Generasi Muda Pun Mulai Galau Menjadi Guru
Dunia mengalami kekurangan guru. Banyak guru yang meninggalkan profesinya dan anak muda mulai tidak tertarik jadi guru.
Guru memainkan peran penting dalam membentuk masa depan serta membuka potensi setiap siswa sebagai generasi penerus bangsa. Namun, secara global, dunia pendidikan kekurangan tenaga pengajar, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia, kekurangan guru sudah lama terjadi karena sempat ada penghentian perekrutan guru pegawai negeri sipil (PNS) oleh pemerintah. Demi memenuhi kebutuhan guru yang tak terelakkan, daerah dan sekolah merekrut guru honorer dengan gaji yang rendah.
Menumpuknya guru honorer, terutama di sekolah milik pemerintah, dijanjikan tuntas lewat program pengangkatan 1 juta guru aparatur sipil negara (ASN) berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) pada 2024.
Fokus pemerintah yang mengutamakan pengangkatan guru-guru honorer yang sudah lama mengabdi di sekolah di satu sisi menggembirakan karena ada kepastian nasib guru honorer meski statusnya PPPK. Namun, di sisi lain, muncul kegalauan di kalangan anak-anak muda yang berkuliah di program studi (prodi) pendidikan karena profesi guru di era digital belum sepenuhnya sejahtera.
Putri (21), sarjana pendidikan, sempat melontarkan keluh kesahnya lewat akun Instagram Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nunuk Suryani. Dia menanyakan, apakah mungkin ada formasi untuk fresh graduate? Sebab, dengan pengangkatan guru PPPK, yang diutamakan adalah guru-guru honorer, sedangkan untuk menjadi guru PNS belum ada kepastian lowongan dan formasinya kadang lebih sedikit.
”Saya tidak mau jadi guru honorer karena gajinya kecil. Jika tidak ada peluang buat fresh graduate jadi guru, saya memilih realistis. Lebih baik cari pekerjaan di ranah lain. Kalau fresh graduate tidak juga punya kesempatan, ya, bisa jadi tidak minat menjadi guru. Mending cari pekerjaan lain,” tuturnya.
Putri menyampaikan, keresahan sebagai fresh graduate lulusan prodi pendidikan juga dialami banyak rekannya. Mereka sebenarnya ingin menjadi guru, tetapi mengeluhkan lowongan yang dibuka tidak berpihak kepada lulusan sarjana pendidikan baru.
Anak muda lainnya, Kharisma, mengatakan, dirinya yang lulusan pendidikan profesi guru (PPG) prajabatan tidak lolos dalam seleksi guru PPPK tahun 2023. Tahun ini, dia mencoba lagi peruntungannya untuk menjadi guru.
”Kalau rezekinya di situ, alhamdullilah. Kalau tidak, cari jalan lain, yang penting tetap semangat,” ucapnya.
Baca juga: Calon Guru Berkualitas Disiapkan lewat Pendidikan Mumpuni
Menurut Kharisma, sebenarnya jika ada kesempatan bagi fresh graduate, dia yakin banyak anak muda yang berminat. Namun, secara umum, mereka mulai enggan melewati proses menjadi guru honorer dulu karena gajinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. ”Enggak sanggup sama biaya hidup kalau jadi guru honorer,” katanya.
Berdasarkan data di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, yang diakses pada Sabtu (2/3/2024) sore, jumlah prodi pendidikan tercatat paling tinggi dibandingkan denga prodi lainnya. Jumlah prodi pendidikan ada 6.127 prodi dengan total mahasiswa mencapai 1.371.105 orang.
Keluhan tentang profesi pendidik, baik sebagai guru maupun dosen, sempat viral dengan hastag #janganjadiguru dan #janganjadidosen. Kedua profesi sebagai guru dan dosen diakui mulia, tetapi kesejahteraan dan peningkatan kariernya semakin tidak menarik bagi anak-anak muda.
Pro dan kontra tentang profesi guru yang dikaitkan dengan kesejahteraan dan karier di masa depan juga mengemuka. Ada yang setuju dengan pemikiran realistis generasi muda masa kini karena profesi guru dari dulu sampai sekarang belum dihargai dengan baik.
Saya tidak mau jadi guru honorer karena gajinya kecil. Jika tidak ada peluang buat fresh graduate jadi guru, saya memilih realistis. Lebih baik cari pekerjaan di ranah lain.
”Saya saja sudah mengajar sembilan tahun, menunggu keberuntungan tahun ini. Capek tes melulu,” ujar seorang guru honorer.
Ajakan berpikir bijak pun mengemuka. Para lulusan fresh graduate prodi pendidikan diminta bersabar menunggu antrean.
