PRT Menggugah Nurani ”Mbak Puan” untuk Sahkan UU PPRT
Pengesahan RUU PPRT ini menjadi sangat penting, apalagi Puan merupakan perempuan pertama yang menjadi ketua DPR.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Di pengujung bulan Ramadhan para pekerja rumah tangga ini masih terus berupaya mengetuk nurani Ketua DPR Puan Maharani dan pimpinan serta anggota DPR lain agar berhenti menyandera Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Undang-undang ini tak kunjung disahkan semenjak tahun 2004 atau 20 tahun lalu.
Selain menggelar doa bersama di gerbang Kompleks Parlemen Senayan, selama Ramadhan para PRT yang didukung berbagai organisasi perempuan dan hak asasi manusia, termasuk pimpinan lembaga keumatan dan tokoh-tokoh lintas agama, bersuara mendesak Puan Maharani dan DPR agar segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
Pekan lalu, Rabu (3/4/2024), para PRT bersama perempuan muda kembali bersuara. Mereka menggalang dukungan masyarakat untuk menggugah hati pimpinan DPR. Bersama Koalisi Sipil untuk UU PPRT, sejumlah perempuan muda dari sejumlah lembaga, seperti Amnesty Amawa Wikerti, Perempuan Mahardhika, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Timur, LBH APIK Jakarta, Institut Sarinah, jaringan dosen muda, para PRT muda, dan Konde.co, menyusun surat terbuka untuk Puan Maharani dan DPR.
Surat terbuka yang akan dikirim kepada Puan Maharani setelah Lebaran berisi sejumlah tuntutan kepada Ketua DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT. Mereka meminta Puan tidak lagi menutup mata melihat berbagai kekerasan dan kekejaman yang dialami para PRT akibat ketiadaan payung hukum atas pekerjaannya.
”Kami perempuan Indonesia yang selama ini melihat banyaknya kekerasan dan diskriminasi, kekejaman yang terjadi pada PRT. Kami ingin Mbak Puan Maharani menghentikannya dengan segera mengesahkan RUU PPRT,” ujar Diah Puspitasari dari Institut Sarinah.
PRT dan perempuan muda Indonesia pun meminta Puan Maharani di akhir masa jabatannya meninggalkan warisan pada PRT. Diah menegaskan, pengesahan RUU PPRT ini menjadi sangat penting, apalagi Puan merupakan perempuan pertama yang menjadi ketua DPR.
Pada posisi tersebut, Puan diharapkan menunjukkan keberpihakannya pada perempuan, terutama para PRT yang merupakan wong cilik, kaum Sarinah. Keberpihakan itu bisa ditunjukkan dengan mengakomodasi aspirasi perempuan, bukan justru menjegal dari aspirasi dan kepentingan perempuan itu sendiri.
”Harusnya ada jejak Mbak Puan, untuk memperbaiki status perempuan baik di masyarakat maupun dalam konteks kebangsaan. Termasuk melakukan terobosan baru untuk menghapus praktik perbudakan para perempuan yang dialami pekerja rumah tangga,” ucap Diah.
Kami dibutuhkan, tapi pekerjaan dan status kami dilecehkan dan tidak diakui.
Berbagai peristiwa penyiksaan terhadap PRT yang sangat melukai rasa kemanusiaan seharusnya semakin menggugah hati Puan dan pimpinan DPR agar segera mengesahkan UU PPRT. Contohnya kekejaman yang dialami Isabela Pule (20), perempuan asal desa di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTS), Nusa Tenggara Timur, yang pada pertengahan Februari lalu viral di media sosial karena tidak diberi makan majikan dan mengalami penyiksaan oleh majikannya di Jakarta.
Lalu ada pula lima PRT di wilayah Jatinegara Timur, Jakarta Timur, yang diduga disekap dan disiksa majikannya. Mereka nekat melarikan diri dengan cara memanjat dan menerobos pagar berdiri, lalu melompat keluar rumah hingga terluka. Dua di antaranya PRT anak yang berusia 17 tahun.
