Korporasi di Sektor SDA Masih Bisa Sembunyikan Pemilik Manfaat Akhir
Sejumlah korporasi, khususnya di sektor sumber daya alam, masih dapat menyembunyikan pemilik manfaat akhir mereka.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Perkebunan Sawit di Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, akhir April 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Aturan untuk mengenali pemilik manfaat korporasi guna mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang telah ada sejak lima tahun lalu. Namun, sampai sekarang sejumlah korporasi, khususnya yang bergerak di sektor sumber daya alam, terutama perkebunan kelapa sawit, masih dapat menyembunyikan pemilik manfaat akhir mereka.
Hal tersebut terangkum dalam Laporan Studi Akurasi Pelaporan Penerima Manfaat (Beneficial Owner) Korporasi Sektor Industri Kelapa Sawit dan Bubur Kertas di Indonesia yang disusun Greenpeace Indonesia dan diluncurkan di Jakarta, Rabu (31/1/2024).
Laporan ini disusun untuk melihat dan menilai kualitas informasi pemilik manfaat korporasi yang disampaikan sejumlah perusahaan di sektor SDA. Hal ini sekaligus melihat kepatuhan korporasi sesuai Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Mengetahui penerima manfaat korporasi juga sangat penting demi keterbukaan informasi. Informasi terkait penerima manfaat juga bisa digunakan untuk meminta pertanggungjawaban ketika perusahaan melakukan pelanggaran atau kegiatan yang merusak lingkungan.
Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra menyampaikan, studi ini dimulai dengan tahapan mengumpulkan nama-nama perusahaan, klasifikasi, serta pengecekan nama-nama pemilik nilai manfaat. Kemudian dilakukan juga analisis struktur kepemilikan perusahaan untuk tiga grup usaha.
“Ada 1.204 perusahaan yang sudah kami beli profilnya. Dari jumlah tersebut, kemudian kami fokus melihat perusahaan mana saja yang sudah mendeklarasikan pemilik manfaat korporasi di dalam laman Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan sebanyak 77,7 persen perusahaan sudah melaporkan,” ujarnya saat memaparkan hasil laporan tersebut.
Dalam laporan tersebut, Greenpeace juga mengambil tiga studi kasus untuk menilai kualitas informasi pemilik manfaat korporasi yang disampaikan oleh sejumlah perusahaan kelapa sawit di Indonesia. Laporan ini menggunakan sumber data resmi dan terbuka dari laman Kemenkumham dalam rentang tahun 2022 dan diperbarui pada Februari-Maret 2023.
Perlu ada upaya untuk menekan agar tidak ada lagi dalam struktur kepemilikan saham menempatkan perusahaan di negara-negara surga pajak.
Secara spesifik dari studi kasus, laporan ini menemukan, korporasi memiliki keleluasaan untuk tidak melaporkan seluruh pemilik manfaat yang memenuhi kriteria. Kemudian beberapa perusahaan masih mendeklarasikan perusahaan lain yang bukan orang perseorangan sebagai pemilik manfaatnya.
Studi ini juga menemukan kebijakan mengenali pemilik manfaat di Indonesia masih belum optimal. Meski dinilai progresif, Perpres No 13/2018 belum secara tegas mengatur subyek yang harus dilaporkan oleh badan hukum sebagai pemilik manfaat yang merupakan seorang pemilik manfaat akhir atau ultimate beneficial owner.
“Artinya, perpres ini belum benar-benar efektif mewujudkan tujuan dari transparansi pemilik nilai manfaat. Ke depan mungkin perlu ada upaya untuk menekan agar tidak ada lagi dalam struktur kepemilikan saham menempatkan perusahaan di negara-negara surga pajak karena tidak bisa ditelusuri siapa orang di baliknya,” ucap Syahrul.
Greenpeace pun merekomendasikan agar perusahaan diwajibkan mengidentifikasi dan melaporkan nama-nama semua individu yang dianggap ataupun memenuhi kriteria sebagai pemilik manfaat, termasuk pengendali tidak langsung dalam sebuah struktur perusahaan. Kemudian perusahaan juga wajib mengidentifikasi pemilik manfaat untuk setiap kriteria dengan menyertakan dokumen pendukungnya.
Sektor pulp
Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia Linda Rosalina mengatakan, dalam studi terpisah yang dilakukan TUK Indonesia, laporan terkait pemilik manfaat oleh perusahaan di sektor bubur kertas (pulp) memang cukup tinggi dengan persentase mencapai 80 persen. Namun, dalam laporan ini masih dijumpai persoalan akurasi.
“Dari 284 perusahaan di sektor pulp, terdapat 229 perusahaan yang melaporkan siapa pemilik manfaatnya dan 44 perusahaan yang tidak melaporkan. Sementara 11 perusahaan lainnya tidak ditemukan yang berarti ada perbedaan data,” tuturnya.
Linda memberikan catatan pentingnya melakukan verifikasi terhadap laporan yang disampaikan perusahaan untuk mencapai tujuan transparansi dan tingkat akuntabilitas dalam penerapan kebijakan penerima manfaat. Surat edaran yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dapat menjadi contoh verifikasi ini.
Selain itu, sampai sekarang mekanisme sanksi juga belum diterapkan secara efektif untuk menjadi insentif bagi penguatan akurasi pelaporan. Oleh karena itu, penguatan sanksi bisa dilakukan dengan merujuk atau melihat pembelajaran dari negara lain.