Mikroplastik Pun Mengontaminasi Sampel Tanah Arkeologi
Mikroplastik tidak hanya mencemari lingkungan dan tubuh manusia, tetapi juga situs arkeologi dan merusak keasliannya.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mikroplastik tidak hanya mencemari lingkungan dan tubuh manusia, tetapi juga situs arkeologi dan merusak keasliannya. Penelitian terbaru menemukan partikel mikroplastik kecil dalam endapan yang terletak di kedalaman lebih dari 7 meter, dalam sampel yang berasal dari abad pertama atau awal abad kedua yang digali pada akhir tahun 1980-an.
Temuan mengenai cemaran mikroplastik pada sampel arkeologi ini diterbitkan dalam jurnal Science of the Total Environment edisi Maret 2024. Studi dilakukan oleh para peneliti dari University of York dan University of Hull, Inggris, didukung oleh badan amal pendidikan York Archaeology.
Bagi para arkeolog, melestarikan arkeologi in situ telah menjadi pendekatan pilihan dalam mengelola situs bersejarah. Namun, tim peneliti mengatakan, temuan terbaru ini dapat mendorong pemikiran ulang karena partikel kecil tersebut berpotensi membahayakan sisa-sisa temuan arkeologi yang dikonservasi.
Untuk melihat kontaminasi mikroplastik dalam sampel sedimen arkeologi, para peneliti menganalisis sampel yang diambil pada akhir tahun 1980-an dari dua lokasi penggalian arkeologi di kota bersejarah York, Inggris, serta sumber-sumber kontemporer yang dekat dengan situs yang sama.
Secara total, 66 partikel mikroplastik yang terdiri dari 16 jenis polimer diidentifikasi di sampel situs dan sampel kontemporer atau arsip. Tingkat partikel mikroplastik tertinggi mencapai 20.588 partikel per kilogram (kg) diidentifikasi pada kedalaman sampel sedalam 7,35 meter.
Partikel pencemar yang paling dominan dalam sampel sedimen secara keseluruhan, jenis polimer kopolimer polytetrafluoroethylene (PTFE), polybutylene sulfone (PSU), dan polipropilena: polietilen (PE:PP). Sebagian besar partikel plastik ini terfragmentasi dan bentuknya tidak beraturan.
Mikroplastik adalah partikel plastik kecil, berukuran mulai dari 1 mikron hingga 5 mm. Sebagai perbandingan, rambut manusia lebarnya sekitar 83 mikron. Bahan-bahan mikroplastik tersebut bisa berasal dari berbagai sumber, mulai dari potongan plastik berukuran lebih besar yang telah pecah, atau pelet resin yang digunakan dalam pembuatan plastik yang sering digunakan dalam produk kecantikan hingga sekitar tahun 2020.
”Ini terasa seperti momen penting, membenarkan apa yang seharusnya kita harapkan: bahwa apa yang sebelumnya dianggap sebagai endapan arkeologi murni, siap untuk diselidiki, ternyata terkontaminasi plastik. Ini termasuk tinggalan (arkeologi) yang diambil sampelnya dan disimpan pada akhir tahun 1980an,” kata John Schofield, profesor dari Departemen Arkeologi Universitas York yang memimpin studi dalam rilis pada Jumat (22/3/2024).
Menurut Schofield, kita sudah familiar dengan plastik yang ada di lautan dan sungai. ”Tapi, di sini kita melihat warisan sejarah kita mengandung unsur-unsur beracun. Sejauh mana kontaminasi ini membahayakan nilai bukti dari endapan ini, dan kepentingan nasionalnya adalah hal yang akan kita coba cari tahu berikutnya,” katanya.
David Jennings, Kepala Eksekutif York Archaeology, yang turut dalam kajian ini, menambahkan, pihaknya menganggap mikroplastik sebagai fenomena yang sangat modern karena baru benar-benar mendengarnya selama 20 tahun terakhir ketika Profesor Richard Thompson mengungkapkan pada tahun 2004 bahwa mikroplastik sudah mencemari lautan dunia sejak tahun 1960an akibat ledakan produksi plastik setelah perang.
Menurut Jennings, studi baru ini menunjukkan bahwa partikel-partikel tersebut telah menyusup ke dalam endapan arkeologi. Seperti halnya di lautan, hal ini kemungkinan juga terjadi pada periode yang sama, dengan partikel-partikel tersebut ditemukan dalam sampel tanah yang diambil dan diarsipkan pada tahun 1988 di Wellington Row, York.
Jennings menambahkan, setelah ada bukti temuan pencemaran mikroplastik, para arkeolog kini harus lebih mengkhawatirkan mengenai dampaknya. ”Hal yang menjadi perhatian bagi arkeologi adalah bagaimana mikroplastik dapat membahayakan nilai ilmiah dari simpanan arkeologi,” katanya.
Dia mencontohkan, sisa-sisa situs yang paling terpelihara—misalnya, temuan Viking di Coppergate—berada dalam lingkungan tergenang air anaerobik selama lebih dari 1.000 tahun, yang melestarikan bahan organik dengan sangat baik bisa rusak. ”Kehadiran mikroplastik dapat dan akan mengubah kimia tanah, berpotensi memasukkan unsur-unsur yang menyebabkan sisa-sisa organik membusuk. Jika demikian, melestarikan arkeologi di lapangan mungkin tidak lagi tepat,” ujar Jennings.
Tim peneliti mengatakan, penelitian lebih lanjut mengenai dampak mikroplastik akan menjadi prioritas bagi para arkeolog mengingat potensi dampak bahan kimia buatan manusia terhadap endapan arkeologi.