Penyakit Ginjal Sering Kali Tak Bergejala, Deteksi Dini Sebelum Komplikasi
Penyakit ginjal kronik sering kali tanpa gejala. Karena itu, deteksi dini menjadi penting, terutama pada risiko tinggi.
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit ginjal sering kali tidak menimbulkan gejala hingga mencapai tahap akhir. Padahal pada kondisi penyakit ginjal tahap akhir, berbagai komplikasi sudah terjadi. Karena itu, pencegahan dan deteksi dini harus dilakukan terutama pada kelompok dengan risiko tinggi.
Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) Pringgodigdo Nugroho mengatakan, penyakit ginjal sering ditemukan tanpa gejala. Namun, insidensi dan beban yang ditimbulkan dari penyakit tersebut sangat tinggi. Itu sebabnya, penapisan atau skrining menjadi sangat penting.
”Skrining tertarget dini dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat komplikasi penyakit ginjal kronis. Dengan pertimbangan biaya akibat penyakit ginjal kronis yang tinggi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, skrining ini akan menguntungkan secara ekonomi,” katanya dalam temu media terkait Hari Ginjal Sedunia yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan di Jakarta, Kamis (14/3/2024).
Baca juga: Pembiayaan untuk Penyakit Gagal Ginjal Terus Meningkat
Mengutip data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, biaya untuk penanganan gagal ginjal meningkat dalam pembiayaan jaminan kesehatan nasional (JKN). Pada 2022, biaya untuk gagal ginjal sebesar Rp 2,1 triliun. Angka ini meningkat menjadi Rp 2.9 triliun pada 2023.
Menurut Pringgodigdo, biaya tersebut seharusnya bisa ditekan apabila penapisan dilakukan sejak dini. Sejumlah penelitian telah membuktikan, penapisan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit ginjal pada tahap akhir. Penapisan tersebut perlu dilakukan pada individu ataupun populasi berisiko tinggi.
Adapun individu berisiko tinggi mengalami penyakit ginjal kronik, antara lain, individu dengan hipertensi, diabetes, dan individu dengan penyakit kardiovaskular. Selain itu, kelompok yang berisiko tinggi lainnya, seperti masyarakat dengan usia lanjut, individu dengan penyakit sistemik yang menyerang ginjal, atau individu dengan riwayat keluarga dengan penyakit ginjal.
Penapisan penyakit ginjal dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium dasar. Pemeriksaan tersebut untuk melihat estimasi laju filtrasi glomerulus dan rasio albumin-kreatinin pada urin. Glomerulus merupakan bagian dari ginjal yang berfungsi untuk menyaring racun serta membuang cairan berlebihan pada tubuh.
Komplikasi dari penyakit ginjal dapat menyebabkan peningkatan angka kesakitan, kematian, serta biaya kesehatan yang signifikan.
Sementara albumin merupakan protein yang bisa terdeteksi melalui urine. Apabila fungsi ginjal berfungsi dengan baik, albumin tidak ditemukan pada urine. Pengukuran rasio albumin dan kreatinin dalam urine dapat memberikan gambaran mengenai kondisi fungsi ginjal.
Terapi
Pringgodigdo menyampaikan, pada tahap awal, penyakit ginjal kronik bisa dilakukan melalui perubahan gaya hidup, seperti berhenti merokok, meningkatkan konsumsi makanan bergizi seimbang, serta olahraga teratur. Jika kondisi tidak membaik, terapi medis bisa diberikan sesuai dengan anjuran dokter. Selain itu, pastikan tekanan darah, gula darah, dan kolesterol tetap terkontrol.
Pada kondisi lanjut, pasien mungkin akan mengalami penurunan fungsi ginjal. Gejala yang bisa ditimbulkan, antara lain, penurunan laju filtrasi glomerulus, hipertensi resisten, batu ginjal berulang, kadar protein di urin tinggi, serta adanya sel darah merah pada urine. Gejala itu bisa ditandai dengan adanya busa pada urine ataupun darah pada urine. Busa pada urine dapat menunjukkan protein atau albumin.
”Apabila penyakit ginjal tidak ditangani, itu bisa menyebabkan berbagai komplikasi, seperti gagal ginjal, serangan jantung, dan stroke. Pada kondisi ini, fungsi ginjal tidak berjalan baik. Jika fungsinya tinggal 10 persen, itu harus dilakukan dialisis atau cuci darah atau bisa dengan transplantasi ginjal,” ujar Pringgodigdo.