Berbagai kekejaman yang dialami para PRT ini seharusnya menggugah kesadaran akan arti penting perlindungan bagi mereka. Dengan kata lain, Puan dan pimpinan DPR lain tak menunda-nunda pengesahan UU PPRT. Semakin lama RUU PPRT ditunda, akan semakin panjang daftar PRT yang disiksa dan mengalami diskriminasi lainnya.
Diah bersama perempuan muda lain, yakni Sabina Puspita (dosen), Saras Dumasari (Koalisi Perempuan Indonesia Jawa Timur), Sara (Perempuan Mahardhika), Poppy Octasari (LBH Apik Jakarta), Syifa Naziah Amnesty muda (Amnesty Amawa Wikreti), serta Suwartini (PRT muda), mengingatkan Puan akan janjinya untuk secepatnya mengesahkan RUU PPRT pada saat paripurna DPR yang memutuskan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR.
”Kami hadir untuk mengingatkan kembali mendesak Mbak Puan agar segera memenuhi janjinya tersebut. RUU PPRT tidak menuntut terlalu banyak dari pemerintah dan bangsa Indonesia. Sebaliknya, pemerintah dan masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas yang selama ini sangat bergantung pada PRT,” kata Sabina.
Direncanakan, hingga Lebaran para perempuan muda akan terus menggalang dukungan publik melalui media sosial untuk RUU PPRT. Mereka kemudian akan mengirim surat kepada Puan Maharani setelah Lebaran.
Suwartini, mewakili PRT, mengungkapkan, setiap hari dirinya dibayang-bayangi perasaan khawatir dan cemas ketika melihat teman-temannya mengalami kekerasan demi kekerasan. ”Kami dibutuhkan, tetapi pekerjaan dan status kami dilecehkan dan tidak diakui,” ucapnya.
Ia pun mendesak Ketua DPR Puan segera mengesahkan UU PPRT. ”Kami PRT sangat membutuhkan UU ini supaya kami mendapat perlindungan dan hak-hak kami PRT sebagai pekerja,” tuturnya.
Mangkrak tanpa kejelasan
Periode demi periode anggota DPR berganti, tetapi nasib RUU PPRT tak pernah dibahas dan disahkan. Para PRT merasa nasib mereka dipermainkan DPR.
Setiap kali periode baru DPR, RUU ini dimasukkan dalam program legislasi nasional (prolegnas). Namun, hingga akhir periode ketok palu untuk pembahasan, apalagi pengesahan, tak pernah dilakukan DPR.
Kini, hampir 20 tahun RUU PPRT mangkrak di tangan wakil rakyat. Dua tahun lalu, tahun 2022, keputusan pimpinan DPR yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani untuk melanjutkan proses legislasi RUU PPRT sempat memberikan harapan baru bagi PRT.
Pemerintah di bawah perintah langsung Presiden Joko Widodo bergerak cepat. Semua prosedur legislasi menuju pembahasan dan pengesahan RUU dilakukan tim pemerintah yang ditugaskan untuk percepatan RUU PPRT. Draf RUU pun dibahas cepat, beserta Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU PPRT. Semua selesai dan diserahkan ke DPR.
Namun, prosesnya kemudian berhenti total tanpa ada penjelasan dari DPR. Hingga kini tak ada penjelasan apa pun dari Puan. Sejumlah anggota DPR pun ketika ditanya hanya menjawab menunggu Puan Maharani.
”Yang kami tahu masih terhenti di meja Mbak Puan,” kata Koordinator Jaringan Advokasi Nasional PRT Lita Anggraini.
Terhentinya proses RUU PPRT tentu saja menimbulkan berbagai pertanyaan, apalagi jika melihat diskriminasi yang diperlihatkan DPR selama ini. Sejumlah UU begitu cepat diproses dan disahkan menjadi UU.
Bahkan, RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang baru diajukan pada 2022 lalu berjalan mulus dan diperkirakan prosesnya tidak akan lama-lama di DPR. Lalu, pertanyaannya, mengapa RUU PPRT seolah terus disandera DPR?