Olahraga Tak Dapat Melawan Risiko Kardiovaskular yang Dipicu Minuman Manis
Manfaat olahraga tidak bisa melebihi risiko penyakit kardiovaskular yang ditimbulkan oleh konsumsi minuman manis.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berolahraga atau memiliki aktivitas fisik sangat penting untuk kesehatan tubuh. Namun, manfaat olahraga tidak bisa melebihi risiko penyakit kardiovaskular yang ditimbulkan oleh konsumsi minuman manis.
Sebuah studi baru yang dipimpin oleh Lorena S Pacheco, ahli nutrisi dari Harvard TH Chan School of Public Health ini diterbitkan di The American Journal of Clinical Nutrition dan bisa diakses secara daring pada Jumat (9/2/2024).
Minuman berpemanis merupakan sumber gula tambahan terbesar dalam makanan masyarakat modern saat ini. Perilaku konsumsi ini dikaitkan dengan risiko penyakit kardiovaskular yang lebih tinggi, penyebab kematian utama di dunia.
Strategi pemasaran minuman ini sering kali menyebutkan, orang-orang yang aktif berolahraga juga meminum minuman tersebut. Hal ini seolah menunjukkan bahwa konsumsi minuman manis tidak berdampak negatif pada kesehatan jika Anda aktif secara fisik. ”Penelitian kami bertujuan untuk menilai hipotesis ini,” kata Lorena Pacheco.
Dalam penelitian ini, para ilmuwan menggunakan dua kelompok yang berjumlah sekitar 100.000 orang dewasa, yang diikuti selama sekitar 30 tahun. Data menunjukkan, mereka yang mengonsumsi minuman manis lebih dari dua kali seminggu memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit kardiovaskular, terlepas dari tingkat aktivitas fisiknya.
Studi tersebut menemukan, meskipun aktivitas fisik mingguan selama 150 menit yang direkomendasikan melindungi dari penyakit kardiovaskular, hal itu tidak cukup untuk melawan efek buruk minuman manis. ”Aktivitas fisik mengurangi risiko penyakit kardiovaskular yang terkait dengan minuman manis hingga setengahnya, tetapi tidak sepenuhnya menghilangkannya,” kata Jean-Philippe Drouin-Chartier, profesor farmasi dari Université Laval, salah satu penulis laporan.
Frekuensi konsumsi yang dipertimbangkan dalam penelitian ini sebanyak dua kali seminggu, relatif rendah tetapi masih berhubungan signifikan dengan risiko penyakit kardiovaskular. Jika minuman berpemanis dikonsumsi setiap hari, risiko penyakit kardiovaskular pun semakin tinggi.
Karena alasan ini, Pacheco dan tim menggarisbawahi pentingnya menargetkan keberadaan minuman manis yang ada di mana-mana dalam lingkungan makanan. Kategori ini mencakup minuman ringan dan berkarbonasi (dengan atau tanpa kafein), limun, dan koktail buah. Penelitian ini tidak secara khusus mempertimbangkan minuman energi, tetapi minuman tersebut juga cenderung dimaniskan dengan gula.
Konsumsi minuman berpemanis secara global dan di Indonesia cenderung meningkat.
Untuk minuman dengan pemanis buatan, yang sering kali disajikan sebagai solusi alternatif pengganti minuman dengan pemanis gula, konsumsinya tidak dikaitkan dengan risiko penyakit kardiovaskular yang lebih tinggi. ”Mengganti minuman manis dengan minuman diet itu baik karena mengurangi jumlah gula. Namun, pilihan minuman terbaik tetaplah air putih,” ujar Drouin-Chartier.
”Temuan kami memberikan dukungan lebih lanjut terhadap rekomendasi dan kebijakan kesehatan masyarakat untuk membatasi asupan minuman manis serta mendorong masyarakat untuk memenuhi dan mempertahankan tingkat aktivitas fisik yang memadai,” papar Pacheco.
Cukai minuman kesehatan
Selain penyakit kardiovaskular, konsumsi minuman berpemanis telah banyak dikaitkan dengan meningkatnya risiko obesitas, diabetes, kanker, serta kematian dini. Namun, konsumsi minuman berpemanis secara global dan di Indonesia cenderung meningkat.
Laporan Benny Gunawan Ardiansyah dari Politeknik Keuangan Negara STAN dalam Kajian Ekonomi dan Keuangan (2017), konsumsi minuman berpemanis di Indonesia meningkat 15 kali lipat dalam dua dekade terakhir. Sementara PW Laksmi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia melaporkan di European Journal of Nutrition bahwa 62 persen anak-anak, 72 persen remaja, dan 61 persen orang dewasa di Indonesia mengonsumsi minuman berpemanis setidaknya sekali dalam seminggu.
Untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis di tingkat populasi, penerapan cukai telah menjadi solusi kebijakan yang populer di banyak negara. Tinjauan sistematis yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2015 menunjukkan, pengenaan pajak pada minuman berpemanis efektif dalam mengurangi konsumsi minuman tersebut.
Manfaat dari penerapan cukai minuman berpemanis ini dilaporkan para peneliti Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) di jurnal ilmiah PLOS One pada 29 Desember 2023. Agus Widarjono menjadi penulis pertama laporan yang ditulis bersama Rifai Afin, Gita Kusnadi, Muhammad Zulfikar Firdaus, dan Olivia Herlinda itu.
Menurut Agus dan tim, hingga saat ini, lebih dari 50 negara secara global, termasuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, telah menerapkan kebijakan ini. Di Indonesia, pembahasan pajak minuman berpemanis telah dimulai sejak 2016 oleh Kementerian Keuangan. Namun, hingga saat ini, kebijakan tersebut masih belum diterapkan.
”Di Indonesia, meskipun prevalensi obesitas meningkat dua kali lipat dalam satu dekade terakhir, yaitu 11,7 persen pada tahun 2010 menjadi 21,8 persen pada tahun 2018, pajak untuk minuman berpemanis gula belum diterapkan,” tulis Agus.
Perhitungan CISDI, penerapan cukai minuman berpemanis di Indonesia bisa memberikan manfaat kesehatan dan ekonomi. Pemberlakuan cukai sehingga menaikkan harga minuman berpemanis menjadi 20 persen lebih mahal akan menurunkan konsumsi sampai 17,5 persen dan menghasilkan tambahan pendapatan negara Rp 3.628,3 miliar per tahun.