Kecanduan Aplikasi Kencan
Pemakaian aplikasi kencan bisa memicu gejala mirip kecanduan. Karena itu, gunakan teknologi dengan tujuan dan kendali.
Aplikasi kencan adalah oase di tengah kesulitan sebagian orang mencari pasangan romantis. Memulai hubungan asmara bagi sebagian orang tidaklah mudah, apalagi mencari orang dengan kriteria yang sesuai harapan. Kini, hanya dengan mengusapkan jari di layar telepon seluler, seseorang bisa memilih calon pasangan yang dikehendaki via aplikasi.
Penggunaan aplikasi kencan (dating apps) makin populer. Pencarian pasangan lewat internet itu makin tidak ditabukan, bahkan hal yang baik bagi mereka yang sekadar ingin mencari teman, pasangan kencan, atau jodoh. Meski banyak yang gagal dan trauma dengan aplikasi kencan, keberhasilan sebagian orang membuat aplikasi kencan tetap menarik.
Data Business of Apps, perusahaan berbasis di London Inggris, pada 8 Januari 2024 menyebutkan, ada 337,3 juta pengguna aplikasi kencan di seluruh dunia pada 2022, naik hampir 70 persen dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 198,6 juta orang. Pendapatan perusahaan pengelola aplikasi kencan pada 2022 mencapai 4,94 miliar dollar AS atau sekitar Rp 77,57 triliun.
Aplikasi kencan terpopuler secara global adalah Tinder dan Bumble, sementara aplikasi kencan yang paling banyak diminati di Indonesia pada 2022, sesuai data Statistica, adalah Litmatch dan TanTan. Aplikasi kencan yang populer di setiap negara itu sangat bervariasi.
Meski aplikasi kencan itu umumnya bisa diunduh dan digunakan secara gratis, jika pengguna menginginkan akses atau pengalaman yang lebih baik, pengelola juga menyediakan aplikasi yang berbayar. Sebanyak 20 juta pengguna aplikasi kencan pada 2022 adalah pengguna aplikasi berbayar tersebut.
Namun, tepat saat perayaan Hari Valentine, 14 Februari 2024, yang bertepatan dengan hari pemungutan suara Pemilu 2024 di Indonesia, enam warga AS menggugat perusahaan pengelola aplikasi Match Group ke pengadilan federal AS di San Francisco. Match Group adalah pengelola sejumlah platform kencan daring, seperti Tinder, Hinge, The League, Match, dan Plenty of Fish.
Seperti diberitakan Reuters, gugatan itu diajukan karena aplikasi kencan dituding dirancang untuk membuat penggunanya kecanduan, memanipulasi penggunanya secara psikologis. Fitur-fitur aplikasi dirancang untuk membuat penggunanya seperti sedang bermain video gim. Cukup menggeser tampilan aplikasi ke kanan dan kiri, pengguna bisa menemukan orang yang dianggap cocok untuk menjalin hubungan.
Algoritma aplikasi ini mendorong munculnya penghargaan atau imbalan psikologis semu bagi penggunanya. Mereka yang memakai aplikasi, tanpa disadari, didorong untuk terus menggunakan aplikasi secara kompulsif, keterpaksaan yang tanpa disadari, meski mereka harus membayar.
Proses yang berlangsung dalam aplikasi kencan itu dianggap tidak konsisten dengan slogan iklan Match bahwa aplikasinya ”designed to be deleted” atau dirancang untuk dihapus. Pengelola berjanji untuk segera mengeluarkan pengguna dari aplikasi setelah memasangkan mereka dengan orang yang sesuai secara efisien.
Karena itu, alih-alih membantu penggunanya memiliki hubungan romantis yang bermakna, model bisnis aplikasi kencan yang mendorong penggunanya memakai aplikasi secara terus-menerus itu dinilai hanya untuk menguntungkan perusahaan pengelola aplikasi saja.
Match menilai gugatan kepada mereka itu sebagai hal yang konyol dan tidak berguna. ”Model bisnis kami tidak didasarkan pada iklan atau metrik keterikatan. Kami secara aktif berusaha membuat orang-orang berkencan setiap hari dan mematikan aplikasi kami. Mereka yang menyatakan hal selain itu tidak memahami tujuan dan misi industri kami,” kata Direktur Eksekutif Match Bernard Kim.
