Patah Hati Merusak Jiwa dan Raga
Putus cinta memicu emosi negatif dan penyakit. Kemampuan pulih dari patah hati jadi cara berevolusi agar bertahan hidup.
Daripada sakit hati
Lebih baik sakit gigi ini
Biar tak mengapa... (Ciptaan Obbie Mesakh, 1987)
Lagu dangdut lawas yang dipopulerkan pertama kali oleh Meggy Z pada akhir 1980-an itu mungkin bisa menggambarkan betapa sakitnya patah hati. Luapan emosi negatif yang muncul akibat ditinggal kekasih atau orang-orang yang dicintai bisa memengaruhi kesehatan mental dan fisik manusia. Nyatanya, patah hati merupakan bagian dari evolusi manusia untuk terus bertahan hidup.
Saat jatuh cinta, seseorang akan mengalami euforia dan lonjakan semangat yang luar biasa. Jatuh cinta membuat dua insan yang dilanda kasmaran terhubung jiwa dan raga. Namun, saat salah seorang dalam hubungan itu pergi, otak akan beradaptasi dan memunculkan rasa ”sakit” yang mendalam. Walau tak ada tubuh yang terluka, perihnya patah hati mampu mengalahkan luka yang tersiram air garam.
Bagi yang mengalaminya, patah hati merupakan siksaan panjang nan kejam. Proses ini bisa berlangsung beberapa hari, beberapa minggu, hingga bertahun-tahun dalam kasus tertentu. Rasa sedih, kecewa, malu, dikhianati, hingga frustrasi berpadu dengan indahnya kenangan masa lalu dan gelapnya masa depan. Semua kepahitan itu mengganggu aktivitas harian, mulai dari hilang nafsu makan, enggan mandi, sulit tidur, tidak produktif belajar atau bekerja, hingga mengganggu interaksi sosial dengan orang lain.
”Patah hati adalah salah satu pengalaman hidup paling menyakitkan yang dialami manusia. Patah hati perlu ditanggapi secara serius karena memiliki konsekuensi pada kesehatan mental dan kesehatan fisik kita,” tulis Florence Williams, penulis buku Heartbreak: A Personal and Scientific Journey (2022, seperti dikutip The Guardian, 28 Agustus 2022.
Antropolog biologi dari Institut Kinsey di Universitas Indiana, Amerika Serikat, yang banyak meneliti soal evolusi romansa manusia menyebut orang yang dicampakkan akan mengaktifkan bagian otak yang berhubungan dengan kecanduan, yaitu nukleus akumbens. Seseorang yang tertolak akan merasakan sakit dan keinginan seperti yang dirasakan orang dengan kecanduan alkohol dan narkoba.
Ketika cinta datang, otak manusia akan dibanjiri oleh hormon dopamin yang membuat nyaman, rileks, dan bersemangat. Ada juga oksitosin yang juga sering disebut sebagai ”hormon cinta” karena memunculkan rasa sayang mendalam dan membuat dua manusia yang jatuh cinta saling terikat. Perubahan kedua hormon itu di otak akan direspons oleh nukleus akumbens yang bersifat seperti spons.
Namun, saat putus cinta, kadar hormon dopamin dan oksitosin pun ikut turun. Pada saat bersamaan, kadar hormon kortisol yang memicu stres justru meningkat drastis. Lonjakan hormon kortisol inilah yang berperan dalam peningkatan tekanan darah, bertambahnya kecemasan, munculnya jerawat, hingga penambahan berat badan.
Kondisi fisiologis, menurut Deborah Lee, penulis medis untuk Dr Fox Online Pharmacy di Inggris, seperti dikutip Livescience, 3 Februari 2023, membuat rasa ”sakit” hati yang sejatinya terkait dengan pikiran dan perasaan benar-benar bisa menimbulkan penyakit fisik pada manusia.
Baca juga: Mengapa Patah Hati Terasa Sangat Menyakitkan?
