Upaya pemenuhan janji negara untuk melindungi masyarakat adat tidak meningkat signifikan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Capaian pengakuan wilayah adat oleh pemerintah-pemerintah daerah hanya 13,8 persen dari total wilayah adat yang diregistrasi. Ini menunjukkan, upaya pemenuhan janji negara untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat tidak meningkat signifikan.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat, per Maret 2024, luas wilayah adat yang sudah diregistrasi mencapai 28,2 juta hektar yang mencakup 1.425 wilayah adat di 33 provinsi dan 161 kabupaten/kota. Jumlah ini meningkat 1,3 juta hektar dari tahun sebelumnya. Sementara luas wilayah adat yang sudah mendapatkan penetapan status pengakuan oleh pemerintah hanya seluas 3,9 juta hektar atau 13,8 persen.
Kepala BRWA Kasmita Widodo mengatakan, rendahnya capaian pengakuan wilayah adat oleh pemerintah daerah karena belum adanya program dan dana memadai yang disediakan oleh pemerintah. Dana yang terbatas ini menandai rendahnya pula komitmen pemerintah untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat.
”Proses ini masih cukup lambat. Kemauan politik, program kerja, dan anggaran pemerintah daerah untuk menyelenggarakan proses rekognisi wilayah masyarakat adat belum signifikan,” kata Kasmita dalam jumpa pers di Bogor, Jawa Barat, Selasa (19/3/2024).
Negara seharusnya mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat untuk diakui karena mereka sudah menempati tempat itu sebelum negara terbentuk.
Bahkan, sejak Desember 2023, pemerintah belum menambah status pengakuan terhadap wilayah hutan adat. Sampai saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru menetapkan 244.195 hektar di 131 wilayah adat. Padahal, potensi hutan adat dari peta wilayah adat teregistrasi di BRWA mencapai 22,8 juta hektar.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bidang Politik dan Hukum Erasmus Cahyadi menilai, luasnya wilayah adat yang diajukan masyarakat adat untuk diregistrasi ke BRWA adalah bentuk tuntutan dari banyak masyarakat agar tanah mereka diakui negara. Mereka kebanyakan resah karena tanah yang ditinggali selama ini tiba-tiba harus berkonflik dengan kepentingan investor atau negara.
”Di sisi lain, komitmen pemerintah tidak kunjung berubah, capaiannya sangat kecil. Sampai hari ini perampasan wilayah adat dengan berbagai modus, seperti proyek strategis nasional dan penguasaan negara melalui hutan lindung dan lain-lain itu besar sekali,” kata Eras.
Data AMAN menunjukkan, selama pemerintahan Presiden Jokowi (2015-2022) sudah terjadi 687 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Sektor dominan yang memicu konflik adalah kawasan hutan (42 persen), pertambangan (13 persen), perkebunan (11 persen), infrastruktur (10 persen), dan kebakaran lahan (2 persen).
AMAN juga mencatat setidaknya terjadi 301 kasus perampasan tanah di wilayah masyarakat adat selama tahun 2017 sampai 2022. Selama rentang waktu tersebut, tidak kurang dari 8,5 juta hektar tanah dirampas oleh sejumlah pihak, seperti pengusaha perkebunan, pertambangan, dan negara. Bahkan tren meningkat pada 2023 ada lebih dari 2,5 juta hektar wilayah adat yang dirampas.
”Data yang masyarakat adat siapkan untuk meregistrasi tanahnya itu harus diapresiasi, sayang semangat ini tidak direspons dengan cara yang memadai oleh pemerintah,” ujarnya.
Oleh karena itu, Eras terus-menerus mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Sebab, instrumen hukum yang ada sekarang masih memiliki celah yang menghambat pengakuan masyarakat adat.
Beberapa instrumen hukum tersebut, antara lain, ialah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B Ayat (2), UU No 41/1999 Pasal 67, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021.
”Sejak lama kami mendesak satu-satunya cara mengakhiri persoalan ini adalah dengan melahirkan UU Masyarakat Adat, tetapi sejak 2010 sampai sekarang belum ditetapkan, ini hampir 15 tahun,” ucap Eras.
Berbagai upaya sudah dilakukan masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan. Kekinian, mereka tengah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh Presiden dan DPR RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena dianggap telah mengabaikan sejumlah instrumen hukum tersebut serta janji politik yang pernah diucapkan.
Kasmita mendesak pemerintah untuk berpihak kepada masyarakat adat. Kerumitan yang dialami masyarakat adat dalam menghadapi kondisi politik kebijakan daerah dan birokrasi pengakuan wilayah adat, hak-hak atas tanah, hutan, serta wilayah pesisir laut perlu segera dihentikan.
”Pemerintah pusat dan daerah perlu segera melakukan terobosan dan kemudahan bagi masyarakat adat melakukan pengakuan hak-hak masyarakat adat,” ujar Kasmita.
Dalam diskusi di Universitas Indonesia (UI) pada 2 Februari 2024 lalu, Kepala Subdirektorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK Yuli Prasetyo Nugroho mengatakan, proses penetapan wilayah adat tidak mudah. Sebab, kelembagaan dan dokumen adat yang tidak terarsip dengan baik serta dipengaruhi proses administrasi kewilayahan yang sudah ada.
”Wilayah adat itu tidak semudah yang kita bayangkan, wilayahnya sudah lintas dan terbagi dalam wilayah desa, kecamatan, kelurahan dan provinsi, hal tersebut bisa terjadi karena proses sejarah wilayah adat dan pembentukan pemekaran kabupaten ataupun provinsi yang sejarah pembentukannya berbeda dari wilayah adat,” kata Yuli.
Sementara itu, Dekan FISIP UI dan dosen Departemen Antropologi FISIP UI Semiarto Aji Purwanto menegaskan, negara seharusnya mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat untuk diakui. Sebab, kebanyakan dari masyarakat adat sudah menempati tempat itu sebelum negara terbentuk.
”Manifestasi kebudayaan mereka, misalnya hutan adat, tradisi yang lahir dan berkembang dari komunitas, lalu di sini permasalahannya adalah bagaimana negara muncul dan ikut mengarahkan perkembangan kebudayaan, misalnya melalui teknikalisasi dan formalisasi,” kata Semiarto.