Wacana Cuti Ayah PNS Mengungkit Urgensi RUU KIA
Pembahasan RUU KIA mandek sejak Juni 2022 karena sejumlah perusahaan masih berat memberikan cuti ayah bagi karyawannya.
JAKARTA, KOMPAS — Wacana pemberian cuti melahirkan bagi ayah pegawai negeri sipil mendapatkan respons positif dari masyarakat karena keterlibatan ayah dalam mengasuh anak dan mendampingi istri yang baru melahirkan sangat penting untuk masa depan. Ini sekaligus mengungkit nasib Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak atau RUU KIA yang tidak kunjung disahkan.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Sri Endras Iswarini, setuju dengan wacana ini. Namun, dia mendorong agar wacana ini tidak hanya diterapkan pada pegawai negeri sipil, tetapi juga bagi semua ayah pekerja di Indonesia melalui pengesahan RUU KIA.
Dalam RUU KIA, seorang ayah berhak mendapatkan cuti pendampingan istri ketika hamil selama 40 hari dan tujuh hari jika istri keguguran, sedangkan istri bisa mendapatkan hak cuti melahirkan selama enam bulan. Namun, RUU ini mandek di DPR sejak Juni 2022 sampai sekarang.
”Jika Indonesia juga menerapkan cuti ayah ini maka akan membangun ruang aman bagi perempuan dan keluarga agar ayah juga memahami situasi perempuan yang bisa jadi mengalami gangguan mental, selain juga problem fisik pascamelahirkan,” kata Theresia, Jumat (15/3/2023).
Sejak 2018, Badan PBB untuk anak-anak (Unicef) mendesak semua negara untuk memberikan cuti ayah dengan tetap berbayar. Hal ini bertujuan membantu orangtua menyediakan waktu, sumber daya, dan informasi yang dibutuhkan untuk merawat anak-anak mereka. Sebab, dua pertiga anak-anak di dunia yang berusia kurang dari satu tahun hidup di negara-negara ayah mereka tidak berhak atas cuti paternitas berbayar meski untuk satu hari.
Koordinator Dewan Buruh dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, menambahkan, dia pesimistis RUU KIA bisa disahkan mengingat omnibus law UU Cipta Kerja yang dianggap pro perusahaan sudah disahkan. Para buruh harus berjuang lebih kuat demi membangun ketahanan keluarga.
”Dalam omnibus law sistem kerja kontrak dan alih daya semakin diperluas, bagaimana kita bisa bicara tentang hak cuti bagi kaum buruh, buruh mau ambil cuti haid saja sulit,” kata Nining.
Anggota Badan Legislasi DPR, Luluk Nur Hamidah, mengungkapkan, dalam pembahasan RUU ini sebelum disahkan menjadi RUU inisiatif DPR pada 2022 muncul penolakan dari sejumlah kalangan industri, termasuk dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), terutama mengenai cuti melahirkan bagi pekerja perempuan. Pihak perusahaan memandang hal tersebut akan berdampak kurang baik bagi kinerja perusahaan.
”Ini kalau negara memandang bahwa SDM kita adalah urusan utama, ayo kita pandang ini sebagai investasi masa depan bangsa, saya kira tidak akan bikin bangkrut kok negara ini. Jangan sampai cuti ayah mengancam jaminan kerjanya,” kata Luluk.
Cuti ayah bisa digunakan untuk mendampingi pasangan sebelum dan saat melahirkan serta ikut merawat bayi sejak lahir dan yang sebenarnya diharapkan ada program sampai 1.000 hari pertama kehidupan.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini mengusulkan, solusi yang mungkin bisa diajukan pemerintah kepada perusahaan adalah gaji para pekerja perempuan bisa dibebankan sebagian atau sepenuhnya melalui jaminan sosial selama cuti enam bulan tersebut. Alternatif solusi lain, perusahaan bisa merekrut karyawan magang atau paruh waktu untuk mengisi pekerjaan yang ditinggalkan ayah dan ibu selama cuti melahirkan.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Diah Pitaloka, Januari 2024, mengungkapkan bahwa pihaknya berkomitmen mengesahkan RUU KIA sebelum masa jabatan anggota DPR 2019-2024 habis. Dia berharap langkah-langkah konkret akan memperkuat sistem kesehatan yang ada, memastikan akses yang lebih luas bagi masyarakat, hingga memperkuat kebijakan yang berfokus pada kesejahteraan ibu dan anak.