Menjalar
Masalahnya, penelitian tentang patah hati jauh lebih terbatas dibanding studi tentang jatuh cinta. Patah hati masih dianggap sebagai melodrama yang tertuang dalam puisi, lagu, hingga konten ”menggalau” di media sosial. Patah hati belum dipandang secara proporsional seperti penyakit fisik lainnya.
Peneliti genomik dari Institut Neurosains dan Perilaku Manusia Semel di Universitas California Los Angeles, AS, menyebut patah hati sebagai ranjau tersembunyi dalam eksistensi manusia. Dalam setiap hubungan yang dibangun manusia selalu ada potensi patah hati. Namun, kapan terjadinya patah hati tidak bisa ditebak, bisa saat makan malam, di pesta, dalam keramaian, bahkan di ranjang.
Patah hati juga mengaktifkan bagian otak yang mengatur rasa sakit secara fisik pada tubuh, seperti korteks somatosensori sekunder dan insula posterior dorsal. Bagian otak ini akan aktif saat seseorang melihat foto sang mantan yang pernah mencampakkan cintanya, juga seseorang tersandung batu atau tersambar api.
”Efek neurobiologis patah hati bisa mencapai derajat tertentu sehingga bisa disetarakan dengan rasa sakit fisik. Patah hati tampaknya melibatkan beberapa mekanisme saraf yang sama dengan rasa sakit fisik,” kata psikolog klinis dan terapis di klinik Couples Therapy, Inggris, Eric Ryden. Kondisi ini membuat orang yang patah hati bisa mengalami nyeri dada dan serangan panik.
Florence Williams, penulis buku Heartbreak: A Personal and Scientific Journey (2022) menyampaikan, sejumlah efek patah hati yang terdokumentasi, antara lain, gangguan tidur, peningkatan kecemasan, kontrol impuls yang buruk, depresi, penurunan kognitif, perubahan ekspresi gen, hingga kematian dini.
Uniknya, patah hati itu menjalar dramatis ke seluruh tubuh. Perasaan sedih, kesepian, kecemasan yang muncul saat patah hati dipantau ketat oleh sistem saraf dan sel kekebalan tubuh yang siap menyesuaikan diri dengan emosi yang muncul dan berkonfrontasi dengannya.
”Sel tubuh manusia mendengarkan kesepian. Ini menjelaskan mengapa orang yang mengalami perpisahan besar menghadapi risiko kematian dini dan sejumlah penyakit lebih besar, terutama jika mereka tidak berusaha mengatasi rasa sakit akibat patah hati itu,” ucapnya.
Jatuh cinta membuat manusia lebih sensitif hingga memunculkan kegembiraan sekaligus kesengsaraan. Hanya mereka yang mampu memasuki lorong kesengsaraan akibat patah hati dan bisa mencari jalan keluarnya dengan cara apa pun akan menemukan dirinya yang baru dan yang lebih baik.
Tak hanya itu, lanjut Lee, hormon-hormon yang dilepaskan otak saat patah hati juga akan mengaktifkan sistem saraf simpatik dan parasimpatik yang bekerja saling mengimbangi satu sama lain. Sistem saraf simpatik bertanggung jawab atas respon fight or flight alias melawan atau lari saat menghadapi ancaman serta mempercepat detak jantung dan napas. Sementara itu, sistem saraf parasimpatik bertanggung jawab atas tubuh saat istirahat dengan menurunkan detak jantung dan melemaskan otot-otot tubuh.
”Otak dan jantung yang merespons kedua sistem saraf tersebut bingung karena menerima pesan yang campur aduk,” katanya. Kondisi ini bisa mengakibatkan gangguan kelistrikan di jantung yang bisa memicu variabilitas denyut jantung (HRV) yang lebih rendah.
Studi Christopher P Fagundes dan rekan di Psychoneuroendocrinology pada Juli 2018 menunjukkan, orang-orang yang kehilangan pasangannya memiliki HRV yang lebih rendah dibandingkan yang tidak kehilangan pasangan. Janda dan duda memiliki risiko kematian 41 persen lebih tinggi pada enam bulan pertama setelah ditinggal pasangannya. Risiko kematian ini akan menurun seiring bertambahnya waktu.
