Autisme Memberi Lensa Unik, Menampilkan Talenta Tersembunyi
Anak-anak autis memiliki hak yang sama untuk berkarya. Bakat tersembunyi mereka perlu didukung untuk muncul.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
Inklusivitas memberi semangat agar tidak boleh ada seorang pun yang tertinggal. Semua orang memiliki hak untuk belajar dan bekerja, pun individu berkebutuhan khusus. Di balik keunikan mereka tersimpan talenta tersembunyi yang dapat membuat mereka mandiri, berdaya, dan dihargai.
Dalam rangka Hari Peduli Autisme Sedunia yang dirayakan tiap 2 April dan bulan April sebagai Bulan Penerimaan Autisme, pameran seni amal atau Raysha Charity Art Exhibition menampilkan karya lukis nan indah dari para individu dengan autisme di ruangan Sunrise Art Galery di lantai 2 Hotel Fairmont, Jakarta. Pameran itu dibuka pada Senin (22/4/2024) dan berlangsung hingga 31 Mei.
Pameran bertajuk ”Empowering Inclusivity Powered by Hidden Talent” inididukung London School Center for Autism Awareness (LSCAA) dan Panasonic Gobel. Pameran itu menampilkan karya utama Raysha Dinar Kemal Gani (20) yang sejak usia 2,5 tahun didiagnosis autis. Ada juga karya seni Kezia Kuryakin Sibuea (28), Shan Rafael (22), Owen Philip Widjajakusuma (21), dan Dwi Putro Mulyono Jati (61).
Tidak hanya lukisan warna-warni di dinding yang mencolok mata dan menarik perhatian pengunjung. Lukisan yang dimulai dari bentuk huruf O, yang kemudian berubah menjadi beragam wujud tertampang di berbagai peralatan rumah tangga produksi Panasonic Gobel karya Raysha, juga menjadi keunikan pameran seni kali ini.
Ada lukisan jus semangka, jus stroberi, jus bluberi di blender; bunga-bunga dan binatang laut di hairdryer; jamur, padi, dan donat di rice cooker; lebah, burung, kupu-kupu, dan kumbang di air purifier; hingga donat dan cookies di oven toaster. Meskipun dilukis, peralatan ini tetap dapat digunakan untuk pemakaian sehari-hari.
Pendiri LSCAA sekaligus ibu dari Raysha, Prita Kemal Gani, menghargai kesempatan yang diberikan Panasonic Gobel Indonesia untuk Raysha melukis di media barang-barang elektronik. Pada tahun 2023, Raysha diajak pameran bertajuk ”Art with Heart” bagi anak berkebutuhan khusus, dia melukis binatang laut di kulkas produksi Panasonic Gobel.
”Autisme memberi Raysha lensa unik dalam melihat dunia. Baginya, warna dan bentuk tak sekadar elemen seni. Raysha menyukai melukis sebagai media ekspresi dan sarana terapi. Melalui hobi melukis, Raysha konsisten menghasilkan karya dan bermanfaat bagi teman-teman individu autistik dari keluarga prasejahtera,” ujar Prita yang juga pendiri dan CEO LSPR saat pembukaan pameran.
Mengekpresikan
Prita menuturkan, ada tantangan bagi anak dengan autisme dalam mengekspresikan perasaan dan berkomunikasi. Beberapa ada yang punya tantangan imajinasi hingga masalah motorik dan sensorik.
”Untuk bisa menghasilkan karya seni indah, tidak mudah bagi mereka. Banyak kerja keras dan rasa sakit untuk mewujudkannya. Butuh dorongan dan latihan untuk menemukan kemampuan dalam karya seni atau hal lain yang bisa membuat mereka sukses dan bermanfaat bagi orang lain,” ujarnya.
Menurut Prita, anak dengan autisme membutuhkan dukungan untuk bisa mandiri atau menolong dirinya sendiri dan bersosialisasi. Namun, mereka juga ternyata mampu menolong orang lain dengan karya-karya dari talenta tersembunyi yang dimiliki.
