Masalah verifikasi dan pemilihan narasumber yang dilakukan pers terus berulang dilaporkan ke Dewan Pers.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah pengaduan kasus pers yang diterima Dewan Pers meningkat dalam lima tahun terakhir, terutama terhadap media daring yang kian menjamur. Masalah verifikasi dan pemilihan narasumber terus berulang dilaporkan oleh beberapa pihak yang merasa dirugikan atas karya jurnalistik tersebut.
Dewan Pers mencatat, jumlah kasus yang diterima pada 2023 mencapai 813 kasus dan 794 di antaranya atau 97,66 persen bisa diselesaikan dengan 45 kasus melalui pernyataan penilaian dan pendapat karena tidak menemui kesepakatan dalam mediasi, sisanya diselesaikan dengan mediasi. Angka ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, yakni 95,9 persen pada 2022, 88 persen (2021), 84,5 persen (2020), dan 83,4 persen (2019).
Selain itu, sebanyak 97 persen pelanggaran dilakukan oleh media daring dan kebanyakan berbasis di daerah-daerah atau media lokal. Jenisnya beragam, mulai dari aduan karena tidak melakukan verifikasi sebanyak 40 persen, sumber tidak tepercaya (40 persen), informasi tidak diuji (20 persen), hoaks (10 persen), dan provokasi seksual (10 persen).
Media abal-abal itu adalah penumpang gelap kemerdekaan pers, kita tidak perlu membela mereka.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, aduan ini, walaupun jumlahnya banyak, adalah bentuk kontrol masyarakat terhadap pers agar tetap mengikuti kode etik dan menjaga independensinya. Pengaduan kasus pers bentuk jaminan pemenuhan hak warga negara atas informasi dalam hak asasi manusia.
”Dewan pers tidak berharap cara-cara lama yang intimidatif, kekerasan pada jurnalis, provokatif, atau kalau sekarang modelnya beda, yakni dengan menghadirkan buzzer dan lain-lain, itu semua bukan cara-cara yang menghormati kemerdekaan pers,” kata Ninik di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Kamis (21/3/2024).
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) disebutkan bahwa karya pers yang menyangkut dugaan adanya pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dan prinsip-prinsip kemerdekaan pers harus dilaporkan ke Dewan Pers. Dewan Pers tidak menangani pengaduan karya jurnalistik yang sudah diajukan ke kepolisian atau pengadilan, kecuali aduannya dicabut.
Di sisi lain, Ninik juga mengingatkan agar para wartawan meningkatkan kompetensi kerja dengan berpedoman pada kode etik jurnalistik. Sebab, aduan kasus pers yang masuk semakin meningkat, tetapi dengan jenis aduan yang lebih kurang sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya.
”Saya masih menemukan wartawan yang bertanya tanpa memperkenalkan nama dan dari media mana, langsung bertanya panjang, lalu juga ini dimuat di mana itu tidak disampaikan terlebih dahulu. Padahal, profesi wartawan adalah profesi yang profesional,” ucapnya.
Anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana, memaparkan, tingginya pengaduan kasus pers ini tidak terlepas dari meningkatnya pula literasi publik bahwa kasus pers dilaporkan ke Dewan Pers bukan ke polisi. Selain itu, sistem pengaduan daring yang dibuat Dewan Pers juga memudahkan orang mengadu.
”Pemilu juga meningkatkan pengaduan kasus pers, komisi pengaduan sudah membentuk Satuan Tugas Pemilu yang diisi para anggota kelompok kerja antarkomisi di Dewan Pers. Bulan November nanti, kan, ada pilkada, pasti akan meningkat lagi, sekarang saja sudah sembilan kasus,” kata Yadi.
Perusahaan pers yang melakukan pelanggaran berulang atau dinilai beritikad buruk, maka pengaduan berikutnya tidak akan ditangani. Dewan Pers akan mengeluarkan surat rekomendasi kepada pengadu agar menempuh penyelesaian hukum di luar UU Pers.
Menurut Ahli Pers, Imam Wahyudi menegaskan, karya jurnalistik seharusnya dibuat dengan itikad baik yang diatur dalam kode etik jurnalistik. UU Pers telah memberikan ”keistimewaan” yang menjamin kemerdekaan pers bahwa kasus pers harus diselesaikan dengan mekanisme pers, bukan pidana atau perdata ke aparat penegak hukum lainnya. Namun, kemerdekaan ini tidak boleh disalahgunakan oleh wartawan dengan kesewenang-wenangan saat bekerja.
”Media abal-abal itu adalah penumpang gelap kemerdekaan pers, kita tidak perlu membela mereka, yang harus kita bela adalah media profesional dan media profesional, bukan berarti tidak pernah salah, tetapi saat mereka melakukan kesalahan mereka bisa sportif mengikuti semua prosedur untuk membuat kesalahan itu bisa diperbaiki dan tidak terulang lagi,” kata Imam.
Pengaduan kasus pers yang berulang ini tidak terlepas dari semakin menjamurnya media massa di Indonesia, baik yang profesional maupun tidak profesional. Hingga saat ini, Dewan Pers mencatat media massa di Indonesia yang tersertifikasi sudah mencapai 1.835 media.