Baca juga: Konsumsi Obat Sembarangan Picu Penyakit Ginjal Kronis
Komplikasi dari penyakit ginjal dapat menyebabkan peningkatan angka kesakitan, kematian, serta biaya kesehatan yang signifikan. Karena itu, upaya deteksi dini serta pencegahan harus dilakukan secara optimal.
Pencegahan
Pringgodigdo menuturkan, tidak ada upaya tunggal untuk mencegah penyakit ginjal kronik. Gaya hidup yang tidak sehat dapat menyebabkan risiko penyakit ginjal kronik semakin tinggi. Untuk mencegahnya, masyarakat harus berupaya untuk mengurangi konsumsi makanan dan minuman yang tinggi gula, garam, dan lemak. Selain itu, pastikan pula untuk beraktivitas fisik cukup. Kebiasaan kurang aktivitas atau kebiasaan malas bergerak di masyarakat turut meningkatkan penyakit tidak menular, termasuk penyakit ginjal kronik.
Selain itu, pastikan untuk mengonsumsi air dalam jumlah yang cukup. ”Mengonsumsi air putih di pagi hari setelah bangun tidur memang sangat baik. Namun, jika selanjutnya kurang minum, akan sama saja risikonya. Ginjal bekerja 24 jam, jadi kebutuhan air perlu dipenuhi sepanjang hari,” tuturnya.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan ialah tidak mengonsumsi obat secara sembarangan. Sebaiknya masyarakat melakukan konsultasi ke dokter atau apoteker ketika akan mengonsumsi obat yang bebas dijual di pasaran. Konsumsi obat secara sembarangan dapat memperburuk fungsi ginjal.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan, penyakit ginjal kronis merupakan persoalan kesehatan masyarakat yang patut menjadi perhatian bersama. Penyakit ginjal kronis merupakan salah satu penyakit dengan penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Kasus yang dilaporkan semakin meningkat. Pada 2013, prevalensi penyakit ginjal kronis pada usia 15 tahun ke atas berdasarkan diagnosis dokter sebesar 2,0 per 1.000 penduduk. Sementara pada 2018 meningkat menjadi 3,8 per 1.000 penduduk. Kasus penyakit ginjal kronik pun tidak berbeda antara masyarakat di perkotaan dan pedesaan.
Baca juga: Perlu Pemeriksaan Berkala untuk Deteksi Penyakit Ginjal Kronis
Menurut Eva, pencegahan dan pengendalian penyakit ginjal kronis perlu dilakukan secara terintegrasi oleh semua pemangku kepentingan. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan kini terus meningkatkan intervensi, baik dari aspek promosi dan preventif, kuratif, serta penelitian dan pengembangan dalam pengobatan penyakit ginjal.
Kementerian Kesehatan telah menargetkan agar pada 2027 seluruh kabupaten/kota mampu memberikan layanan hemodialisis bagi masyarakat. Saat ini, baru ada 201 kabupaten/kota dari 514 kabupaten/kota yang bisa memberikan layanan hemodialisis.
”Dalam pengendalian penyakit ginjal membutuhkan peran serta dari semua pihak. Masyarakat diharapkan bisa ikut dalam perubahan pola hidup menjadi lebih sehat. Selain itu, profesi kesehatan juga diharapkan bisa mendukung pelayanan kesehatan ginjal yang berkualitas,” tutur Eva.
Secara terpisah, Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir mengatakan, jumlah pasien cuci darah di Indonesia yang terus meningkat belum dibarengi dengan peningkatan kualitas akses dalam layanan dialisis. Data Indonesia Renal Registry menunjukkan, pasien baru penyakit ginjal kronis bertambah sebanyak 63.489 pasien baru. Sementara jumlah pasien aktif yang menjalani hemodialisis karena penyakit ginjal kronis sebesar 158.929 pasien.
”Berbagai kesenjangan dirasakan oleh para pasien, padahal mereka telah melakukan kewajiban yang sama untuk membayar iuran BPJS. Kesenjangan dalam hal pembiayaan obat-obatan esensial dan pemeriksaan pendukung yang tidak dijamin cakupan BPJS Kesehatan masih menjadi penghalang. Banyak pasien tidak mendapatkan hak mereka sebagai peserta jaminan kesehatan nasional,” ujarnya.