Miskonsepsi Penanganan ”Stunting” dalam Debat Capres
Isu tengkes dalam debat capres belum dipahami dengan baik. Persoalan tengkes meliputi berbagai faktor yang kompleks.
JAKARTA, KOMPAS —Isu tengkes atau stunting mengemuka dalam debat terakhir calon presiden 2024. Akan tetapi, pembahasan mengenai persoalan kesehatan tersebut belum disampaikan secara tuntas, bahkan terjadi miskonsepsi terkait penanganan tengkes.
Isu terkait tengkes mulai mencuat ketika calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, menyampaikan visi-misinya. Tengkes atau stunting merupakan gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis.
Prabowo mengatakan, pemberian makanan bergizi bagi seluruh anak Indonesia, termasuk kepada bayi di dalam kandungan sampai anak usia sekolah dapat mengatasi angka kematian ibu serta mengatasi kondisi kekurangan gizi dan tengkes di Indonesia.
Isu tengkes juga kembali dibahas dalam sesi tanya jawab antara Prabowo Subianto dan calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo.
Dalam sesi tersebut, Prabowo menanyakan apakah calon presiden nomor urut 3 setuju dengan program pemberian makanan bergizi untuk mengatasi tengkes, mengurangi angka kematian ibu, dan menghilangkan kemiskinan ekstrem.
Ketika menanggapi pertanyaan itu, Ganjar memberikan pandangan yang berbeda. Menurut dia, pemberian makanan bergizi kepada anak tidak dapat mencegah tengkes. Pemberian asupan bergizi lebih baik diberikan pada ibu hamil disertai dengan pemeriksaan rutin.
Baca juga: Menguji Komitmen Capres-Cawapres Atasi ”Stunting”
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso ditemui di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Cipto Mangunkusumo Jakarta, Senin (5/2/2024) menuturkan, penanganan tengkes perlu dipahami dengan baik.
Batasan usia anak yang mengalami tengkes hanya sampai usia lima tahun. Selain itu, ketika sudah mengalami tengkes, anak harus ditangani di rumah sakit.
”Jadi, kalau sudah usia delapan tahun lalu diberikan makanan gratis, itu yang mau dicegah stunting-nya apa? Kalau sudah stunting, mesti dibawa ke rumah sakit dan diatasi oleh dokter. Jadi, yang lebih penting mencegah stunting yang dimulai sejak 1.000 hari pertama kehidupan,” tuturnya.
Penanganan tengkes perlu dipahami dengan baik. Batasan usia anak dengan tengkes hanya sampai usia lima tahun. Ketika sudah mengalami tengkes, anak harus ditangani di rumah sakit.
Selain itu, pemberian makanan harus diutamakan yang mengandung protein hewani. Hal ini pula yang kerap keliru di masyarakat.
Pemberian makanan untuk pencegahan tengkes perlu diutamakan pangan protein hewani lokal, bukan makanan tambahan lokal yang sering berupa bubur kacang hijau. Pemberian protein pun tidak hanya susu. Protein hewani bisa diperoleh dari ikan, telur, dan unggas.
”Saya kira yang harus disosialisasikan itu kalau bicara stunting bukan pada anak sekolah. Pemberian makan pada anak sekolah tidak terkait stunting, tetapi lebih penting untuk yang seribu hari pertama kehidupan (pada masa kehamilan hingga anak usia dua tahun),” tutur Piprim.
Baca juga: Isu Kesehatan Belum Dibahas secara Komprehensif
Secara terpisah, pendiri sekaligus Chief Executive Officer Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih menuturkan, persoalan tengkes tidak dapat diatasi hanya melalui pemberian makanan ataupun minuman gratis.
Akar masalah tengkes kompleks, terkait faktor sosial-struktural, termasuk kesejahteraan perempuan. Hal itu menyangkut beban ganda perempuan, ketimpangan relasi kuasa, bias jender, dan infrastruktur kurang layak. Akibatnya, perempuan sulit mengambil keputusan terkait kesehatan diri dan anaknya.
”Faktor lain yang berhubungan di antaranya status sosial-ekonomi rumah tangga yang rendah, rumah dengan jamban tak layak, air minum yang tidak diolah, serta akses yang buruk terhadap layanan kesehatan di berbagai daerah,” ujar Diah.
Tenaga kesehatan
Diah menambahkan, isu lain yang perlu disoroti adalah terkait pemenuhan tenaga kesehatan. Rasio dokter umum di Indonesia di bawah rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 1 per 1.000 penduduk. Rasio dokter umum di Indonesia hanya 0,84 per 1.000 penduduk.
Namun, pemenuhan tenaga kesehatan jangan hanya berfokus pada dokter. Dari sembilan jenis sumber daya manusia kesehatan yang dibutuhkan di layanan kesehatan primer, baru 42,67 persen puskesmas yang memenuhi jumlah itu.
”Masalah kekurangan SDMK (sumber daya manusia kesehatan) perlu dilihat dari segi permasalahan produksi dan distribusi. Penambahan jumlah fakultas ataupun beasiswa menyasar masalah produksi, sedangkan pemerataan SDMK perlu penyelesaian dari segi distribusi,” tuturnya.
Sebelumnya, capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, mengungkapkan, kondisi kekurangan dokter di Indonesia akan diatasi dengan menambah fakultas kedokteran dari 92 fakultas kedokteran jadi 300 fakultas kedokteran. Selain itu, setidaknya 10.000 anak akan diberikan beasiswa studi kedokteran di luar negeri.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Moh Adib Khumaidi dalam konferensi pers mengenai hasil debat capres isu kesehatan menuturkan, hitungan terkait kebutuhan dokter di Indonesia harus diperhatikan dengan baik.
Apabila jumlah dokter yang diproduksi berlebihan, itu justru dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti potensi konflik yang meningkat, termasuk konflik etik, profesi yang terdegradasi, serta kesejahteraan dokter yang menurun.
Baca juga: Visi-Misi Capres Terfokus pada Layanan Kesehatan
Menurut dia, dengan jumlah fakultas kedokteran yang ada saat ini, kekurangan dokter bisa teratasi dalam lima tahun ke depan. Merujuk pada rekomendasi WHO, kekurangan dokter di Indonesia 60.000 dokter, sedangkan produksi dokter per tahun di Indonesia sekitar 12.000 dokter.
”Jadi, problem sebenarnya ada pada distribusi dokter tidak merata, bukan pada produksinya. Jumlah dokter berlebihan tak akan terlalu bermasalah jika terkonsentrasi secara merata, tetapi kalau tidak merata akan menjadi persoalan,” tuturnya.