Pemenuhan Hak Belajar Anak di Luar Pendidikan Formal Masih Terhambat
Pendidikan di luar persekolahan berperan melayani hak pendidikan anak. Namun, pelaksanaannya mengalami diskriminasi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemenuhan hak atas pendidikan anak-anak Indonesia bisa diwujudkan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Hal ini memberikan ruang terwujudnya pendidikan inklusif untuk mencapai pendidikan bagi semua. Namun, kerap kali atas nama birokrasi, pendidikan yang diakui lebih berpihak pada pendidikan formal.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Indonesia Anastasia Rima Hendrarini di Jakarta, Kamis (18/4/2024), mengutarakan, para pelaku pendidikan nonformal dan informal yang juga melayani anak-anak usia sekolah kini resah dengan ketentuan standar sarana dan prasarana pendidikan dasar dan menengah.
Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Pendidikan Dasar dan Menengah.
Padahal, sebelumnya standar sarana dan prasarana yang diatur ditunjukkan pemerintah berupa konsep ramah anak dan fokus pada keselamatan.
“Namun kami menilai Permendikbudristek baru ini menetapkan satu standar sarana prasarana berlaku untuk formal, nonformal, dan informal. Prasyarat ruang kelas menyebutkan setiap anak membutuhkan dua meter persegi. Luas tanah dan gedung pun harus disesuaikan dengan jumlah peserta didik,” ujarnya.
Menurut Anastasia, hal tersebut tidak mungkin dipenuhi semua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang melayani pendidikan nonformal. Padahal, dalam Permendikbud Nomor 119 Tahun 2014 ada disebutkan bahwa pendidikan jarak jauh (PJJ) adalah sekolah terbuka.
Persoalan tersebut juga mengemuka dalam pembukaan Bulan Aksi Pendidikan Untuk Semua pada April-Mei 2024 yang digagas Pendidikan Insan Bestari bekerja sama dengan Asah Pena Indonesia, Lembaga Perlindungan Aanak Indonesia (LPAI), serta Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan (Kerlip) di Jakarta, Rabu (17/4/2024).
Ketua umum Asah Pena Indonesia Seto Mulyadi menegaskan, pemerintah wajib melindungi anak, termasuk hak belajar anak agar tidak dirampas atas nama birokrasi maupun kebijakan. Anak-anak yang mengikuti pendidikan nonformal menjalani merdeka belajar dengan tidak dibelenggu aturan tentang ukuran ruang belajar.
“Hak anak jangan sampai dirampas hanya karena penentu kebijakan tidak pernah merasakan pengamalan merdeka belajar yang sesungguhnya. Belajar bisa di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja,” kata Seto.
Beberapa peserta didik di pendidikan nonformal diterima di Universitas Harvard dan berbagai perguruan tinggi terkemuka setelah lulus ujian kesetaraan Paket C. Ada juga penyandang tuli yaitu putra Dewi Yul yang lulus summa cum laude di universitas terkemuka di luar negeri.
Hak anak jangan sampai dirampas hanya karena penentu kebijakan tidak pernah merasakan pengamalan merdeka belajar yang sesungguhnya. Belajar bisa di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja.
Menurut Anastasia, kebijakan soal sarana dan prasarana pendidikan nonformal yang harus mengikuti pendidikan formal merupakan kemunduran luar biasa. Padahal, selama pandemi Covid-19, anak-anak mengikuti pembelajaran jarak jauh. Artinya, pendidikan yang digelar secara fleksibel di rumah atau di luar gedung sekolah tetap bisa memenuhi layanan belajar bermutu bagi anak.
Hambatan pendidikan nonformal
Beberapa penyelenggara PKBM yang hadir dalam diskusi inklusi menyampaikan sejumlah hambatan dalam penyelenggaraan pendidikan nonformal, terutama layanan pendidikan bagi kelompok marjinal.
Yanti Sriyulianti, Pendiri Kerlip, memaparkan, ketersediaan sarana prasarana yang keluasannya dibandingluruskan dengan jumlah peserta didik serta prasarana administrasi menjadi prasyarat mengurus perpanjangan izin operasional PKBM.
Selain itu, kewajiban registrasi izin operasional tiap dua tahun sangat memberatkan pengelola PKBM, terutama yang berfokus pada layanan pendidikan bagi anak-anak marjinal. Sebab, dalam pengurusannya selalu diperlukan “pelicin”.
“Anak-anak marjinal kesulitan memenuhi persyaratan nomor induk kependudukan atau NIK, akte kelahiran, Kartu Keluarga, ijazah, dan rapor yang dilegalisir. Sementara dinas terkesan tak berkoordinasi erat dengan dinas kependudukan dan catatan sipil setempat sehingga pemenuhan hak atas identitas dan pendidikan terhambat. Belum lagi “biaya” pengurusannya,” kata Yanti.
Keterbatasan jumlah Sekolah Luar Biasa (SLB) serta mutunya yang rendah menyulitkan anak-anak penyandang disabilitas menjangkau pendidikan. Upaya pegiat pendidikan memenuhi hak pendidikan anak-anak disabiltas lewat pendidikan nonformal tidak dipayungi oleh kebijakan yang jelas.
Sejumlah kabupaten atau kota tidak mengizinkan PKBM menyelenggarakan pendidikan khusus anak berkebutuhan khusus meski tidak ada aturan khusus yang melarang hal ini. Dinas terkait di kabupaten atau kota menetapkan syarat izin operasional amat berat, seperti ada izin mendirikan bangunan (IMB) dan biaya supervisi rintisan PKBM.
Selain itu, orientasi pemerintah daerah (dinas pendidikan) belum pada pemenuhan hak anak tapi lebih pada pencapaian target administrasi daerah. Akibatnya, PKBM yang menampung peserta didik yang bukan berasal dari wilayah itu dianggap tak memberi kontribusi positif pada daerah karena tidak menambah angka partisipasi sekolah daerah tersebut.
Anastasia menambahkan, pendidikan nonformal punya kontribusi nyata untuk mengatasi anak putus sekolah atau tidak sekolah. Karena itu, peraturan yang menghambat penanganan anak tidak/putus sekolah harus ditolak.
Pemberlakuan Permendikbud 22/2023 menghambat pemenuhan hak atas pendidikan bermutu untuk 1.538 anak tidak sekolah/anak putus dan 539 penyandang disabilitas PKBM Rumah Kerlip Beriman di Kabupaten Kampar, Riau. Selain itu, 1.200 peserta didik di PKBM Generasi Juara Depok dan 15 peserta didik PKBM Melati Bangsa Bekasi dari Bantar Gebang.
“Kami akan berjuang agar pendidikan inklusif bisa diwujdukan dengan mengoptimalkan ketiga jalur pendidikan tanpa diskriminasi,” kata Anastasia.
Bulan Aksi Education for All dilaksanakan pada April-Mei 2024 . Setelah diskusi inklusi pekan depan akan menghadirkan alumni pendidikan sekolah rumah Raka Ibrahim yang kini berprofesi sebagai penulis untuk menyampaikan pandangan apakah bangsa Indonesia sudah inklusif.
Selanjutnya, diskusi akan membahas pentingnya literasi kebangsaan bersama Kak Irwan, pendiri Adversary Mental Pemenang (AMP).
Puncaknya pada 20 Mei 2024 mendatang Kreasi Anak Istimewa akan diadakan di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Karya anak-anak istimewa akan dikumpulkan, dikurasi, dan dilelang. Sekitar 50 persen dari hasil penjualan karya mereka akan disumbangkan bagi 539 anak berkebutuhan khusus yang sampai saat ini tidak bersekolah di Kampar.