Masyarakat didorong mudik dengan transportasi umum ketimbang menggunakan kendaraan pribadi demi menyelamatkan Bumi.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pergerakan masyarakat selama arus mudik, silaturahmi, dan wisata, hingga arus balik Lebaran turut meningkatkan tingkat polusi udara di Indonesia. Masyarakat kembali didorong untuk beralih ke transportasi umum ketimbang menggunakan kendaraan pribadi demi menyelamatkan Bumi.
Studi Transdisciplinary Institute dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menganalisis tingkat polusi udara dari 12 sampai 25 April 2023 atau masa Lebaran tahun lalu. Data ini mereka rangkum dari Copernicus Sentinel Data yang dipublikasikan dari Google Earth Engine (GEE).
Hasilnya, kadar karbon monoksida (CO) di udara selama masa Lebaran tahun lalu meningkat hingga 3,1 persen secara rata-rata kadar CO di setiap kabupaten/kota di Indonesia. Sejumlah wilayah tujuan pemudik dan wisata seperti Sumatera Selatan, DI Yogyakarta, dan Kalimantan Selatan menjadi lebih berpolusi selama masa lebaran.
”Mudik mengakibatkan peningkatan signifikan pada polusi udara, khususnya kenaikan konsentrasi polutan seperti karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO₂), dan ozon (0₃) selama mudik. Ini terkait dengan penggunaan kendaraan pribadi yang masif,” kata Muhammad Abdul Rohman dari tim peneliti Transdisiplinary Institute dalam diskusi daring, Rabu (17/4/2024).
Dalam penelitian ini diungkapkan, selain CO yang meningkat, terjadi juga peningkatan polutan udara lain. Disebutkan, kadar NO2 juga meningkat 6,47 persen, O3 meningkat 1,95 persen, dan sulfur dioksida (SO2) meningkat 5,95 persen. Ini semua dihasilkan dari volume kendaraan mudik Lebaran 2023 yang menembus 26,4 juta kendaraan (BPS 2023).
Selama ini yang diperhatikan dari masa Lebaran hanya potensi pertumbuhan ekonomi dari mudik.
Tingginya tingkat polusi udara selama libur Lebaran ini berpotensi menurunkan kualitas hidup masyarakat menyebar hingga ke kampung halaman pemudik. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, polusi udara berkontribusi besar terhadap enam besar penyakit gangguan pernapasan, yakni pneumonia (infeksi paru), infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asma, tuberkulosis, kanker paru, hingga penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).
”Tradisi mudik memungkinkan terjadinya peningkatan polusi udara di perdesaan karena berpindahnya kendaraan yang tidak ramah lingkungan dari kota ke desa, diikuti penyakit yang menyertainya,” ucap Idzhar Elna Albarizq, peneliti lainnya.
Dekan FEB UI Teguh Dartanto mendorong pemerintah agar mengevaluasi kembali kebijakan pariwisata berkelanjutan atau green tourism yang diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 untuk mengoptimalkan kendaraan rendah emisi di tempat wisata. Selain itu, aktivitas mudik masyarakat sebaiknya juga dialihkan ke transportasi massal.
”Ini sebuah kenyataan yang tidak bisa diabaikan karena bisa berdampak pada kualitas hidup dan kesehatan masyarakat,” kata Teguh.
Dosen FEB Universitas Gadjah Mada (UGM), Akhmad Akbar Susamto, menilai, penelitian ini belum menjelaskan alasan adanya perbedaan peningkatan polusi udara berdasarkan jenis polutan yang ditemukan. Jika dijelaskan lebih mendetail, penelitian akan menjadi lebih lengkap untuk memengaruhi kebijakan tentang penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor.
”Bedanya CO, NO2, SO2, dan O3 itu apa, belum dijelaskan di sini. Padahal, sama-sama mudik kok kadarnya berbeda? Apa mungkin karena yang satu pakai (jenis bahan bakar minyak) pertalite, yang satu pertamax, atau solusinya dengan mobil listrik,” kata Akhmad.
Walau begitu, dia menegaskan, penelitian ini tetap baik untuk melihat sisi yang jarang dipikirkan dari aktivitas mudik Lebaran, yakni dari aspek lingkungan. Sebab, selama ini yang diperhatikan hanya potensi pertumbuhan ekonomi dari mudik.
Udara kembali kotor
Sementara itu, seusai libur Lebaran dan habisnya arus balik Lebaran pada tahun ini, kualitas udara di Jakarta kembali menjadi kotor. Menurut situs pemantau kualitas udara IQAir pada Rabu (17/4/2024), indeks kualitas udara Jakarta berada pada angka 103 atau termasuk kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif. Pada saat libur Lebaran, mulai Rabu (10/4/2024) hingga Selasa (16/4/2024), kualitas udara di Jakarta pada kategori sedang atau pada angka 67-100.
Indeks kualitas udara yang kembali tidak sehat telah menempatkan Jakarta pada peringkat ke-12 dari 121 negara di IQAir sebagai negara dengan paling berpolusi. Peringkat satu diduduki oleh kota Busan, Korea Selatan, yang indeksnya mencapai 179 atau termasuk kategori tidak sehat.