Kacang Raksasa ”Balam” dari Tanjung Bunga, Sumber Pangan di Kala Paceklik
Masyarakat Flores Timur memiliki sumber pangan yang tahan gejolak cuaca, di antaranya kacang raksasa balam.
Saat El Nino membuat tanah mengering dan tanaman pangan utama, seperti padi dan jagung, mengalami gagal panen, masyarakat di Tanjung Bunga, Flores Timur, masih memiliki sumber pangan yang nyaris tak terganggu gejolak cuaca. Salah satunya buah balam, kacang raksasa yang panjang polongnya bisa mencapai lebih dari 1 meter.
”Biji balam ini menjadi salah satu sumber pangan masyarakat kami, terutama saat paceklik,” kata Matias Raja Koten (62), Kepala Suku Koten Keka, dari Desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Siang itu, Matias tengah mengumpulkan biji-biji balam yang berserakan di bawah tajuk pepohonan di pinggir hutan desa. Balam merupakan tanaman rambat pemanjat yang bisa tumbuh hingga lebih 100 meter.
Balam merupakan sebutan lokal di Tanjung Bunga untuk spesies Entada rheedii, yang dikenal juga sebagai kacang laut, dan diketahui menyebar ribuan mil mengikuti arus laut di sekitar Samudra Hindia, dan bahkan terdampar di Pantai Florida.
Sekitar 15 meter di ketinggian, di antara rerimbunan tajuk, terlihat kacang balam muda yang berwarna hijau. Sepintas balam itu mirip petai, tetapi polongnya jauh lebih besar, bisa mencapai 1,5 meter.
Di dalam polong itu bisa terdapat puluhan biji balam yang berbentuk lingkaran pipih masing-masing berdiameter sekitar 3 sentimeter (cm) dan tebal 1 cm. Kulit biji balam itu berwarna coklat kehitaman dan sangat keras. Bijinya yang keras itulah yang membuat tanaman ini bisa bertahan terbawa arus laut sehingga menyebar luas di dunia, dikenal sebagai kacang laut. Umumnya balam tumbuh di hutan-hutan tepi pantai.
Karena kulit bijinya tebal, licin, dan kedap udara, benih balam bisa melewati perairan selama bertahun-tahun sebelum dapat berakar. Begitu berkecambah, mereka dengan cepat mengelilingi pepohonan di sekitarnya dan tumbuh ke angkasa. Jika tanaman merambat ini dibiarkan tumbuh liar, pangkalnya dapat tumbuh setebal pohon kecil dengan mudah hingga setengah meter atau lebih. Daunnya tumbuh berpasangan sepanjang dahan dan berwarna hijau tua dengan kilau mengilat.
Di Indonesia, tanaman ini bisa ditemukan di sejumlah daerah. Misalnya, pada tahun 2020, para pemuda yang tergabung dalam Organisasi Pemuda Pingit (Oppi) melaporkan telah menemukan pohon ini di kawasan Cagar Alam Pringamba, Banjarnegara, Jawa Tengah. Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Jateng mengonfirmasi tanaman itu sebagai Entada rheedii atau nama lokalnya gongseng. Namun, masyarakat di tidak mengonsumsinya karena dianggap beracun.
”Di kampung kami, turun-temurun biasa mengolah balam sebagai makanan,” kata Matias.
Baca juga: Gagal Panen Jagung Menjadi Pukulan Ganda Masyarakat Flores Timur
Mengolah balam
Matias mengatakan, sebelum bisa dikonsumsi, biji balam ini harus diproses. ”Buah ini beracun, kalau langsung dimakan bisa keracunan. Tetapi, orang Keka, terutama yang tua-tua, pasti tahu cara mengolahnya,” katanya.
Yovita Lodan Koten (65), warga Desa Waibao, mengatakan, waktu ia kecil balam menjadi makanan sehari-hari. ”Setelah besar, hanya makan sesekali kalau musim paceklik,” katanya.
Sebelum diolah, biji balam harus dibakar dengan kulitnya, setelahnya dipukul dengan batu sampai terkupas kulitnya. Kemudian, biji balam yang berwarna putih direndam di air danau atau laut selama dua malam, ditiriskan dan diiris tipis-tipis. Setelah itu, irisan tipis biji balam harus direndam lagi di air laut selama dua malam dan baru bisa dimasak.
Bagi masyarakat Tanjung Bunga, balam hanya salah satu sumber pangan yang bisa dipanen sepanjang tahun untuk menopang kebutuhan pangan saat tanaman lain gagal panen.
”Setelah racunnya hilang, balam yang sudah diiris tipis-tipis ini direbus. Bisa dimakan dengan gula merah atau kelapa parut,” katanya.
