Terkait ”Publisher Rights”, Indonesia Harus Segera Belajar Cara Negosiasi dengan Platform Digital
Belajar negosiasi dengan platform diperlukan karena Indonesia belum berpengalaman untuk itu.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Implementasi Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau dikenal dengan publisher rights masih terus dibahas. Salah satu hal yang dinilai penting adalah mempelajari cara bernegosiasi dengan platform digital, seperti Google dan pihak-pihak lain.
Hal ini disampaikan peneliti media berkelanjutan, Agus Sudibyo dalam diskusi Editor’s Talk Forum Pemred “Menguatkan Ekosistem Media: Setelah Publisher Rights, Apa Lagi?”, Rabu (27/3/2024) di Jakarta. Menurut Agus, Indonesia harus belajar kepada pakar internasional yang negaranya berhasil menerapkan publisher rights, seperti di Australia. Dari mereka bisa dipelajari trik negosiasi yang digunakan agar perusahaan platform digital mau mendukung bisnis media Tanah Air.
Indonesia, lanjutnya, saat ini sedang membentuk komite publisher rights bisa belajar dari pakar internasional itu. Mereka rerata berprofesi sebagai pengacara yang telah berhasil membuat kesepakatan bisnis antara media di negaranya dan platform digital.
Saya sarankan asosiasi media, juga dewan pers, dan juga kominfo segera belajar ke Australia yang paling dekat.
Komite publisher rights merupakan amanat Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas yang dibentuk Dewan Pers. Tugasnya antara lain membantu perusahaan pers bernegosiasi dengan perusahaan platform digital seperti Google, Meta dan lain-lain. Saat ini, anggota komite ini sedang seleksi oleh Gugus Tugas yang dibentuk Dewan Pers.
Dalam forum itu, turut hadir Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, serta Anggota DPR Meutya Hafid. Menurut Sri Mulyani, Perpres Nomor 32/2024 mengamanatkan bahwa pendanaan yang dibutuhkan komite publisher rights salah satunya bersumber dari bantuan negara. Namun, agendanya harus jelas dan bantuan dari pemerintah juga harus jelas dalam bentuk apa.
Sebelum kita butuh nyewalawyer (pakar internasional) misalnya, harus diketahui yang mau dipermasalahkan apa dulu.
Budi Arie Setiadi menambahkan, pers merupakan pilar keempat demokrasi. Karena itu, diperlukan tindakan afirmatif untuk membantu eksistensi media di tengah disrupsi digital. “Ini sekarang yang sedang kita pikirkan,” katanya.
Dia melanjutkan, eksistensi media jadi tantangan tersendiri saat menghadapi kebiasaan masyarakat Indonesia dalam menggunakan internet. Menurut Budi, saat memegang gawai, masyarakat lebih sering membuka media sosial. Karena itu, media harus berupaya keras agar tetap relevan bagi publik.