Selain itu, muncul juga ajakan untuk menjadi guru dengan panggilan hati, ikhlas, dan rela mendidik anak-anak meski dimulai dari proses menjadi guru honorer yang bergaji kecil.
Baca juga: Jalan Panjang Kesejahteraan Guru
Komitmen pemerintah
Nunuk Suryani menyampaikan, pemerintah berkomitmen menjadikan profesi guru sebagai profesi yang bermartabat, mulia, dan membanggakan. Hal ini diwujudkan melalui pemenuhan guru lewat seleksi ASN PPPK dan perekrutan PPG.
Menurut Nunuk, proses perekrutan guru baru saat ini hanya melalui PPG sehingga semua calon guru baru harus mendaftar melalui jalur PPG prajabatan. ”Setiap tahun, terdapat banyak guru yang pensiun sehingga kebutuhan terhadap guru akan terus bertambah dan formasi guru akan terus tersedia,” ucapnya.
Baca juga: Tahun 2024, Rekrutmen Guru PPPK Tetap Prioritas
Secara terpisah, Luciana, Research Associate dari Tanoto Foundation, mengatakan, generasi muda yang mau menjadi guru dan mendapatkan kesempatan menjalani PPG prajabatan harus dihargai. Mereka juga mesti ada kejelasan nasib bahwa setelah lulus akan mendapat penempatan sekolah di mana, bukan justru mereka yang sibuk berjuang mendapatkan sekolah yang dapat menerima mereka.
Berdasarkan kajian berjudul Global Research on Teacher: What You Need to Know yang merupakan hasil kolaborasi antara UNESCO dan Satuan Tugas Internasional tentang Guru untuk Pendidikan 2030, sebuah permasalahan besar menghadang dunia mendekati tahun 2030. Dunia sedang menghadapi kekurangan guru dalam jumlah besar.
Ada kebutuhan mendesak sebanyak 44 juta guru sekolah dasar dan menengah di seluruh dunia pada 2030. Hal ini mencakup permintaan akan tujuh dari 10 guru di tingkat sekolah menengah dan kebutuhan untuk menggantikan lebih dari separuh guru yang meninggalkan profesinya.
Kekurangan guru merupakan masalah global yang tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, tetapi juga di wilayah berpendapatan tinggi, seperti Eropa dan Amerika Utara. Meskipun sistem pendidikan memiliki sumber daya yang baik, wilayah-wilayah ini kesulitan merekrut dan mempertahankan pendidik yang berkualitas sehingga memunculkan tantangan besar terhadap kualitas dan kesetaraan pendidikan.
Baca juga: Investasi pada Guru untuk Pendidikan Berkualitas
Angka tingkat putus sekolah di kalangan SD meningkat hampir dua kali lipat dari 4,62 persen secara global pada 2015 menjadi 9,06 persen pada 2022. Fenomena ini terjadi salah satunya karena guru sering kali meninggalkan profesinya dalam lima tahun pertama masa jabatan mereka.
Melihat besarnya kekurangan guru dan dampak sosio-ekonominya, sangat penting bagaimana selanjutnya merumuskan solusi yang efektif dan menyeluruh. Mengatasi kekurangan guru memerlukan pendekatan holistik.
Selain perekrutan, faktor-faktor seperti motivasi guru, kesejahteraan, retensi, pelatihan, kondisi kerja, dan status sosial guru juga perlu mendapat perhatian. Selain itu, perlu juga menciptakan jalur karier guru yang menarik dengan akses yang adil terhadap pengembangan profesional, otonomi, dan tujuan guna mempertahankan motivasi guru.
Dampak dari kekurangan guru di seluruh dunia sangat besar karena menyebabkan ukuran kelas menjadi lebih besar, beban guru terlalu besar, kesenjangan pendidikan, dan tekanan keuangan pada sistem pendidikan. Karena itu, penting untuk memahami dampak besar kekurangan ini terhadap kualitas dan akses pendidikan.
Menentukan besaran gaji guru saat ini merupakan keputusan keuangan yang penting dalam sistem pendidikan apa pun. Namun, selain itu, banyak negara juga harus memperhitungkan proyeksi biaya untuk posisi pengajar baru. Menurut proyeksi terbaru, dan untuk memenuhi target SDG 4, pembiayaan tambahan guru yang dibutuhkan akan menelan biaya 12,8 miliar dollar AS untuk pendidikan dasar universal, dan 106,8 miliar dollar AS untuk pendidikan menengah universal. Jika digabungkan, pembiayaan tambahan yang diperlukan untuk menutupi gaji guru baru di SD dan sekolah menengah pada 2030 mencapai 120 miliar dollar AS per tahun.