Menurut Yovita, anak-anak muda saat ini sudah tidak tahu cara masak dan tidak pernah makan lagi.
Yosep Buto Koten (36) mengatakan, dirinya hanya pernah makan biji balam sekali dalam hidupnya. ”Waktu saya kecil, sekitar awal 1992, terjadi gagal panen karena hama tikus. Mama memasak biji balam, rasanya seperti kacang. Sejak itu tidak pernah lagi makan balam,” katanya.
Selain di Tanjung Bunga, masyarakat lain di Flores Timur juga mengenal cara mengolah dan mengonsumsi balam. Olahan balam, misalnya, juga bisa ditemukan dalam menu tradisional masyarakat Leworok, Kecamatan Titihena.
Baca juga: Areal Pertanian di NTT dalam Ancaman Gagal Panen
Tanaman obat
Pengetahuan masyarakat Tanjung Bunga tentang bagaimana memanfaatkan balam ini merupakan warisan kuno sebagaimana dipraktikkan berbagai masyarakat adat lain, mulai dari Afrika hingga India dan Australia. Para ilmuwan mengelompokkan Entada rheedii dalam keluarga botani yang sama dengan beberapa tanaman psikoaktif terkenal lainnya, termasuk Anadenanthera peregrina serta halusinogen China, Caesalpinia sepiaria.
Sejauh ini riset mengenai manfaat balam atau Entada rheedii di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa laporan di luar negeri menyebutkan, balam mengandung senyawa aktif, minyak atsiri, dan alkaloid. Dipercaya tanaman ini menghasilkan dalam jumlah yang bervariasi, saponin, minyak lemak, dan alkaloid berpotensi psikoaktif. Sebuah laporan mengklaim bahwa bijinya mengandung 18 persen minyak esensial yang mungkin menjelaskan sifat magis tanaman ini dan kemampuannya membantu menginduksi kondisi mimpi atau halusinasi.
Dalam Entada rheedii, African Dream Herb, seperti ditulis dalam www.entheology.org, spesies ini telah digunakan dalam pengobatan tradisional Afrika untuk menginduksi kondisi mimpi, memungkinkan komunikasi dengan dunia roh. Daging bagian dalam dari bijinya akan dikonsumsi langsung, atau dagingnya akan dicincang, dikeringkan, dicampur dengan tumbuhan lain seperti tembakau dan diasapi sebelum tidur untuk mewujudkan mimpi yang diinginkan.
Sementara itu, Yadav Uprety dari Human Ecology Department, Vrije Universiteit Brussels, Belgia, dan tim dalam Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine (2010), menyebutkan, tanaman ini juga digunakan sebagai salep topikal untuk mengatasi penyakit kuning, sakit gigi, bisul, dan untuk mengatasi masalah otot. Oleh masyarakat tradisional, biji kacang ini juga biasa dipakai sebagai perhiasan dan jimat keberuntungan.
Buku The Useful Native Plants of Australia yang ditulis J. H. Maiden (1889) menyebutkan, penduduk asli Aborigin-Australia di wilayah Teluk Cleveland menyebut tanaman itu sebagai barbaddah atau kacang besar yang diolah dengan cara dimasukkan ke dalam oven batu untuk mengupas kulitnya, kemudian ditumbuk halus bijinya dan dimasukkan dalam kantong kecil dan dibiarkan selama 10 atau 12 jam di dalam air, baru kemudian bisa dikonsumsi. Penduduk asli India juga dilaporkan memakannya setelah dipanggang dan direndam dalam air.
Bagi masyarakat Tanjung Bunga, balam hanya salah satu sumber pangan yang bisa dipanen sepanjang tahun untuk menopang kebutuhan pangan saat tanaman lain gagal panen. Selain balam, menurut Yovita, di masa lalu mereka juga biasa mengonsumsi berbagai sumber pangan beracun, seperti kenou (biji palem), ondo atau umbi gadung (Dioscorea hispida Dennsteds), serta biji dan isi batang pandan hutan. Aneka sumber pangan yang banyak tumbuh liar di hutan ini bisa diolah sehingga aman dikonsumsi. Pengetahuan lokal ini diwarisi turun-temurun, dan merupakan bagian penting dari budaya pangan masyarakat tradisional untuk menyangga ketahanan pangan masyarakat.
Baca juga: Merawat Pangan Alternatif Kekayaan Nusantara ala Desa Kaluppini
Meski demikian, pergeseran pola konsumsi yang semakin deras membuat aneka sumber pangan, yang banyak di antaranya bersifat fungsional atau mengandung obat-obatan ini, juga menghilang.