Perjuangan Masyarakat Adat Terancam Makin Sulit di Pemerintahan Prabowo-Gibran
Mengusung misi keberlanjutan, kepemimpinan Prabowo-Gibran justru berpotensi semakin mendegradasi hak masyarakat adat.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan hak pengakuan dan perlindungan dari negara terancam makin sulit dalam beberapa tahun ke depan di bawah pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Misi keberlanjutan program Presiden Joko Widodo yang selama ini dirasa menindas masyarakat adat dikhawatirkan bakal berlanjut.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, selama pemerintahan Presiden Jokowi (2015-2022) sudah terjadi 687 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Sektor dominan yang memicu konflik adalah kawasan hutan (42 persen), pertambangan (13 persen), perkebunan (11 persen), infrastruktur (10 persen), dan kebakaran lahan (2 persen).
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menilai, misi Prabowo-Gibran yang ingin melanjutkan program Jokowi akan terus meningkatkan eskalasi konflik negara dengan masyarakat adat. Kasus terbaru terjadi pada Komunitas Adat Suku Balik di Kalimantan Timur yang terancam digusur pemerintah demi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
”Rezim ini dalam sepuluh tahun terakhir sudah membuat orang takut untuk bersuara, mereka yang beraspirasi dianggap aneh lalu dirundung oleh netizen. Kita tidak boleh gentar karena kalau tidak bersuara, maka semakin meningkatkan rasa percaya diri mereka untuk merampas,” kata Rukka dalam jumpa pers di Rumah AMAN, Jakarta, Senin (18/3/2024).
Sekarang tempat kita untuk mewujudkan keadilan itu tidak bisa lagi di istana, tetapi di kampung-kampung. Inilah yang tersisa dari masyarakat adat Nusantara.
Masyarakat adat yang berjuang membela hak-haknya sering kali berhadapan dengan masyarakat lain yang menilai kebijakan pembangunan pemerintah benar. Rukka meminta kondisi ini tidak melemahkan perjuangan masyarakat adat karena mereka sudah tinggal di wilayah tersebut sejak lama dan tak kunjung diakui oleh negara.
AMAN juga mencatat setidaknya terjadi 301 kasus perampasan tanah di wilayah masyarakat adat selama tahun 2017 sampai 2022. Selama rentang waktu tersebut, tidak kurang dari 8,5 juta hektar tanah dirampas oleh sejumlah pihak, seperti pengusaha perkebunan, pertambangan, dan negara.
Tren terus meningkat pada 2023. Laporan dari AMAN menyatakan, terjadi perampasan di lebih dari 2,5 juta hektar wilayah adat selama setahun ke belakang. Utamanya, perampasan tersebut dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan investasi, bisnis, dan pembangunan infrastruktur.
Pilihan untuk bisa masuk ke dalam parlemen untuk membawa agenda perlindungan masyarakat adat juga tidak mudah. Dari 32 calon anggota legislatif utusan masyarakat adat yang tersebar di 12 provinsi dan 18 kabupaten/kota untuk maju menjadi caleg dalam Pemilu 2024, hanya 10 orang yang bisa lolos menjadi wakil rakyat.
Itu pun hanya di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tidak ada yang lolos ke DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Senayan, Jakarta. Agenda mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang selama ini diperjuangkan juga semakin sulit terwujud.
”Di DPRD kami punya (wakil), kepala desa juga kita punya. Namun, kalau di nasional, ini sulit. Kami makin jauh dari kampung makin lemah,” ujar Rukka.
Upaya paling maksimal yang bisa dilakukan perwakilan politik masyarakat adat ini adalah mendorong pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Peraturan daerah ini merupakan aturan turunan dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Sartika menambahkan, peran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga perlu diperkuat agar semakin membela hak-hak masyarakat adat yang juga termasuk dalam HAM. Rekomendasi Komnas HAM juga harus dijalankan oleh pemerintah.
Data KPA menunjukkan, selama pemerintahan Presiden Jokowi (2015-2022) sudah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria, paling banyak terjadi pada sektor perkebunan, yakni 1.023 konflik. Dari konflik itu, 1.615 orang menjadi korban, 38 di antaranya tertembak dan 69 orang meninggal akibat mempertahankan hak atas tanah.
”Komnas HAM termasuk lembaga yang sulit sekali menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM yang berkaitan dengan perjuangan hak atas tanah,” kata Dewi.
Perkuat kampung
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi menegaskan, hal lain yang bisa dilakukan masyarakat adat sekarang adalah memperkuat eksistensi di kampung-kampung. Sebab, satu hal tersisa yang bisa mereka perjuangkan adalah kampung mereka.
”Sekarang tempat kita untuk mewujudkan keadilan itu tidak bisa lagi di istana, tetapi di kampung-kampung. Inilah yang tersisa dari masyarakat adat Nusantara,” kata Zenzi.
Pemerintahan ke depan harus menerbitkan keputusan politik untuk menghentikan proses hukum yang sedang berjalan, membebaskan yang sedang di penjara, dan memulihkan nama baik masyarakat adat, petani, nelayan, aktivis lingkungan dan agraria yang telah menjadi korban kriminalisasi, termasuk yang sudah menjalani hukuman di masa lalu.
Secara terpisah, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Usep Setiawan, mengungkapkan, pemerintahan Presiden Jokowi masih berkomitmen menuntaskan RUU Masyarakat Adat ini sebelum Oktober 2024. Namun, pemerintah masih menunggu persetujuan seluruh anggota Dewan dalam Sidang Paripurna DPR.
”Pemerintah sendiri siap melakukan pembahasan materi substansi yang ada dalam RUU. Agar pembahasan bersama bisa dilakukan, DPR diharapkan untuk secara resmi mengirimkan surat dan draf naskah RUU ini kepada presiden,” kata Usep (Kompas.id, 14/3/2024).
KSP, kata Usep, sudah coba fasilitasi proses-proses diskusi lintas kementerian dan lembaga yang melibatkan akademisi dan sejumlah organisasi sipil terkait agar RUU Masyarakat Adat yang akan disahkan menjadi kesepakatan bersama.