Dilema Kehamilan Perempuan Disabilitas Mental
Perempuan disabilitas mental mempunyai hak bereproduksi, tetapi dia dan janinnya juga mempunyai hak hidup sehat.
Perempuan dengan disabilitas mental memiliki hak untuk hamil dan melahirkan seperti perempuan lain. Akan tetapi, hak itu tidak berdiri sendiri, dia dan janinnya tetap memiliki hak untuk hidup sehat.
Upayanya untuk bereproduksi menemui dilema. Sebab, para penyandang disabilitas mental masih harus bergantung pada obat-obatan gangguan mental atau psikofarmaka yang bisa berdampak pada kehamilannya.
Pakar neuropsikiatri dari Universitas Indonesia, Nurmiati Amir, mengungkapkan, data dan kajian efek samping bagi ibu hamil dan janin atau bayi yang mengonsumsi obat psikofarmaka masih sangat minim karena kelompok ini tidak banyak menjadi subyek penelitian dengan alasan etika.
Catatan efek samping psikofarmaka dipelajari dari beberapa kasus yang terjadi, antara lain sindrom metabolik dan gangguan sistem reproduksi, seperti gangguan haid, sindrom polikistik ovarium (polycystic ovarian syndrome/PCO), serta disfungsi seksual.
Obat psikofarmaka juga berefek pada janin dan bayi melalui plasenta dan air susu ibu (ASI). Obat antidepresan, misalnya, bisa mengakibatkan kelainan saraf (anensefali), kelainan lahir (omfalokel), kelainan pertumbuhan tulang tengkorak (kraniosinostosis), keguguran, bayi lahir prematur, komplikasi kehamilan (preeklampsia), dan gagal jantung.
Pasangan, orangtua, dan pelayanan kesehatan yang memadai sangat berperan dalam mewujudkan hak reproduksi bagi orang dengan disabilitas mental.
Oleh karena itu, pemberian obat terhadap perempuan disabilitas mental yang ingin mempunyai anak atau sedang hamil harus dipertimbangkan dengan seksama. Sebab, obat psikofarmaka sangat berpengaruh terhadap perempuan usia subur, hamil, melahirkan, dan menyusui, sedangkan mereka tetap berhak untuk bereproduksi.
”Jadi, pertimbangan untuk memberikan atau tidak psikofarmaka untuk perempuan usia subur harus dipertimbangkan secara benar tentang untung dan ruginya,” kata Nurmiati dalam diskusi yang digelar Perhimpunan Jiwa Sehat, Rabu (20/3/2024).
Baca juga: Pemanfaatan Bahan Lokal Bisa Ungkit Kehidupan Masyarakat Rentan
Anggota Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional ini menyebutkan, sejumlah obat psikofarmaka di era sekarang juga sudah mulai disesuaikan dengan kebutuhan perempuan disabilitas mental yang hamil. Namun, tidak semua obat terbaru ini sudah tersedia di fasilitas kesehatan tingkat pertama di Indonesia.
Obat psikofarmaka sebaiknya dihentikan selama masa kehamilan melalui pertimbangan dokter. Psikoterapi lebih direkomendasikan pada trimester pertama pemberian obat. Jika obat tetap diperlukan, dosis efektif terendah dapat diberikan.
”Menghentikan obat ini harus bertahap, sebaiknya pada trimester ketiga pemberian obat sudah bisa diturunkan,” kata Nurmiati.
Baca juga: Pensiun pada Perempuan Pekerja Kasar Berdampak pada Kesehatan Mental
Ketua Tim Kerja Standardisasi Klinis Pelayanan Kesehatan Primer Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer Kementerian Kesehatan Upik Rukmini mengakui, ketersediaan obat psikofarmaka masih menjadi tantangan, terutama dalam kasus gangguan mental skizofrenia. Sering kali puskesmas menolak rujuk balik pasien karena obat tidak tersedia karena tidak ada permintaan obat ke dinas kesehatan, bahkan obat kedaluwarsa.
BPJS tidak membatasi penanganan yang membutuhkan psikolog atau psikiater, bisa sebulan dua kali atau tiga kali. Silakan saja asalkan ada indikasinya.
Selain itu, kasus gangguan mental pada ibu hamil, nifas, atau menyusui termasuk dalam kasus multidiagnosis sehingga memenuhi indikasi untuk dirujuk ke faskes lanjutan. Pelayanan kesehatan faskes lanjutan biasanya lebih lengkap daripada primer.
”Kemudian masih ada juga tenaga kesehatan kita yang masih kurang percaya diri untuk melakukan pengobatan tersebut,” kata Upik.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memastikan pemerintah telah memberikan jaminan kesehatan yang inklusif kepada semua golongan masyarakat, termasuk untuk pemenuhan hak reproduksi bagi penyandang disabilitas mental. Tren biaya pelayanan obat psikofarmaka dalam empat tahun terakhir selalu berada di atas Rp 200 miliar. Untuk tahun 2023 saja, jumlahnya mencapai Rp 218,8 miliar.
”BPJS tidak membatasi penanganan yang membutuhkan psikolog atau psikiater, bisa sebulan dua kali atau tiga kali. Silakan saja asalkan ada indikasinya,” kata Ali Gufron.
Selain obat
Psikiater dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Hervita Diatri, menegaskan, memang semua perempuan disabilitas mental memiliki hak untuk bereproduksi, tetapi mereka dan anaknya juga berhak untuk hidup. Namun, yang terpenting, semua perempuan memiliki hak untuk mendapatkan akses layanan kesehatan yang baik.
Sementara itu, perempuan lebih rentan mengalami masalah dan gangguan jiwa. Beberapa penelitian menunjukkan, satu dari lima perempuan rentan depresi 1,5-2 kali lipat dari laki-laki, begitu pula dengan risiko skizofrenia dan bipolar. Selain itu, selama hamil dan pascamelahirkan, 5,3-19,8 persen perempuan mengalami gangguan depresi mayor, gangguan kecemasan, fobia sosial, dan fobia spesifik.
Baca juga: Gek Resya Menari Melawan Stigma
Oleh karena itu, selain dengan pertimbangan yang matang dalam mengonsumsi obat psikofarmaka saat dan pascakehamilan, faktor lain yang tak kalah penting harus diberikan kepada penyandang disabilitas mental adalah dukungan lingkungan sosial. Pasangan, orangtua, dan pelayanan kesehatan yang memadai sangat berperan dalam mewujudkan hak reproduksi bagi orang dengan disabilitas mental.
”Obat bukan satu-satunya, ini bukan soal minum obat dan tidak minum obat. Meskipun minum obat, kalau di sekitar begitu dominan memengaruhi pikiran, obat bisa saja tidak menjadi efektif,” kata Hervita.