Baca juga: Dari Kencan Aplikasi, Turun ke Hati
Kontroversi
Istilah kecanduan yang digunakan penggugat itu menimbulkan kontroversi di kalangan akademik, apakah kecanduan aplikasi kencan itu memang ada?
Dalam ranah psikologi, istilah kecanduan bisa menjadi kontroversial jika diterapkan pada hal-hal yang bersifat nonzat, seperti video gim atau media sosial. Orang akan lebih mudah menerima penggunaan kata kecanduan itu jika diakibatkan oleh penggunaan zat tertentu, seperti kecanduan rokok, alkohol, atau narkotika.
Dikutip dari Livescience, 29 Februari 2024, satu-satunya kecanduan nonzat yang saat ini sudah masuk dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental 5 (DSM-5), referensi standar diagnosis psikologis dan psikiatrik di AS dan banyak diacu di negara-negara lain, hanyalah gangguan judi (gambling disorder).
Adapun di Klasifikasi Penyakit Internasional edisi ke-11 (ICD-11), yang merupakan panduan diagnosis kesehatan mental dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga telah dimasukkan gangguan gim (gaming disorder) untuk menunjukkan orang yang tidak dapat berhenti bermain video gim, terlepas seberapa besar video gim itu telah mengganggu kegiatan mereka sehari-hari.
Gangguan aplikasi kencan atau kecanduan aplikasi kencan belum ada, baik dalam DSM-5 maupun ICD-11.
Namun, ”Pada ujungnya, apa yang terjadi di otak ketika seseorang terdorong terus-menerus untuk membuka Tinder atau menjelajahi Tiktok mirip dengan apa yang terjadi pada otak orang yang mengalami kecanduan terhadap zat tertentu,” kata profesor emeritus psikologi Universitas Negeri California di Dominguez Hills, AS, Larry Rosen.
Mereka yang kesulitan mengendalikan pemakaian aplikasi itu bisa mencoba mengatasinya dengan menerapkan pembatasan waktu, yaitu mengaksesnya pada jam-jam tertentu dan selama waktu tertentu pula.
Saat pengguna aplikasi kencan dinilai cocok oleh sistem dengan pengguna lain atau mendapatkan notifikasi baru di aplikasi, otak mereka akan mengalami ledakan dopamin, yaitu hormon yang membuat seseorang merasa senang atau bahagia.
Masalahnya, kepuasan akibat dopamin itu bersifat sementara hingga seseorang merasa nyaman. Artinya, jika saat ini seseorang bisa puas dengan sedikit dopamin, untuk mendapat kepuasan yang sama di masa depan, orang itu perlu dopamin lebih banyak. Akibatnya, orang akan terus-menerus melakukan hal yang sama demi mengejar kepuasan tersebut hingga bisa memunculkan kecanduan.
Namun, dorongan untuk mencapai dopamin yang terus meningkat saat memakai aplikasi kencan tidak dapat disamakan dengan ketergantungan fisik akibat konsumsi obat-obatan atau narkotika. Berhenti menggunakan aplikasi kencan secara tiba-tiba tidak akan menimbulkan efek buruk pada badan seperti pengguna obat-obatan terlarang yang sakau.
Meski berbeda dalam prosesnya, proses biokimia yang mendasari antara kecanduan aplikasi kencan dan kecanduan obat-obatan terlarang adalah sama. ”Kecanduan itu nyata dan bersifat biologi. Kecanduan adalah kebutuhan manusia untuk merasa nyaman,” ujarnya.
Karena itu, Rosen menilai dorongan untuk terus-menerus menggunakan aplikasi kencan adalah salah satu bentuk kecanduan. Walau demikian, tidak semua orang setuju dengan pandangan ini.
