Selain Cuti Melahirkan 6 Bulan bagi Ibu Pekerja, Ada Apa Lagi di RUU?
Kesejahteraan ibu dan anak penting diwujudkan agar menurunkan angka kematian ibu dan anak.
Pemerintah dan DPR pada Senin (25/3/2024), sepakat melanjutkan proses legislasi Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak. Namun, nama rancangan undang-undang tersebut diubah menjadi Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.
Pada Rapat Kerja Pembahasan Tingkat 1 di DPR yang dihadiri oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, tim pemerintah dan delapan fraksi di Komisi VIII DPR menyetujui legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Kehidupan untuk dilanjutkan dalam Pembahasan Tingkat II DPR. Menurut Menteri PPPA, RUU tersebut mendefinisikan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan sebagai ”seseorang yang kehidupannya dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai dengan anak berusia dua tahun”.
RUU tersebut juga merumuskan aturan ”cuti bagi ibu pekerja yang melakukan persalinan”. Pemberian cuti paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Baca juga: Kesejahteraan Ibu dan Anak, PRT dan Perlindungan Hak Perempuan
”Setiap ibu bekerja yang melaksanakan hak atas cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan berhak mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan bulan keempat, serta 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam,” kata Menteri PPPA.
RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan, juga memberikan dua hari cuti bagi suami yang mendampingi istri bersalin dan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan. Suami yang mendampingi istrinya yang keguguran juga berhak mendapatkan cuti selama dua hari.
Beberapa waktu lalu, sempat mencuat wacana pemberian cuti bagi ayah pegawai negeri sipil untuk pendampingan istri ketika hamil selama 40 hari dan tujuh hari jika istri keguguran. Pada ibu yang melahirkan bisa mendapatkan hak cuti enam bulan.
RUU tersebut juga memberi perhatian pada hak ibu dengan kerentanan khusus. Mereka yang masuk kategori ini antara lain ibu berhadapan dengan hukum, ibu di lembaga pemasyarakatan, ibu di penampungan, ibu dalam situasi bencana, dan ibu dalam situasi konflik. Selain itu, ibu tunggal, ibu korban kekerasan, ibu dengan HIV/AIDS, ibu yang tinggal di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar, serta ibu dengan gangguan jiwa juga masuk dalam perhatian RUU tersebut.
Adapun ibu yang bekerja sebagai aparatur negara sipil (ASN), anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara RI (Polri) diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang ASN, TNI, dan Polri.
Harus diwaspadai apa visi RUU ini, jangan sampai terjebak dengan gagasan jender harmoni yang mengutamakan dominasi peran lelaki bagi perempuan dan keluarga.
Pada bagian uraian tentang kewajiban, diatur peran ayah dan ibu dalam keluarga. Hal ini untuk menghindari domestifikasi peran dan tanggung jawab pengasuhan pada satu pihak saja. Diharapkan, upaya ini dapat membangun kesejahteraan ibu dan anak pada tingkatan terkecil menjadi tanggung jawab bersama sejak awal, demi kepentingan terbaik bagi ibu dan anak.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, meminta dalam RUU tersebut memperhatikan situasi perempuan yang belum menikah ataupun yang sudah menikah dalam mengangkat/mengasuh anak. ”Regulasi menunjukkan pengasuhan utama berada di keluarga apabila terpisah dari orangtua. Bagaimana jika mereka tidak menikah dan hadirnya ibu pengganti di panti atau yayasan yang menjadi alternatif terakhir pengasuhan anak,” kata Diyah.
Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini.
Soal pengaturan cuti bagi ibu melahirkan minimal 6 bulan, Diyah menilai hal tersebut ideal. Masa enam bulan diharapkan akan meningkatkan peran ibu dalam tumbuh kembang anak. Namun, pemerintah perlu membangun skema untuk menekan risiko yang ditimbulkan, seperti penolakan pekerja perempuan. Selain itu perlu ada dialog dan kesepakatan dengan korporasi tempat ibu bekerja.
Hampir dua tahun
Proses legislasi RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Kehidupan termasuk cepat, dibandingkan dengan RUU Perlindungan PRT yang hingga kini belum dilanjutkan DPR. Diajukan sebagai RUU Inisiatif DPR pada 30 Juni 2022, pemerintah langsung menindaklanjutinya dengan penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) bersama pihak terkait.
Awalnya RUU ini berjudul Kesejahteraan Ibu dan Anak. Dalam prosesnya Panitia Kerja (Panja) Komisi VII DPR pada 3 April dan 14 Juni 2023 mengarahkan pemerintah agar RUU tersebut difokuskan pada anak fase seribu hari kehidupan.
