Pengajuan Guru PPPK Tahun 2024 dari Daerah Belum Penuhi Kebutuhan
Penuntasan 1 juta guru PPPK tahun 2024 masih terkendala pengajuan formasi daerah yang banyak di bawah kebutuhan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penuntasan pengangkatan guru honorer di sekolah negeri menjadi guru aparatur sipil negara berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau ASN PPPK ditargetkan pada 2024 ini. Namun, hingga batas waktu yang ditetapkan pemerintah pusat, pengajuan formasi guru PPPK dari pemerintah daerah tidak juga kunjung sesuai kebutuhan yang ditetapkan pemerintah pusat sebanyak 419.146 guru.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nunuk Suryani, pekan lalu, menyampaikan, sampai batas waktu pengusulan formasi guru ASN PPPK hingga 31 Januari 2024, hasilnya belum maksimal. Dengan kata lain, belum seluruh formasi guru PPPK tahun 2024 terpenuhi.
Karena pemerintah pusat memprioritaskan pemenuhan kebutuhan guru, instansi daerah kembali diberikan waktu untuk mengusulkan formasi guru ASN sesuai dengan formasi kebutuhan masing-masing. Hal ini agar formasi guru bisa terpenuhi secara optimal mengingat pemenuhan kebutuhan guru tahun 2024 sebagai bagian dari penuntasan pengangkatan 1 juta guru PPPK.
Terkait kondisi ini, Ketua Departemen Komunikasi dan Informasi Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Wijaya yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (25/2/2024), mengatakan, penuntasan guru honorer menjelang tenggat Desember 2024 masih menyisakan keraguan. ”Kembali terjadi usulan formasi dari daerah belum sesuai dengan keberadaan guru honorer yang ada. Antara pemerintah pusat dan daerah belum mencapai titik temu terkait ini,” kata Wijaya.
Wijaya mengatakan, PGRI mendorong pemerintah daerah (pemda) untuk mengajukan usulan formasi sesuai dengan jumlah guru honorer yang masih tersisa dan harus dituntaskan sampai akhir tahun. Jika masih terjadi kekurangan, pemerintah pusat bisa mengambil kebijakan penyediaan formasi bagi guru yang belum terakomodasi dengan usulan formasi dari pemda.
”Agar tidak ada lagi saling lempar persoalan atau pingpong ketika guru honorer meminta kepastian baik kepada pemerintah pusat dan atau pemda,” kata Wijaya.
Hal senada disampaikan Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim. ”Selalu terjadi, tiap sesi rekutmen guru PPPK, jumlah formasi yang dibuka pemda tidak selalu sesuai kebutuhan riil dan tidak sesuai formasi yang dibuka pemerintah pusat. Ini mengindikasikan secara kuat bahwa rekrutmen pemda dan pusat tidak terjadi koordinasi dan komunikasi yang baik, serta belum ada harmonisasi,” katanya.
Satriwan mempertanyakan solusi earmarking yang dilakukan pemerintah pusat terkait dana alokasi umum (DAU) untuk gaji guru PPPK di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang ternyata tidak berjalan baik. Nyatanya, pemda tidak juga memenuhi harapan pemerintah untuk mengajukan formasi kebutuhan guru secara riil sesuai data pemerintah pusat.
Kami mendesak segera diterbitkan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen PPPK.
”Kenapa itu tetap terjadi? Sebab, skema DAU dengan earmarking, di mana DAU tidak boleh dipakai untuk kebutuhan lain. Dugaan kami, anggarannya tidak bertambah. Pemda pun tidak berani karena alokasi dana tidak sesuai dengan jumlah PPPK yang bertambah. Karena itu, harus ada anggaran yang berpihak dan penambahan anggaran DAU terkait PPPK ke daerah,” tutur Satriwan.
Tuntaskan P1
Menurut Satriwan, sebelum panitia seleksi nasional (panselnas) membicarakan rekrutmen guru PPPK tahun 2024, harus ada komitmen yang jelas untuk menuntaskan banyak guru lulus passing grade (P1) yang sudah lama terkatung-katung. Ia menandaskan, penuntasan guru P1 tidak bisa ditawar-tawar lagi.
”Mereka sudah terkatung-katung dan terlunta selama tiga tahun. Nanti, jika tidak dituntaskan, akan tetap menjadi pekerjaan rumah yang tidak selesai dan menumpuk akibat rekrutmen terus dilakukan, tetapi P1 tidak juga mendapat formasi penempatan. Itu isu utama, baik oleh pemda maupun Kemendikbudristek dalam menuntaskan satu juta guru PPPK,” tutur Satriwan.
Seorang guru P1 di Banten mengaku lelah karena tak kunjung mendapat penempatan. ”Tahun 2021 lulus tes ambang batas (passing grade) dan masuk P1, tapi sampai rekrutmen tahun 2023 tidak juga mendapat penempatan,” katanya. Hal senada diungkapkan banyak guru P1 lainnya di sejumlah tempat yang masih berharap ada kepastian penempatan di tahun 2024 ini.
Satriwan menuntut ketegasan pemerintah pusat, misal dari presiden, Menteri Keuangan, atau Menteri Dalam Negeri yang memberikan sanksi tegas pada pemda yang tidak berpihak pada tata kelola guru PPPK.
Sebab, selain soal rekrutmen yang masih karut-marut, keberlanjutan guru PPPK di daerah juga nasibnya beragam. Di Aceh, misalnya, dilaporkan ribuan guru PPPK sudah habis kontrak pada 31 Januari 2024, tetapi hingga Februari belum ada perpanjangan. Mereka tetap harus mengajar meski perjalanan menuju ke sekolah membutuhkan biaya transportasi dan juga biaya hidup.
Tidak ada keseragaman soal panjang kontrak guru PPPK. Rentangnya bervariasi, dari satu hingga lima tahun sesuai keputusan pemda. Hal ini memberikan ketidakpastian nasib dan hukum bagi kerja guru PPPK.
”Kami mendesak segera diterbitkan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen PPPK dan harus jelas di dalam suatu pasal, bahwa kontrak guru sampai usia pensiun. Dengan demikian, tidak ada lagi kendala menunggu perpanjangan kontrak dan memberikan kepastian hukum dalam menyediakan anggaran daerah untuk guru PPPK,” kata Satriwan.