”Kita masih ada waktu enam bulan (hingga Oktober 2024), pembahasan RUU ini sebenarnya sudah selesai, tetapi ada beberapa hal yang masih perlu untuk diharmonisasi,” kata Diah.
Peran ayah
Sudah banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa keberadaan ayah, terutama pada fase awal ibu setelah melahirkan, sangat menentukan tumbuh kembang sang buah hati. Seorang anak membutuhkan stimulasi mental yang menjadi cikal bakal proses belajar, pengembangan psikososial, kecerdasan, keterampilan, kemandirian, dan moral dari kedua orangtuanya.
Baca juga: Menimbang Cuti Hamil 6 Bulan
Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2015, misalnya, kegiatan pengasuhan, seperti menyuapi, mengganti popok, menggendong, menemani anak bermain, memandikan, mendongeng, dan sebagainya masih banyak dilakukan oleh istri. Perbandingannya 2,95 ayah dan 3,28 ibu dalam indeks 1-5.
Keterlibatan orangtua secara langsung dalam proses pengasuhan anak juga masih rendah, baru 26,2 persen ayah dan 25,8 persen ibu yang tidak dibantu orang lain dalam mengasuh anak. Ini disebabkan pengetahuan orangtua baru tentang mengasuh anak masih rendah, kebanyakan dari mereka turut melibatkan kakek atau nenek untuk mengurus anaknya.
Padahal, Pasal 14 Ayat 2 dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak berhak mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan, perlindungan untuk tumbuh kembang dari kedua orangtuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. Kata kedua orangtua di sini berarti ayah dan ibu, tidak hanya salah satu pihak saja.
”Dengan cuti ayah kita berharap ada peran kuat, kohesi, bounding yang dilakukan ayah, dengan ikut menggendong, memandikan, mengganti popok bayi, bangun malam dalam ikut mendukung tumbuh kembang,” kata komisioner KPAI, Jasra Putra.
Baca juga: Cuti Melahirkan dan Jam Kerja Fleksibel Paling Dibutuhkan Pekerja
Penelitian National Center for Fathering di Amerika Serikat juga menunjukkan, kurangnya peran ayah berisiko menyebabkan kemiskinan naik 4 kali lipat, kematian bayi naik 2 kali lipat, kehamilan di luar nikah naik 7 kali lipat, korban pemerkosaan dan pelecehan seksual naik 9 kali lipat, obesitas naik 2 kali lipat, angka putus sekolah naik 9 kali lipat, konsumsi alkohol dan obat terlarang naik 10 kali lipat, bunuh diri naik 2 kali lipat, perilaku agresif dan kekerasan naik 11 kali lipat, serta perbuatan pidana hingga dipenjara naik 20 kali lipat.
Jasra menilai, jika negara tidak memandang hal ini sebagai hal penting, maka generasi masa depan akan terancam. Cuti ayah bisa digunakan untuk mendampingi pasangan sebelum dan saat melahirkan serta ikut merawat bayi sejak lahir dan yang sebenarnya diharapkan ada program sampai 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) atau periode emas tumbuh kembang anak.
”Cuti ayah dapat mengurangi dampak mental, emosi, tekanan psikologis, dampak kesendirian ibu hamil saat membesarkan anaknya dalam kandungan. Kita juga melihat berbagai kisah tantrum, atau baby blues, yang terjadi pada ibu, yang menyebabkan ancaman dan kerentanan untuk anak,” ucapnya.
Meski tantangan dan kondisi keluarga Indonesia sudah banyak berubah dibandingkan dengan beberapa dekade lalu, pembagian peran ayah sebagai pencari nafkah dan ibu mengurusi pengasuhan serta pendidikan anak masih kuat.
Wacana ini muncul dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas yang tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai aturan pelaksana dari UU No 20/2023 tentang ASN. Salah satu poinnya akan memberikan cuti pendampingan bagi ASN pria yang istrinya melahirkan. RPP ini ditargetkan selesai maksimal April 2024.
Baca juga: Populasi Menua, Tak Cukup dengan Tunjangan Melahirkan Saja
Azwar Anas mengatakan, hak cuti ayah sudah jamak diberlakukan di sejumlah negara dan perusahaan multinasional. Waktu cuti yang diberikan bervariasi, berkisar 15 hari, 30 hari, 40 hari, hingga 60 hari.
”Untuk waktu lama cutinya sedang dibahas bersama pemangku kepentingan terkait yang akan diatur secara teknis di PP dan Peraturan Kepala BKN,” kata Azwar Anas seusai rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, Rabu (13/3/2024).