Hasil dari pameran seni amal ini akan disumbangkan oleh Raysha dan Panasonic Gobel kepada Rumah Autis dan YCHI Autism Center. Beberapa lukisan Raysha dikemas pula dalam bentuk merchandise yang dapat dibeli secara bebas oleh publik melalui platform e-commerc, atau dengan mengunjungi Sunrise Art Gallery.
Untuk bisa menghasilkan karya seni indah, tidak mudah bagi mereka. Banyak kerja keras dan rasa sakit untuk mewujudkannya.
Melalui Raysha Foundation, hasil penjualan merchandise atau suvenir tersebut disalurkan untuk membantu kebutuhan terapi anak-anak dengan autisme dari keluarga prasejahtera. Banyak anak autis dari keluarga tidak mampu yang butuh dukungan dalam pendidikan dan terapi agar bisa mengalami tumbuh kembang optimal dan menemukan bakat tersembunyi.
Prita mengisahkan, kegiatan melukis menjadi salah satu terapi yang dijalani Raysha sejak tahun 2019. Dia belajar meningkatkan konsentrasi dan ketenangan. Meski memiliki keterbatasan, Raysha mempunyai rasa tanggung jawab besar dan ingin menyelesaikan lukisannya dengan indah.
Untuk menuntaskan lukisan di semua barang-barang elektronik, dibutuhkan waktu hampir delapan bulan sejak tahun lalu. Butuh waktu tujuh minggu untuk melukis kulkas. Ada juga butuh waktu tiga minggu untuk melukis magic jar karena butuh konsentrasi.
”Dengan menampilkan talenta tersembunyi yang menghasilkan karya-karya indah, mereka jadi bisa dihargai. Mereka juga dapat menolong orang lain,” kata Prita.
Hal tersebut bertujuan agar tidak ada satu pun individu yang tertinggal, no one left behind. Semua anak berhak berkarya. ”Tugas kita adalah mendukung dan menggali potensinya. Sehingga nantinya, individu berkebutuhan khusus dapat menjadi mandiri dan berdaya,” ujarnya.
Menurut Prita, Panasonic dan Raysha bersama-sama membuktikan bahwa seni dan teknologi elektronik dapat berdampingan, membuka jendela baru bagi kita semua untuk melihat dunia dalam cahaya yang lebih berwarna dan inklusif.
Sementara B2B Solution and Service Director PT Panasonic Gobel Indonesia Intan Abdams Katoppo mengutarakan, dukungan bagi anak-anak berkebutuhan khusus jadi langkah membuat inklusivitas bermakna agar tak seorang pun tertinggal. Terbukti dengan tantangan yang mereka hadapi, anak-anak berkebutuhan khusus bisa menghasilkan karya luar biasa, bahkan memberdayakan orang lain.
”Semoga dukungan ini bisa jadi cikal bakal ekosistem bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk didukung dan dihargai secara berkelanjutan. Mulai tahun ini, Panasonic merekrut anak berkebutuhan khusus untuk bekerja,” kata Intan.
Peserta pameran lainnya menemukan bakat mereka melukis dari terapi kemudian menjadi prestasi. Owen, yang didiagnosis autis pada usia 15 bulan, awalnya belajar melukis untuk melatih motoriknya. Karena kesibukan sekolah dan terapi, kegiatan melukis sempat terhenti. Namun, sejak pandemi, dia kembali belajar melukis dan kini mulai ikut pameran.
Kezia yang diagnosis autis di usia 3 tahun suka mencoret-coret dinding. Ketika diberi kertas, dia dapat menggambar orang dengan bagus. Kezia pun terus berlatih dan ikut berbagai pameran, salah satunya di Istana Bogor, Jawa Barat, bersama Kementerian Perdagangan.
Adapun Shan juga sering ikut pameran. Hasil lukisannya pun dijual, hingga dibeli salah seorang pengusaha Singapura. Dia pernah juga melukis mural bersama orang lain.
Sementara Dwi atau sering disapa Pak Wi yang menyandang disabilitas intelektual, pendengaran, dan bicara menjadikan melukis sebagai kesehariannya. Karya lukisnya ditampikan dalam berbagai pameran di Yogyakarta, Bali, Bandung, hingga Jepang.