Kesuburan Manusia Menurun Drastis pada Akhir Abad Ini
Negara miskin akan mengalami ”baby boom” dan negara kaya mengalami ”baby bust”, lalu memicu pergeseran demografi dunia.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat kesuburan manusia secara global diproyeksikan akan menurun drastis dan mengakibatkan pergeseran demografi yang besar. Ledakan kelahiran bayi akan terus terjadi di negara-negara berkembang, sementara kelahiran bayi di negara-negara maju akan terus merosot.
Hal ini diungkap dalam studi Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di Universitas Washington, Amerika Serikat, yang dipublikasikan di jurnal Lancet, Maret 2024. Peneliti menghitung tingkat kesuburan dari rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan selama hidupnya.
Sejak tahun 1950, angka kesuburan mengalami penurunan dan akan terus berlangsung hingga masa depan. Pada tahun 1950, tingkat kesuburan total secara global adalah 4,84 anak per perempuan yang dapat melahirkan, kemudian menjadi 2,23 pada tahun 2021. Angka ini diproyeksikan akan terus menurun menjadi 1,83 pada tahun 2050 dan merosot menjadi 1,59 pada tahun 2100.
Padahal, secara umum, suatu negara perlu memiliki tingkat kesuburan total 2,1 anak per perempuan yang dapat melahirkan untuk mempertahankan pergantian generasi dalam populasi untuk jangka panjang.
Populasi yang lebih kecil akan bermanfaat baik, misalnya pada lingkungan dan ketahanan pangan, tetapi berdampak buruk bagi perekonomian dan geopolitik.
Peneliti memperkirakan, pada tahun 2050, akan ada 155 dari 204 negara (76 persen) dengan tingkat kesuburan di bawah rata-rata. Angka ini akan terus meningkat hingga 97 persen atau 198 dari 204 negara pada 2100 yang mengalami penurunan tingkat kesuburan pada populasinya.
”Ini menggarisbawahi, akan ada tantangan besar pada pertumbuhan ekonomi di banyak negara berpendapatan menengah dan tinggi dengan berkurangnya angkatan kerja dan meningkatnya sistem jaminan kesehatan dan sosial dari populasi yang menua,” kata Natalia Bhattacharjee, peneliti utama studi dari IHME, Sabtu (23/3/2024).
Namun, tingkat kesuburan masih akan meningkat hampir dua kali lipat dari 18 persen pada tahun 2021 menjadi 35 persen pada tahun 2100. Enam negara di kawasan Afrika Sub-Sahara, yakni Samoa, Somalia, Tonga, Nigeria, Chad, dan Tajikistan, misalnya, akan menyumbang satu dari setiap dua anak yang lahir di bumi pada tahun 2100.
Semakin banyak kelahiran hidup di negara-negara berpendapatan rendah akan mengancam keamanan pangan, air, dan sumber daya lainnya. Ancaman lain adalah akan mempersulit upaya memperbaiki angka kematian anak.
Di samping itu, ketidakstabilan politik dan masalah keamanan juga mungkin timbul di wilayah-wilayah tersebut. Akses yang lebih baik terhadap kontrasepsi dan pendidikan perempuan bisa membantu mengontrol angka kelahiran ini.
”Tantangan besar bagi negara-negara di Afrika Sub-Sahara dengan tingkat kesuburan tertinggi adalah mengelola risiko yang terkait dengan meningkatnya pertumbuhan populasi atau risiko potensi bencana kemanusiaan,” kata asisten profesor dari IHME, Austin E Schumacher.
Sementara di mayoritas negara Eropa, tingkat kesuburan akan menjadi 1,37 pada 2100, tetapi di Israel, Eslandia, Denmark, Perancis, dan Jerman diperkirakan masih tinggi, berkisar 1,40-2,09, pada akhir abad ini. Artinya, populasi mereka akan menyusut dan menua, lalu membebani program jaminan sosial dan infrastruktur layanan kesehatan serta kekurangan tenaga kerja.
Merosotnya populasi ini bisa diimbangi dengan sejumlah kebijakan, seperti migrasi yang etis dan efektif. Upaya lain adalah memaksimalkan pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan serta memberikan dukungan yang lebih besar kepada orangtua.
Pergeseran demografis
Temuan studi ini diperkirakan akan mengakibatkan pergeseran demografis yang membuat kesenjangan antarnegara yang mengalami ledakan kelahiran dan penurunan kelahiran. Negara-negara kaya berjuang mempertahankan pertumbuhan ekonomi mereka, sedangkan negara-negara miskin tetap bergulat menghidupi populasi mereka yang terus bertambah.
”Dunia akan secara bersamaan menghadapi baby boom di beberapa negara dan baby bust di negara lain. Ini akan membuat kita menghadapi perubahan sosial yang mengejutkan sepanjang abad ke-21,” kata Stein Emil Vollset, peneliti IHME.
Pemerintah setiap negara harus mengantisipasi hal ini dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim, meningkatkan infrastruktur layanan kesehatan, dan terus mengurangi angka kematian anak, di samping tindakan untuk menghilangkan kemiskinan ekstrem dan menjamin hak-hak reproduksi perempuan. Keluarga berencana dan pendidikan bagi anak perempuan harus menjadi prioritas utama setiap negara.
Meski demikian, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melihat temuan penelitian ini sebagai acuan yang bisa diambil setiap negara untuk menyeimbangkan populasi mereka. Populasi yang lebih kecil akan bermanfaat baik, misalnya pada lingkungan dan ketahanan pangan, tetapi berdampak buruk bagi perekonomian dan geopolitik.
”Negara-negara tidak boleh menerapkan kebijakan prokelahiran sebagai reaksi terhadap proyeksi ini dan menyatakan bahwa penurunan kesuburan tidak boleh digunakan untuk membatasi akses terhadap kontrasepsi atau aborsi,” kata Gitau Mburu, pakar kesuburan di WHO.