Budaya literasi bangsa penting dalam membangun fondasi sumber daya manusia berkualitas, tetapi masih jadi tantangan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemajuan literasi di Indonesia dinilai masih memprihatinkan. Ajakan berkolaborasi perlu terus dibangun dengan panduan rencana induk dan peta jalan pembudayaan literasi.
Literasi merupakan kompetensi dasar yang harus dimiliki seseorang sesuai dengan konteks kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Namun, secara umum kemampuan literasi bangsa ini, terutama untuk sampai pada tingkat pemahaman dan produktif dengan literasi, masih tertinggal.
”Kami menyebutkan darurat literasi supaya ada keprihatinan bersama. Kondisi ini menjadi perhatian yang dibahas dalam panitia kerja peningkatan literasi dan tenaga keperpustakaan Komisi X DPR,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih pada acara peluncuran buku Darurat Literasi Indonesia: Urgensi Reformulasi Sinergi dan Kolaborasi di Jakarta, Selasa (19/3/2024) malam.
”Kalau selama ini hasil pembahasan hanya dituangkan dalam laporan singkat, kini kami buat menjadi buku yang dapat diakses publik sehingga dapat menjadi perhatian bersama,” lanjutnya.
Fikri yang juga penulis mengatakan, ada masalah serius dalam membangun budaya literasi bangsa. Hal ini terlihat dari sejumlah pengukuran kemampuan literasi dari dalam dan luar negeri yang masih rendah.
Pada penilaian Program for International Student Assessment (PISA) untuk pelajar berusia 15 tahun pada kurun 2018-2022 tidak banyak kemajuan, bahkan penurunan. Di PISA 2022 yang diumumkan tahun lalu, skor membaca justru mengalami penurunan menjadi 359.
Berdasarkan penilaian indeks pembangunan literasi masyarakat tahun 2022, skor Indonesia sebesar 64,48 dari skala 1-100. Padahal, kecakapan literasi wajib dimiliki masyarakat, terutama generasi muda sebagai penerus bangsa di era digital ini.
”Darurat literasi harus diatasi dengan perencanaan yang komprehensif dan berkelanjutan. Untuk itu, dibutuhkan rencana induk dan peta jalan pembudayaan literasi sehingga tahu prioritas yang harus dibenahi,” kata Fikri.
Literasi lahirkan sosok hebat
Penulis dan pegiat literasi Asma Nadia meyakini banyak sosok hebat yang tertolong karena akses pada literasi dan memiliki kecakapan literasi.
”Jadi, kita harus membantu generasi masa depan agar mereka memiliki budaya literasi yang kuat,” ujarnya.
Ia membenarkan, minat baca masyarakat masih kurang. Kondisi itu perlu ditelaah. Namun, ada hal lain yang juga menjadi pekerjaan dari pengelola perpustakaan, yakni seberapa banyak buku dari penulis yang akrab di masyarakat tersedia di perpustakaan supaya bisa menjadi daya tarik untuk membaca.
Nadia mengingatkan agar pengadaan judul buku bukan sekadar untuk memenuhi target jumlah. Kebermanfaatan buku dan kualitas buku juga harus menjadi acuan. Termasuk, pemerintah bisa menggandeng penulis-penulis ternama untuk ikut dalam penulisan buku bacaan berkualitas yang mampu menarik minat baca masyarakat.
Menurut Nadia, kedaruratan literasi bisa diatasi dengan adanya sinergi dan kolaborasi yang kuat dari perpustakaan nasional hingga daerah dengan penulis dan penerbit. Apalagi, setelah pandemi, lebih dari 100 toko buku tutup.
”Saya baru dari acara Selangor International Book Fair. Saya baru pulang pekan lalu dari Istanbul Publishing Fellowship. Terus terang, saya iri mendengar cerita dari sana bagaimana pemerintah mendukung agar toko buku tidak tutup,” ujar Nadia.
Di Teheran, Nadi menyebut pemerintah Iran mendukung buku cetak yang murah sehingga harga buku menjadi murah. Dampaknya, pameran buku tahun lalu dikunjungi hingga 4 juta orang.
”Ketika toko buku tergusur, jujur, banyak penulis menjerit, apakah masih signifikan atau relevan untuk menjadi penulis dan mengajak orang menjadi penulis. Penghasilan toko buku kini didominasi dari stationary dan perlengkapan olahraga. Karena itu, peran pemerintah ini memang diharapkan supaya penulis dan penerbit bangkit untuk mendukung budaya literasi bangsa,” ujar Nadia.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek E Aminudin Aziz mengatakan, pemerintah berupaya untuk segera merespons berbagai masalah literasi. Salah satunya kekurangan buku bacaan. Pada tahun 2022 dikirim sebanyak 15,4 juta buku bacaan masuk ke perpustakaan sekolah. Di tahun ini ditingkatkan lebih dari 21 juta buku.
Pelaksana Tugas Kepala Perpustakaan Nasional Aminudin mengatakan, keluhan ketiadaan perpustakaan desa direspons dengan pendirian sebanyak 10.000 perpustakaan desa tahun ini. Tiap perpustakaan desa akan mendapat bantuan 1.000 judul buku.
”Bahkan, nantinya anggaran dana desa bisa dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan budaya literasi di desa lewat perpustakaan desa sehingga dapat berkembang,” kata Aminudin.
Demikian pula masalah adanya dualisme standar perpustakaan di sekolah yang diatur Kemendikbudristek dengan perpustakaan umum yang selama ini diatur dengan standar Perpustakaan Nasional, yang kini sudah disepakati menjadi satu standar.
Keluhan kelangkaan pustakawan juga jadi masalah. Mengacu pada UNESCO, satu pustakawan idealnya melayani 2.500 penduduk. Di Indonesia, kekurangan pustakawan aparatur sipil negara sebanyak 439.680 orang, sedangkan di swasta sebanyak 48.510 pustakawan.
Sementara itu, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Nasional Adin Bondar mengatakan, budaya literasi, terutama kegemaran membaca, masih perlu didorong karena ingin mewujudkan masyarakat Indonesia yang berpengetahuan sehingga kreatif, produktif, dan inovatif. Hal ini penting untuk menuju Indonesia Emas 2045 agar masyarakat sejahtera.