Kinerja Tim Antikekerasan di Sekolah Perlu Diperkuat
Dana BOS sebaiknya dialokasikan untuk pengoperasian kerja TPPK, bukan untuk rencana program makan siang gratis.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan atau TPPK di satuan pendidikan harus segera dikebut karena kasus kekerasan dan perundungan yang mencoreng dunia pendidikan Indonesia terus terjadi. Kinerja tim ini juga harus semakin diperkuat agar tak sekadar dibentuk untuk pemenuhan syarat administrasi.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mengungkapkan, saat ini sudah ada 83,5 persen satuan pendidikan jenjang SD, SMP, SMA/K, dan SLB yang sudah membentuk TPPK. Jumlahnya sudah ada 361.253 tim yang tersebar di 432.399 sekolah. Masih ada 5.732 sekolah yang belum memiliki TPPK.
TPPK bisa mengajukan anggaran ke kepala sekolah dengan menggunakan dana BOSP untuk meningkatkan kinerja tim.
Sementara di tingkat regional terbilang masih rendah, yakni baru 57,5 persen pemerintah daerah yang sudah membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Di tingkat kabupaten/kota, baru ada 296 satgas dari total 514 kabupaten/kota dan di tingkat provinsi baru ada 18 satgas dari total 38 provinsi.
”Sangat penting bagi tim ini untuk memperdalam pemahaman mengenai berbagai aspek pencegahan dan penanganan kekerasan. Saling berbagi ilmu dan praktik baik serta memperkuat kerja sama antarpemangku kepentingan pendidikan,” kata Nadiem, Selasa (5/3/2024).
Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami menjelaskan, Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 telah merinci enam jenis kekerasan di sekolah. Namun, masih banyak warga sekolah, termasuk tim, yang belum dapat menilai, bahkan misalnya menganggap tindak perundungan sebagai bercanda semata.
Enam jenis kekerasan dalam permendikbudristek itu adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, serta kebijakan yang mengandung kekerasan. Semua sudah memiliki indikator yang rinci dan bisa menjadi panduan tim antikekerasan di sekolah untuk bekerja.
Dia mengakui, kerja TPPK dan Satgas PPKSP tidak ringan. Mereka harus mengedukasi warga sekolah, menindaklanjuti kasus, menyediakan pendampingan kasus, menjamin hak anak akan pendidikan tetap terpenuhi walau terlibat kasus, melindungi korban, hingga bersinergi dengan instansi terkait. Pemerintah pusat, daerah, dan satuan pendidikan harus berkolaborasi menciptakan tim yang kuat.
”Kami mohon untuk mengimplementasi hal ini di sekolah masing-masing. Ikuti pelatihan dari kami atau berbagai pihak, kampanyekan antikekerasan di sekolah, serta kuatkan pendidikan karakter,” kata Rusprita.
Untuk TPPK
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru (YCG) Muhammad Mukhlisin menyarankan dana bantuan operasional satuan pendidikan (BOSP) sebaiknya dialokasikan juga untuk pengoperasian kerja TPPK, bukan justru dialokasikan untuk rencana program makan siang gratis.
Sebab, YCG mencatat setidaknya selama 2023 terjadi 139 kasus kekerasan dan 19 korban meninggal. Belakangan juga masih terjadi kasus kekerasan dan perundungan, seperti yang terjadi di Binus School Serpong, Tangerang Selatan, Banten, dan di Pondok Pesantren Tartilul Qur’an (PPTQ) Al Hanifiyyah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
”Pemerintah masih punya pekerjaan utama di dunia pendidikan, yaitu pencegahan dan penanganan kekerasan. Kita tidak bisa membiarkan anak-anak menjadi korban perundungan dan kekerasan dari waktu ke waktu,” kata Mukhlisin.
Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti juga menegaskan, TPPK bisa mengajukan anggaran ke kepala sekolah dengan menggunakan dana BOSP untuk meningkatkan kinerja tim. ”Dana BOS itu sangat fleksibel sesuai kebutuhan satuan pendidikan,” kata Suharti.