Lantunan Doa PRT di Bulan Ramadhan untuk Pimpinan DPR
Hampir 20 tahun terakhir, pekerja rumah tangga tak berhenti memperjuangkan UU Perlindungan PRT. Kuncinya kini di DPR.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Tak ada kata menyerah! Itulah yang ditunjukkan para pekerja rumah tangga serta aktivis organisasi perempuan dan hak asasi manusia ketika memperjuangkan pengesahan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Segala upaya dilakukan, termasuk menaikkan lantunan doa di depan pintu gerbang Kompleks Senayan Jakarta, Kamis (21/3/2024).
Mereka yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (Koalisi Sipil untuk UU PRT) menggunakan momentum bulan Ramadhan dengan menggelar doa dan tadarusan. Beberapa komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga ikut bergabung dalam acara tersebut, antara lain Dewi Kanti dan Siti Aminah Tardi. Bahkan Dewi Kanti tampil memimpin doa mewakili penghayat Sunda Wiwitan, selain doa yang disampaikan lintas iman.
Selain Eva K Sundari dari Institut Sarinah, hadir pula Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati dan para aktivis dari Asosiasi LBH APIK Indonesia, serta perwakilan organisasi keumatan. Mereka duduk bersama di tepi jalan serta mengangkat poster yang mendorong Ketua DPR Puan Maharani serta pimpinan dan anggota DPR segera membahas dan mengesahkan UU PPRT.
Di bulan penuh doa dan rahmat, seharusnya jadi momen untuk kita mengakhiri kekerasan demi kekerasan yang selama ini dialami para PRT.
Tak hanya menaikkan doa dan tadarusan, menjelang waktu buka puasa, para perempuan aktivis dan PRT juga membagikan takjil kepada para pengemudi ojek daring dan taksi yang melewati Jalan Gatot Subroto, Jakarta, depan gerbang gedung MPR/DPR/DPD.
Koalisi Sipil untuk UU PPRT mendesak Ketua DPR Puan Maharani dan pimpinan DPR untuk membuka mata dan melihat nasib para PRT yang hingga kini belum mendapat perlindungan. Momentum di bulan Ramadhan diharapkan semakin mengetuk hati para wakil rakyat untuk berbuat nyata memperjuangkan nasib perempuan PRT, yaitu mengesahkan RUU PPRT menjadi UU.
”Seharusnya di bulan Ramadhan ini, bulan yang suci, perempuan bisa memperjuangkan nasib perempuan lain. Maka, di bulan penuh doa dan rahmat, seharusnya jadi momen untuk kita mengakhiri kekerasan demi kekerasan yang selama ini dialami oleh para PRT,” ucap Eva Sundari.
Bagi Koalisi Sipil untuk UU PPRT, semakin lama UU PPRT disahkan, semakin panjang daftar PRT yang mengalami kekerasan dan diskriminasi. Tanpa UU, penyiksaan demi penyiksaan serta berbagai praktik tidak manusiawi terhadap PRT akan terus terjadi.
Adapun Sutinah, mewakili suara PRT, mengungkapkan harapan kepada DPR agar tidak menunda-nunda pengesahan UU PPRT. Ia berharap pimpinan DPR yang diketuai Puan Maharani agar tidak mengesampingkan perjuangan para PRT. ”Nasib kami PRT, wong cilik, tak dianggap penting, selalu dilewati setiap tahun,” katanya.
Proses legislasi RUU PPRT yang berlarut-larut bahkan hampir mencapai 20 tahun menunjukkan DPR tidak peka terhadap nasib kelompok marjinal. Padahal, Koalisi Sipil untuk UU PPRT menilai perlakuan DPR terhadap RUU PPRT sangat berbeda dengan RUU yang lain.
Misalnya, RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang hanya dalam waktu empat hari dibahas DPR langsung disetujui untuk masuk ke Rapat Paripurna DPR. Pada Senin (18/3/2024), DPR dan pemerintah dalam menyepakati RUU DKJ dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk segera disahkan menjadi UU.
Proses RUU tersebut menyakiti hati para PRT yang harus menunggu RUU PPRT hampir 20 tahun. Apalagi saat ini prosesnya tampak mangkrak dan tak kunjung dibawa ke Rapat Paripurna DPR.
Perjuangan PRT untuk pengesahan UU PPRT ini sebenarnya mendapat dukungan banyak kalangan. Pada Selasa (19/3/2024), para pemimpin lembaga keumatan menyerukan kepada DPR agar tidak menunda-nuda lagi RUU PPRT disahkan menjadi UU.
Pemimpin lembaga keumatan yang diwakili Alissa Wahid (Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Pendeta Gomar Gultom (Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), Romo Marten Jenarut Pr (Sekretaris Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau, Konferensi Wali Gereja Indonesia), dan Prof Nazarudin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta) memberi dukungan akan pengesahan UU PPRT sebagai langkah penghormatan pada martabat manusia.
Dari catatan Kompas, perjalanan RUU terus tersendat-sendat di DPR. Kendati DPR sudah menerima sebagai RUU Usul Inisiatif, langkah selanjutnya tak pernah dilakukan. Prosesnya berhenti, rapat paripurna lanjutan untuk menetapkan pembahasan dan pengesahan RUU tersebut menjadi UU tak pernah berlanjut.
Padahal, awal tahun 2023 lalu, angin segar sempat berembus. Sejak DPR menetapkannya sebagai RUU Inisiatif, pada Selasa (21/3/2023), DPR dan tim pemerintah tampak menunjukkan upaya mempercepat proses dari RUU tersebut.
Ketika itu, tidak sampai sepekan, Ketua DPR Puan Maharani langsung mengirimkan surat kepada Presiden meminta Presiden Joko Widodo segera mengirim surat ke DPR terkait penugasan menteri yang akan membahas RUU PPRT dengan DPR. Selanjutnya, hanya dalam dua bulan (Maret-Mei 2023), tim pemerintah melalui Gugus Tugas RUU PPRT dari Kantor Staf Presiden dan sejumlah kementerian/lembaga secara maraton menyelesaikan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU PPRT.
Pada 23 April 2023, Presiden mengirimkan surat presiden (Surpres) untuk RUU PPRT ke DPR dan menunjuk kementerian terkait untuk membahas RUU PPRT bersama DPR. Lalu menyusul, pada 15 Mei 2023, pemerintah mengirimkan DIM RUU PPRT ke pimpinan DPR untuk pembahasan RUU PPRT bersama DPR.
Ketika itu, Ketua Pelaksana Percepatan Pembentukan RUU PPRT Eddy OS Hiariej, yang juga Wakil Menteri Hukum dan HAM, memastikan RUU PPRT siap memasuki tahapan selanjutnya dan menargetkan pada Mei sudah masuk pembahasan.
Namun, ternyata hal tersebut tak berjalan mulus. Meski DIM RUU tersebut sudah di DPR, proses legislasi RUU PPRT mandek. Tak ada penjelasan apa pun dari DPR, kecuali informasi bahwa prosesnya tertahan karena belum ada ”lampu hijau” dari pimpinan DPR.
Waktu pun berlalu hingga DPR larut dalam kesibukan Pemilu 2024. Setahun lebih berlalu, Pemilu 2024 pun sudah usai. Kini, akan seperti apa nasib RUU PPRT? Semoga doa dan tadarusan PRT di gerbang gedung MPR/DPR/DPD dapat menggugah hati pimpinan DPR.