Gagal Panen Jagung Menjadi Pukulan Ganda Masyarakat Flores Timur
Produksi jagung di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, diprediksi merosot lebih dari 50 persen karena El Nino.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
FLORES TIMUR, KOMPAS — Produksi jagung di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, diprediksi merosot lebih dari 50 persen karena El Nino yang menyebabkan kurangnya hujan. Padahal, jagung merupakan pangan pokok kedua setelah beras yang harganya saat ini melonjak tinggi.
Kepala Dinas Pertanian Flores Timur Sebas Sina Kleden mengatakan, El Nino telah menyebabkan intensitas hujan di Flores Timur selama musim hujan tahun 2024 sangat kurang. Hal ini menyebabkan banyak tanaman masyarakat, termasuk jagung, mati.
”Biasanya bulan Januari-Februari ini banyak hujan sehingga menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk menanam jagung. Namun, setiap hari masuk laporan dari desa tanaman jagung yang ditanam masyarakat kekeringan dan mati,” kata Sebas, Senin (4/3/2024), di Flores Timur.
Dengan kondisi ini, Sebas memperkirakan bahwa penurunan produksi jagung di Flores Timur pada musim panen Maret-April bakal berkurang lebih dari 50 persen. Menurut dia, ancaman gagal panen jagung juga dilaporkan di kabupaten lain di NTT.
”Tahun ini akan sangat berat sekali bagi masyarakat NTT karena harga beras juga masih sangat tinggi. Harga jagung juga mahal karena pasokannya kurang,” ujarnya.
Memang selama ini masyarakat terlena dengan konsumsi beras dan tanaman komoditas seperti mete dan melupakan pangan lokal.
Saat ini harga beras di Flores Timur mencapai Rp 17.000 per kilogram. Adapun jagung pipil yang biasanya Rp 5.000 per kg mencapai Rp 10.000 per kg dan jagung giling mencapai Rp 15.000 per kg.
Fungsional Analis Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Flores Timur Junus Mukin mengatakan, jagung selama ini merupakan pangan pokok kedua dengan konsumsi berkisar 29 gram hingga 40 gram per kapita per hari. Adapun konsumsi beras berkisar 200-300 gram per kapita per hari.
”Konsumsi jagung di petani perdesaan umumnya lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Biasanya masyarakat desa mencampur jagung hasil tanaman sendiri ini untuk mengurangi konsumsi beras. Namun, dengan kegagalan panen jagung, masyarakat akan lebih bergantung pada beras yang harganya mahal,” tuturnya.
Menurut Junus, selama ini Flores Timur mengalami defisit beras. Kebutuhan beras berkisar 30.000-33.000 ton per tahun, sedangkan kemampuan produksi lokal hanya sekitar 15.000 ton per tahun. Sebagian besar produksi beras di kawasan ini berasal dari padi ladang tadah hujan.
Sebas mengatakan, di tengah kekeringan, sebenarnya tanaman umbi-umbian, seperti singkong, ubi, uwi, dan keladi, masih bisa bertahan. Namun, saat ini umbi-umbian sudah sangat jarang dikonsumsi masyarakat. ”Pangan pokok sudah bergeser ke beras dan jagung sebagai makanan tambahan,” ujarnya.
Petani yang juga Kepala Sekolah Dasar Inpres Lewoneda, Paulus Bala Leton (53), mengatakan, penurunan produksi juga terjadi pada tanaman mete yang selama ini menjadi komoditas utama petani. ”Sejak tahun 1980-an, banyak ladang pertanian warga beralih ke tanaman mete. Namun, belakangan produksi mete juga menurun dan harganya tidak menentu,” ujarnya.
Paulus mengatakan, kenaikan harga beras saat ini dan gagalnya panen jagung seharusnya menyadarkan masyarakat untuk kembali memproduksi dan mengonsumsi beragam pangan lokal, khususnya umbi-umbian yang tahan kering. ”Selain umbi-umbian, juga banyak kacang-kacangan yang tahan kering dan memang cocok dengan lingkungan kita. Tetapi memang selama ini masyarakat terlena dengan konsumsi beras dan tanaman komoditas seperti mete dan melupakan pangan lokal,” tuturnya.
Secara tradisional, masyarakat di Flores Timur dan pulau-pulau di sekitarnya, seperti Adonara dan Solor, memiliki beragam jenis umbi-umbian yang di masa lalu menjadi pangan pokok mereka. Contohnya nasi singkong atau biasa disebut sebagai putu yang dibuat dari singkong yang dijemur dan kemudian ditumbuk halus sebelum dikukus.
Theodora Dora Weking (40), Kepala Dusun 1, Desa Mudakeputu, Kecamatan Ilemandiri, Flores Timur, mengatakan, warga desa saat ini semakin jarang yang menjadikan putu sebagai pangan pokok. ”Biasanya hanya dibuat sebagai makanan sampingan kalau ada pesta-pesta adat. Untuk sehari-hari sudah sangat jarang dikonsumsi. Orang sekarang tanam ubi (singkong) biasanya untuk makan babi,” ujarnya.