Perjalanan Melintasi Waktu Itu Memungkinkan
Secara teoretis, perjalanan lintas waktu itu memungkinkan. Namun, untuk mewujudkan gagasan itu benar-benar tidak mudah.
Ilmu pengetahuan menegaskan bahwa perjalanan melintasi waktu atau time travel memungkinkan. Namun, sepertinya perjalanan memintas waktu yang kita bayangkan berbeda dengan yang dimaksud dalam sains.
Tanpa kita sadari, manusia sedang melakukan perjalanan melintasi waktu. Apa pun yang kita lakukan, baik duduk termenung di kloset maupun berlari mengejar kereta rel listrik, kita semua sedang bergerak maju menuju masa depan dengan kecepatan yang sama, 1 detik per detik.
Meski demikian, hal itu bukanlah perjalanan melintasi waktu yang kita bayangkan, bukan?
Dalam benak kita, perjalanan lintas waktu itu adalah kembali ke zaman dinosaurus dengan mesin waktu ala film animasi Jepang, Doraemon, bak kisah Park Yeon yang hidup di zaman Joseon dan terlempar hingga 600 tahun ke depan di kehidupan Seoul modern dalam drama seri Korea, Must You Go (2021), atau alat pembalik waktu dalam cerita Harry Potter yang membuat seseorang bisa bolak-balik ke masa depan dan masa lalu dalam waktu terbatas.
Baca juga: Demi Waktu
Di Indonesia pun, kisah perjalanan lintas waktu itu juga pernah menjadi ide drama seri yang ditayangkan salah satu televisi swasta selama bulan Ramadhan, yaitu Lorong Waktu (1999-2006). Dalam sinetron ini, Haji Husin yang diperankan Deddy Mizwar dan santri cilik Zidan bisa pergi ke tempat dan waktu berbeda dengan mesin waktu.
Kesamaan umum dari cerita-cerita fiksi ilmiah itu adalah tokoh-tokoh dalam cerita atau film itu senantiasa bergulat dengan keadaan yang memungkinkan mereka mengubah masa lalu untuk memperbaiki situasi di masa kini dan masa depan. Di sinilah, ide perjalanan lintas waktu itu bersinggungan dengan gagasan alam semesta pararel atau garis waktu alternatif.
Meski gagasan untuk menggugat masa lalu atau menatap masa depan sebelum waktunya itu sangat menarik, hingga kini belum ada orang atau alat yang mampu mengimplementasikan perjalanan bolak-balik melintasi waktu. Belum ada juga orang yang mampu melintasi waktu dengan jaminan selamat tanpa mengalami kehancuran selama dalam perjalanan.
”Bukti terbaik yang kita miliki untuk menunjukkan bahwa perjalanan lintas waktu itu tidak mungkin, dan tidak akan pernah terjadi, adalah kita belum ‘diserang’ oleh gerombolan turis dari masa depan,” tulis fisikawan Stephen Hawking dalam bukunya, Black Holes and Baby Universes (Bantam, 1994), seperti dikutip Space, 25 Februari 2024.
Di sisi lain, seperti ditulis Asisten Profesor Astronomi dan Astrofisika di Universitas Maryland, Adi Foord, di The Conversation, 13 November 2023, membalik waktu adalah pertanyaan besar yang belum bisa diselesaikan sains hingga kini.
Semakin cepat suatu benda bergerak relatif terhadap benda lain, maka semakin lambat pula waktu yang dijalani oleh benda tersebut.
Jika mengikuti hukum termodinamika kedua yang menyebut segala sesuatu di alam semesta bisa tetap sama atau menjadi semakin tidak teratur seiring berjalannya waktu, konsep kembali ke masa lalu tidaklah mungkin terjadi. Dengan demikian, alam semesta tidak akan pernah bisa kembali seperti semula dan waktu hanya bisa berjalan maju.
Teori relativitas
Meski demikian, konsep itu berubah sejak fisikawan Albert Einstein memperkenalkan teori relativitas khusus pada tahun 1905. Teori relativitas khusus ini, bersama pengembangannya teori relativitas umum, menjadi tonggak pengembangan fisika di era modern.
Dalam teori relativitas khusus, perjalanan lintas waktu itu memungkinkan karena menurut teori ini waktu dapat dibelokkan. Waktu adalah ilusi yang bergerak relatif terhadap pengamat. Teori relativitas khusus ini menggambarkan hubungan antara ruang dan waktu untuk benda yang bergerak dengan kecepatan konstan dalam garis lurus.