Baca juga: Pemberian Cuti Ayah Dukung Peran Suami Siaga
”Negara memberi perhatian pada kesejahteraan ibu dan anak karena dari data yang ada, ibu dan anak yang totalnya dua pertiga penduduk Indoensia, masih menghadapi berbagai persoalan kesejahteraan, antara lain kematian ibu melahirkan, kematian bayi, dan stunting,” kata Bintang.
Pembangunan SDM unggul ditentukan oleh terpenuhinya hak dan kebutuhan dasar ibu dan anak, khususnya pada seribu hari pertama kehidupan. Namun, hingga kini peraturan perundang-undangan yang mengatur kesejahteraan ibu dan anak, masih tersebar. Dengan demikian diperlukan penguatan secara komprehensif melalui UU tersendiri yang mengatur kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan.
Yang didefinisikan dalam RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan adalah anak pada fase seribu hari pertama kehidupan. Maksudnya, ”seseorang yang kehidupannya dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai dengan anak berusia dua tahun”.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Diah Pitaloka menilai, pembahasan atas RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan oleh Komisi VIII DPR RI bersama Pemerintah berlangsung dinamis. Sebelumnya Diah juga mengungkapkan DPR berkomitmen mengesahkan RUU tersebut sebelum masa jabatan anggota DPR 2019-2024 berakhir. Dia berharap langkah-langkah konkret akan memperkuat sistem kesehatan yang ada, memastikan akses yang lebih luas bagi masyarakat, serta memperkuat kebijakan yang berfokus pada kesejahteraan ibu dan anak.
Baca juga: Menanti Payung Hukum Perwujudan Kesejahteraan Ibu dan Anak
Deputy Chief of Program Impact Creation, Save The Children Indonesia, Tata Sudrajat menilai RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menarik, karena prosesnya sangat cepat. ”Hanya dalam waktu dua tahun, artinya komitmen politiknya sangat kuat terhadap kepentingan ibu dan anak. Namun berisiko jika pembahasannya kurang mendalam,” ucapnya.
Pengaturannya yang sangat khusus, yakni 1.000 hari pertama kehidupan, berbeda dengan UU lain yang mengatur anak seperti Kesejahteraan Anak, Perlindungan Anak, dan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Urusan anak yang jumlahnya 84 juta (31 persen) dari populasi penduduk Indonesia memang tidak dapat diatur dalam satu perundangan-undangan dan implikasinya oleh satu kementeran/lembaga.
Ibu-ibu mendaftarkan anak balita mereka di Posyandu Bougenvile, Larangan Selatan, Kota Tangerang, Banten, Januari 2020.
Namun, RUU tersebut masih belum cukup. Masih ada inisiatif untuk mengajukan RUU Pengasuhan Anak yang memiliki tujuan dan kandungan yang spesifik mengenai pengasuhan anak.
Kendati demikian, RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan dinilai memperkuat komitmen negara untuk menyelamatkan anak dan ibu dari kematian saat melahirkan. Selain itu untuk mendorong tumbuh kembang anak yang sehat dan terlindungi serta dapat memastikan tidak ada anak yang meninggal sebelum 5 tahun karena penyakit yang bisa dicegah.
Peneliti Jender dan Islam, Lies Marcoes, mengingatkan RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama kehidupan harus mendapat perhatian publik, agar tidak terjebak pada pandangan sempit dalam memandang konsep keluarga. Misalnya, penggunaan istilah ketahanan keluarga sering digunakan sebagai strategi untuk menolak apa pun yang terkait dengan konsep kesetaraan jender dan pentingnya penghormatan pada hak individu seperti hak untuk bebas dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
”Sebab konsep ketahanan keluarga, kekerasan dalam perkawinan dianggap mustahil adanya jika keluarga dibangun sebagai tatanan harmonis. Jadi, harus diwaspadai apa visi RUU ini, jangan sampai terjebak dengan gagasan jender harmoni yang mengutamakan dominasi peran lelaki bagi perempuan dan keluarga,” kata Lies.
Baca juga: Mengintip Logika di Balik RUU Ketahanan Keluarga
Perlu ada pengakuan akan realitas keberagaman keluarga. Hal ini termasuk adanya keluarga yang dipimpin perempuan (perempuan kepala keluarga), serta tidak mengabaikan dan mendiskriminasi perempuan yang memilih lajang, tapi punya tanggung jawab de facto sebagai kepala keluarga.