Sering kali orang dengan variabilitas denyut jantung rendah juga menunjukkan gejala seperti kelelahan, kecemasan, kurang tidur, hingga depresi. Karena itu, variabilitas denyut jantung juga sering digunakan untuk menilai keadaan klinis penderita depresi.
Dalam kasus yang jarang terjadi, patah hati juga bisa memicu kondisi yang disebut kardiomiopati takotsubo alias sindroma patah hati. Menurut Mayo Clinic, lembaga layanan kesehatan terkemuka di Amerika Serikat, gangguan jantung ini dipicu oleh stres dan emosi yang ekstrem. Namun, sindroma ini juga bisa diakibatkan oleh pembedahan atau penyakit fisik tertentu.
Sekitar 7 persen pasien yang dirawat di rumah sakit secara mendadak di Jepang pada 2004 adalah penderita kardiomiopati takotsubo. Lonjakan hormon stres akibat peristiwa traumatis telah melemahkan ventrikel kiri jantung mereka hingga tidak dapat memompa darah untuk sementara waktu. Walau gejalanya mirip serangan jantung, arteri koroner mereka tidak tersumbat seperti yang umum terjadi pada penderita serangan jantung.
Sindroma patah hati itu memang hanya memengaruhi sebagian jantung, tetapi cukup untuk memicu perubahan denyut jantung saat memompa darah untuk sementara waktu. Kadangkala, jantung berdenyut lebih kencang secara tiba-tiba dan menimbulkan rasa nyeri di dada sehingga sering dinilai serangan jantung.
Kemunculan sindroma ini biasanya sementara, tetapi sebagian orang masih terus merasa tidak nyaman meski gangguan jantungnya sudah sembuh. Peristiwa traumatis pemicunya pun tidak melulu ditinggal kekasih, bisa juga ditinggal anggota keluarga atau orang yang dicintai lain.
Bertahan hidup
Meski patah hati itu bisa menghancurkan seseorang, ikatan romantis yang dibangun saat jatuh cinta serta rasa sakit dan munculnya sejumlah penyakit akibat putusnya ikatan romantis itu justru dikembangkan manusia untuk bertahan hidup. Penderitaan yang dialami manusia gara-gara putus cinta justru membantu manusia memahami kondisi yang tak mengenakkan itu agar mampu pulih.
”Risiko dan efek patah hati dapat dianggap sebagai bagian dari dorongan motivasi untuk menemukan keterikatan yang aman dengan pasangan romantisnya,” tambah Ryden.
Untuk mengatasi patah hati, Williams menyembuhkannya dengan tiga cara, yaitu menenangkan diri, menghubungkan kembali dengan orang-orang tercinta lainnya, dan menemukan kembali tujuan hidup. Upaya menenangkan itu bisa dilakukan dengan beraktivitas di alam, mengikuti berbagai terapi, atau bertemu orang baru.
Cara-cara itu membuatnya mampu mengenali emosinya lebih dalam sehingga membuat hidupnya lebih terasa hidup. Upaya itu juga membuatnya mampu membangun kembali kegembiraan, keindahan, dan kekaguman dalam hidup. Berbagai hal yang dilakukannya itu juga membuatnya bisa lebih berempati dan membangun hubungan lebih mendalam dengan orang-orang yang disayangi.
Baca juga: Sakitnya Patah Hati
Bagaimanapun, jatuh cinta membuat manusia menjadi terbuka dan mengubah otak secara permanen. Jatuh cinta membuat manusia lebih sensitif hingga memunculkan kegembiraan sekaligus kesengsaraan. Hanya mereka yang mampu memasuki lorong kesengsaraan akibat patah hati dan bisa mencari jalan keluarnya dengan cara apa pun akan menemukan dirinya yang baru dan yang lebih baik.
”Hati saya terluka, tetapi hati saya terbuka,” tulis Williams.