Secara singkat, prinsip pertama teori ini adalah segala sesuatu yang diukur memiliki kaitan dengan yang lain, artinya tidak ada kerangkan acuan ”absolut”. Kedua, kecepatan cahaya bersifat konstan yang berarti apa pun yang terjadi dengan cahaya dan diukur dari mana pun, nilai kecepatan cahaya tetap sama. Prinsip ketiga, tidak ada benda yang bisa lebih cepat dari kecepatan cahaya.
Dari tiga prinsip sederhana teori relativitas khusus itu, tergambarkan bahwa perjalanan lintas waktu dalam kehidupan nyata itu memungkinkan. Seseorang yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya akan mengalami pelambatan waktu dibandingkan dengan pengamat yang tidak bergerak dengan kecepatan tinggi atau mengalami dilatasi waktu.
Konsep dilatasi waktu itu memunculkan banyak konsekuensi termasuk pelambatan penuaan tubuh. Meski hingga kini belum memungkinkan untuk membuat manusia bergerak dengan kecepatan cahaya, pengiriman antariksawan ke luar angkasa untuk waktu lama ataupun penempatan satelit di orbit tinggi Bumi bisa memberikan informasi yang mengonfirmasi teori ini.
Baca juga: NASA-SpaceX Terbangkan Empat Astronot ke ISS
Antariksawan Amerika Serikat, Scott Kelly, dikirim ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Dia bergerak mengelilingi Bumi dengan kecepatan 28.160 kilometer per jam dan pada ketinggian sekitar 400 kilometer. Setelah menghabiskan 529 hari di orbit, dia mengalami pelambatan penuaan dibanding saudara kembarnya, Mark Kelly, yang hanya 54 hari di orbit.
”Jika dulu (saat lahir) saya lebih tua dari Scott 6 menit, sekarang saya lebih tua 6 menit 5 milidetik darinya,” kata Mark, yang lebih banyak tinggal di Bumi dibanding kembarannya, dalam sebuah diskusi pada 12 Juli 2016.
Perbedaan umur yang sangat kecil antara mereka yang tinggal di Bumi dan orang yang mengorbit di orbit rendah Bumi mungkin memang bisa diabaikan atau dijadikan bahan bercanda. Namun, dengan meninggikan posisi orang itu, di orbit tinggi Bumi, dampak pelambatan waktu bisa lebih dirasakan.
Untuk membantu menentukan posisi dengan tepat, manusia saat ini memiliki teknologi satelit navigasi global (GNSS). Satelit GNSS yang paling populer adalah Global Positioning System (GPS) milik AS. Selain GPS, ada juga Galileo milik Uni Eropa, Glonass milik Rusia, dan Beidou milik China.
Satelit GPS berjumlah 31 buah dan mengorbit Bumi di ketinggian 20.100 km dari permukaan Bumi. Satelit-satelit itu bergerak dengan kecepatan 14.000 km per jam. Untuk menentukan posisi dengan tepat di Bumi, satelit ini dilengkapi dengan jam atom, yaitu jam standar dengan ketelitian yang sangat tinggi.
Dari teori relativitas khusus diperoleh informasi bahwa semakin cepat suatu benda bergerak relatif terhadap benda lain, maka semakin lambat pula waktu yang dijalani oleh benda tersebut. Efek ini membuat jam atom yang ada di satelit GPS, menurut situs yang dikelola Himpunan Fisika Amerika (APS) ”Physics Central”, akan berkurang 7 mikrodetik atau 7 sepersejuta detik per harinya.
Baca juga: 90 Detik Menuju ”Kiamat Bumi”
Sementara itu, menurut teori relativitas umum, jam yang lebih dekat ke pusat massa gravitasi yang besar, seperti Bumi, akan berdetak lebih lambat dibandingkan jam yang jauh dari sumber gravitasi. Karena satelit GPS terletak lebih jauh dibandingkan jam yang ada di permukaan Bumi, jam atom pada satelit GPS akan ditambahkan 45 mikrodetik setiap harinya.
Gabungan antara penambahan waktu akibat kecepatan gerak satelit GPS dan posisinya yang jauh dari Bumi itu membuat jam atom di satelit GPS harus ditambah 38 mikrodetik setiap harinya. Penambahan 38 mikrodetik itu biasanya dilakukan para insinyur pengelola sistem satelit GPS menjelang pergantian hari.
Penambahan waktu itu harus dilakukan karena waktu pada jam atom di satelit GPS terbukti melambat. Penambahan 38 mikrodetik itu juga terasa sangat kecil yang jika dikumpulkan selama tujuh tahun masih kalah lama dengan yang dibutuhkan mata untuk satu kali berkedip sekitar 0,1-0,4 detik. Namun, jika tidak dilakukan penambahan waktu, akurasi penentuan posisi di Bumi oleh satelit GPS menjadi buruk.
