Swasta Berperan Krusial dalam Transformasi Pendidikan
Kelebihan wewenang dan anggaran pemerintah akan efektif apabila digabungkan dengan swasta yang fleksibel dan inovatif.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transformasi pendidikan tidak bisa dilakukan pemerintah semata. Peran swasta dalam membangun sistem pendidikan yang berkualitas perlu didorong agar bonus demografi bisa diwujudkan menjadi Indonesia Emas 2045. Jika semua terlibat, sistem pendidikan akan menghasilkan kualitas manusia yang inovatif dan inklusif.
Studi yang dilakukan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) tahun 2024 menunjukkan, kelebihan pemerintah dalam wewenang dan anggaran akan sangat efektif apabila digabungkan dengan kelebihan swasta dalam hal fleksibilitas dan inovasi. Kolaborasi antarpemangku kepentingan sangat penting untuk mengoptimalkan program pendidikan yang ada dan mengatasi tantangan yang muncul selama lima tahun terakhir.
”Sektor swasta ini bisa termasuk tanggung jawab sosial atau CSR. Yayasan ataupun dari inisiatif guru atau kepala sekolah di tingkat sekolah atau praktik-praktik baik ini kita petakan untuk mendapatkan hasil yang positif,” kata Kepala Peneliti CIPS Aditya Alta di Jakarta, Selasa (19/3/2024).
Kami meyakini pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah ini sangat-sangat jauh dari untuk bisa dikatakan bisa mengatasi masalah pendidikan.
Kebijakan di tingkat kementerian dan lembaga pusat bisa saja menjadi buruk di tingkat sekolah karena lemahnya koordinasi dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan sampai ke sekolah. Kolaborasi antarpemangku kepentingan dalam mengoptimalkan program pendidikan yang ada dapat mengatasi tantangan ini.
Medelina K Hendytio, Wakil Direktur Eksekutif CIPS di Jakarta, menjabarkan, studi yang didanai Tanoto Foundation ini menyoroti penyelenggara pendidikan anak usia dini (PAUD) di Indonesia masih didominasi pihak swasta yang berbayar. Ini tentu memberatkan masyarakat kelompok miskin untuk mengakses PAUD.
Dari sekitar 82.000 desa di Indonesia, masih ada sekitar 20.000 desa yang tidak mempunyai PAUD. Ini bisa dioptimalkan pemerintah berkolaborasi dengan swasta. Pemerintah harus menindaklanjuti hal ini agar semua anak mendapatkan pendidikan sedari dini.
”Dana desa itu, kan, sebetulnya bisa dimanfaatkan juga untuk setiap desa membangun PAUD. Tetapi, sayangnya belum ada yang ke arah sana. Kami mendorong dana desa jangan hanya untuk membangun spot foto untuk menarik pariwisata di desa, tetapi juga untuk PAUD,” kata Medelina.
Medelina menegaskan, PAUD adalah fondasi awal mengenalkan anak pada pendidikan baik untuk membangun karakter ataupun kognitif. Selain itu, PAUD juga bisa dijadikan sarana untuk menanamkan kebudayaan lokal kepada anak sesuai dengan asal-usulnya.
Oleh karena itu, pengembangan sekolah yang mencakup aspek mutu dan ketersediaan guru, pengembangan kepemimpinan sekolah, keterlibatan dan dukungan pihak orangtua, serta manajemen sekolah yang responsif terhadap lingkungannya sangat diperlukan untuk memperkuat otonomi sekolah. Masyarakat, bukan hanya ibu, melainkan ayah juga, harus ikut terlibat dalam proses belajar-mengajar anak di PAUD.
Selain itu, kolaborasi pemerintah dan swasta dalam sistem pendidikan juga bisa dilakukan dengan pengembangan sumber daya manusia. Swasta dan BUMN, misalnya, dapat memberikan dukungan biaya operasional seperti untuk pelatihan kepala sekolah dan guru serta pemberian beasiswa. Mereka juga berperan dalam menguji inovasi kecil dalam proses pembelajaran.
”Semua saling membutuhkan karena sektor pendidikan terlalu besar untuk ditangani satu pihak saja,” ucap Medeline.
Ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi presiden dan wakil presiden terpilih nanti. Kepala negara baru harus memprioritaskan peningkatan kesejahteraan dan kompetensi guru dan tenaga kependidikan agar melahirkan generasi yang berkualitas.
Data Sekretariat Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2020 menunjukkan, sekitar 300.000 guru PNS belum berstatus sarjana. Jika digabungkan, jumlah guru PNS dan non-PNS menunjukkan hampir 50 persen yang belum bersertifikat. Padahal, sertifikat adalah bukti kompetensi dan profesionalisme guru.
Tidak hanya itu, masih banyak hasil uji kompetensi guru (UKG) pada tiap-tiap daerah yang belum merata dan masih di bawah rata-rata skor. Sebagai gambaran, rata-rata UKG nasional tahun 2020 sebesar 53,02 persen, masih di bawah standar yang ingin dicapai, yaitu 55 persen.
”Kedua aspek tersebut saling berkesinambungan dan harus sama-sama diatasi. Tanpa kesejahteraan guru, mengembangkan potensi guru menjadi sulit,” kata peneliti muda CIPS, Natasya Zahra.
Sementara itu, Widyaprada Ahli Utama pada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Bernard Purba mengakui kementerian juga memiliki keterbatasan yang membuat sistem pendidikan tidak bisa berjalan maksimal. Dengan begitu, kementerian akan sangat mendukung dan terbuka ketika ada pihak-pihak yang ingin bersama membangun sistem pendidikan.
”Kami meyakini pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah ini sangat-sangat jauh dari untuk bisa dikatakan bisa mengatasi masalah pendidikan sehingga keterlibatan swasta sangat kami hargai sekali,” kata Bernard.
Country Head of Tanoto Foundation Inge Sanitasia Kusuma menyatakan, pihaknya juga dapat bermitra dengan lembaga-lembaga pendidikan untuk melahirkan metode-metode pengajaran yang inovatif, memperbaiki dan menyelaraskan kurikulum dengan kebutuhan industri yang kian berubah, serta memberikan peluang pelatihan praktis bagi siswa.
”Sektor swasta akan terus berfokus pada lima area; peningkatan akses pendidikan, kualitas, pengembangan tenaga kerja, edukasi vokasi, peningkatan sekolah, dan tata kelola,” kata Inge.