (CO2) per hektar per tahun. Angka ini lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan dengan estimasi global, yakni 26,42 ton CO2 per hektar per tahun. Adapun total potensi penyerapan karbon di Indonesia mencapai 170,18 megaton CO2 per tahun.
Faktor emisi merupakan salah satu hambatan dalam menghitung inventori gas rumah kaca di sektor kelautan.
Dengan menimbang kemampuan ini, merusak ekosistem mangrove akan membuat kenaikan emisi karbon sulit diatasi dalam waktu dekat. Oleh karena itu, salah satu cara mencegah kenaikan suhu Bumi dan mengatasi krisis iklim ialah dengan menjaga ekosistem mangrove.
Selain itu, Indonesia juga berupaya mengoptimalisasi potensi karbon biru dalam mitigasi perubahan iklim melalui perdagangan karbon internasional sesuai dengan dokumen NDC. Akan tetapi, optimalisasi potensi karbon biru ini tetap membutuhkan sejumlah dukungan, mulai dari aspek kebijakan, sumber daya, hingga koordinasi.
Tahun lalu, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia (ICCTF) bersama Badan Pembangunan Perancis (AFD) menjalin kerja sama terkait pengelolaan ekosistem karbon biru di tiga lokasi, yakni Juru Seberang (Belitung), Likupang (Sulawesi Utara), dan Raja Ampat (Papua Barat).
Baca juga: Dokumen Penurunan Emisi Nasional Kedua Sejalan Target 1,5 Derajat Celsius
Proyek kerja sama ini bertujuan mengintegrasikan karbon biru ke dalam kebijakan nasional dan sub-nasional melalui implementasi Kerangka Kerja Strategis Karbon Biru Indonesia. Tujuan lainnya ialah meningkatkan baseline, inventarisasi, dan kapasitas pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) pemangku kepentingan nasional dan daerah.
Kendala data
Dalam acara Dialog Karbon Biru beberapa waktu lalu, Laksmi mengakui bahwa upaya penurunan emisi di sektor kelautan masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama dari aspek metodologi dan data informasi dasar (baseline). Ketiadaan data baseline ini akan menyulitkan dalam penetapan target penurunan emisi.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Nilai Ekonomi Karbon, upaya mitigasi perubahan iklim di sektor kelautan atau karbon biru diselenggarakan oleh kementerian yang menangani isu kelautan, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Oleh karena itu, KLHK bersama KKP terus berkoordinasi terkait data baseline.
Menurut Laksmi, KLHK terus mengeksplorasi agar bisa mendapatkan data baseline terkait ekosistem mana saja yang nantinya dapat didahulukan untuk masuk ke dalam NDC kedua. Jadi, tidak menutup kemungkinan NDC kedua hanya menuangkan satu subsektor, misalnya padang lamun karena mangrove sudah masuk ke sektor kehutanan.
Selain itu, KLHK dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga tengah mengembangkan metodologi untuk menghitung penurunan emisi di sektor kelautan. Penghitungan ini diperlukan sebagai upaya inventarisasi gas rumah kaca guna melihat tingkat serapan dan penyimpanan karbon dari beberapa ekosistem karbon biru.
Berdasarkan penjelasan Direktur Pulau-pulau Kecil dan Tata Ruang Laut KKP Muhamad Yusuf, faktor emisi merupakan salah satu hambatan dalam menghitung inventori gas rumah kaca di sektor kelautan. Sebagai contoh, faktor emisi di ekosistem padang lamun memiliki data yang sangat bervariasi sehingga sulit menggunakan data tersebut untuk proses inventarisasi.
Sebagai upaya mengatasi hambatan ini, KKP telah menghitung berapa faktor emisi jika padang lamun dirusak dan melakukan skenario penurunan emisi di padang lamun. Jadi, nantinya KKP akan menyebutkan berapa kontribusi padang lamun dalam penurunan emisi.
Penghitungan faktor emisi di padang lamun sangat penting karena sebagian besar penelitian yang sudah dilakukan baru berfokus pada pengukuran biomassa lamun. Sementara studi tentang karbon organik sedimen pada ekosistem padang lamun masih terbatas.
Tetapkan metodologi
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Luky Adrianto mengatakan, pemerintah perlu menetapkan terlebih dahulu metodologi yang digunakan untuk mengukur penurunan emisi di sektor kelautan atau karbon biru. Sebab, metodologi ini sangat menentukan dan merupakan aspek penting yang dilihat oleh pihak global.
Luky juga menekankan, penghitungan nilai ekonomi karbon dalam ekosistem karbon biru harus dilakukan dengan hati-hati. Hal ini bertujuan agar tidak ada penghitungan yang melebihi kapasitas atau juga menggeneralisasi semua nilai ekosistem biru tersebut.
Ekosistem karbon biru, seperti hutan mangrove, padang lamun, dan rawa payau, merupakan ekosistem pesisir yang mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar. Indonesia sebagai pemilik sekitar 17 persen cadangan karbon biru global berpeluang besar dalam melakukan perdagangan karbon internasional yang bersumber dari ekosistem pesisir.
Baca juga: Perdagangan Karbon Biru Butuh Waktu
”Bila memakai istilah kasar, jangan sampai ada yang namanya blue carbon colonialism karena banyak pemain global yang kemudian ingin membeli konsesi ekosistem tersebut. Kita harus menyampaikan literasi di komunitas dengan jelas,” katanya.