Oleh karena itu, prinsip teori relativitas Einstein itu terbukti bahwa waktu di setiap tempat itu tidak sama. Makin cepat gerak sebuah benda relatif terhadap benda lain akan membuat waktunya berdetak lebih lambat. Demikian pula saat sebuah benda berada di dekat pusat gravitasi, waktu pada benda tersebut juga akan melambat.
Lubang cacing
Ilmuwan pun mengembangkan ide-ide lain yang secara teoretis membuat perjalanan lintas waktu memungkinkan. Salah satunya adalah konsep tentang lubang cacing (wormhole) yang diperoleh juga dari teori relativitas umum.
Lubang cacing adalah terowongan hipotetis yang bisa menciptakan jalur pintas bagi seseorang yang sedang melakukan perjalanan melintasi alam semesta. Terowongan ini mampu menembus struktur ruang-waktu serta menghubungkan berbagai peristiwa di satu lokasi dengan peristiwa yang lain di lokasi berbeda, baik maju ke masa depan maupun mundur ke masa lalu.
Baca juga: Kalaupun Ada, "Wormhole" Diyakini Sulit Dijadikan Lintasan Perjalanan Antarruang-waktu
Sebagian ilmuwan menyebut bahwa lubang cacing sebagai jembatan Einstein-Rosen. Namun, ada pula yang menamainya lubang putih (white hole), yaitu obyek yang memiliki karakter berkebalikan dengan lubang hitam (black hole).
Meski lubang cacing memungkinkan orang bisa mengunjungi berbagai ruang-waktu dan banyak dijumpai dalam cerita dan film fiksi ilmiah, sejatinya tidak ada lubang cacing yang teridentifikasi dalam kehidupan nyata. Jika lubang hitam sudah bisa dibuktikan keberadaannya di alam semesta, lubang putih atau lubang cacing sepertinya hanya menjadi obyek hipotetis semata.
”Semua hal tentang lubang cacing masih bersifat hipotesis. Tidak ada ilmuwan yang memperkirakan bahwa kita akan bisa menemukan lubang cacing dalam waktu dekat,” kata profesor fisika teoretis Universitas Oregon AS, Stephen Hsu, seperti dikutip Livescience pada 23 Februari 2012.
Kalaupun lubang cacing ada, ilmuwan meyakini bahwa yang ada hanyalah lubang cacing primordial, bukan lubang cacing seperti yang digambarkan dalam cerita atau film fiksi ilmiah. Alih-alih bisa dimasuki manusia, pintu masuk lubang cacing primordial hanya sebesar seperdesillion atau 10 pangkat minus 33 sentimeter.
Lubang superkecil itu menjadi jalan bagi perpindahan partikel di semesta. Namun, lagi-lagi, lubang cacing primordial itu juga belum terbukti.
Baca juga: "Multiverse" Baru Sekadar Hipotesis
Meski teori relativitas Einstein bisa memprediksi adanya perjalanan lintas waktu, untuk mewujudkan perjalanan menembus ruang-waktu itu sepertinya sulit terwujud. Oleh karena itu, sejumlah ilmuwan mengusulkan solusi lain yang memungkinkan manusia melompat bolak-balik dalam waktu, seperti teori silinder tak terbatas yang diusulkan astronom Frank Tipler atau teori donat waktu dari fisikawan Amos Ori.
Meski demikian, kelemahan utama dari teori-teori alternatif ini adalah manusia yang berada dalam terowongan lintas ruang-waktu itu tidak akan mampu bertahan dari tarikan atau dorongan gravitasi terowongan yang sangat besar. Kalaupun berbagai teori tentang perjalanan lintas waktu itu bisa dibuktikan keberadaannya, masih banyak paradoks yang perlu segera diselesaikan.
Salah satu paradoks terkait perjalanan lintas waktu yang membuat ide ini sulit diwujudkan adalah ”paradoks kakek”. Dalam paradoks ini, seseorang yang bisa kembali ke masa lalu, secara tidak sengaja menghalangi pertemuan kakek dan neneknya. Jika kakek dan neneknya tidak pernah bertemu, lantas bagaimana orang itu bisa lahir? Jika orang itu tidak pernah lahir, bagaimana dia bisa melakukan perjalanan kembali ke masa lalu?
Paradoks-paradoks yang muncul itu membuat perjalanan waktu makin menjadi misteri. Dalam dunia khayal manusia, manusia selalu ingin mengembara melintasi ruang dan waktu untuk mewujudkan segala keingintahuan dan keinginannya. Namun, merealisasikan perjalanan lintas waktu itu benar-benar tidak mudah.