Profesor Ilmu Media di Universitas Boston AS Kathryn Coduto menilai, penggunaan istilah kecanduan dalam penggunaan aplikasi kencan sebagai istilah yang ”sangat kuat” alias berlebihan. ”Seolah-olah pengguna tidak memiliki kendali saat menggunakan teknologi. Namun, itu juga bukan berarti mereka memiliki kendali penuh atas teknologi yang digunakan,” katanya.
Walau enggan menyebut dorongan pemakaian aplikasi kencan secara terus-menerus sebagai kecanduan, bukan berarti tidak ada cara untuk meminta pertanggungjawaban kepada perusahaan teknologi.
Kompulsif
Dorongan untuk menggunakan aplikasi kencan terus-menerus itu dinilai Rosen memang sengaja dirancang. Perusahaan aplikasi kencan umumnya mempekerjakan doktor bidang psikologi atau ilmu sosial yang bertugas menarik perhatian dan menjaga pelanggan aplikasi kencan agar tetap memakai aplikasi tersebut.
Untuk itu, perusahaan menggunakan strategi penguatan positif yang memberikan imbalan atas setiap perilaku pengguna yang diinginkan, yaitu memakai aplikasi kencan terus-terusan.
Penguatan positif itu antara lain dilakukan dengan pemberian ucapan selamat atau memasukkan nama-nama pengguna dalam peringkat tertentu. Cara-cara ini akan membuat pengguna aplikasi semakin positif atau baik emosinya sehingga meningkatkan peluang untuk terus menggunakan aplikasi.
Tak hanya memunculkan rasa senang dan ingin tahu, pengelola juga bisa memunculkan rasa stres pada pengguna aplikasi yang ditandai dengan meningkatnya hormon kortisol. Saat ada notifikasi baru muncul, tetapi tidak bisa segera membuka atau membacanya karena sedang sibuk atau berada dalam situasi yang tidak memungkinkan, itu akan memicu stres.
Karena itu, pesan tersembunyi aplikasi yang sering tidak disadari penggunanya adalah segera buka pesan itu dan puaskan rasa ingin tahumu. Dengan demikian, kadar kortisol akan turun dan Anda bisa lebih bahagia. Kondisi ini mendorong pengguna aplikasi kencan untuk terus-menerus menggunakan aplikasi demi mengurangi rasa cemas dan stres.
Psikolog dan salah satu direktur Pusat Perawatan dan Pendidikan Media Digital di Boulder, Colorado, AS, Brett Kennedy mengatakan, banyak orang berjuang mengatasi penggunaan semua jenis aplikasi digital secara kompulsif.
”Aksesibilitas teknologi yang terus-menerus membuat penggunanya kehilangan perspektif tentang keseimbangan. Mereka benar-benar memiliki kecemasan karena takut ketinggalan atau FOMO (fear of missing out),” katanya.
Studi Coduto dan rekan dalam Journal of Social and Personal Relationship, Januari 2020, menemukan bahwa orang dengan kecemasan sosial lebih tinggi cenderung melaporkan tidak dapat mengontrol penggunaan aplikasi kencan miliknya. Umumnya, aplikasi ini digunakan saat mereka merasa kesepian.
Menurut Kennedy, mereka yang kesulitan mengendalikan pemakaian aplikasi itu bisa mencoba mengatasinya dengan menerapkan pembatasan waktu, yaitu mengaksesnya pada jam-jam tertentu dan selama waktu tertentu pula. Dengan demikian, penggunaan aplikasi menjadi memiliki tujuan, bukan sekadar melepas rasa cemas atau stres.
”Para pengguna perlu ingat bahwa aplikasi kencan tidak dirancang agar penggunanya memiliki tujuan dan kewaspadaan,” ucapnya.
Baca juga: Tren Cari Teman Lewat Aplikasi Kencan
Meski secara psikologis penggunaan aplikasi kencan bisa menimbulkan ketagihan dan perilaku kompulsif, tidak ada jaminan gugatan ini akan berhasil. Namun, apa pun proses yang berlangsung, kendali pengguna aplikasi apa pun dituntut selalu ada saat menggunakan aplikasi digital.
Karena itu, jadilah orang yang bisa mengendalikan teknologi, bukan orang yang justru dikendalikan oleh teknologi.