Produk Rekayasa Genetika untuk Keamanan Pangan, Penolakan Masih Terjadi
Produk pangan hasil rekayasa genetika semakin banyak yang beredar di pasar, tetapi resistensi masih terjadi.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bioteknologi dinilai bisa membantu menjawab tantangan pertanian dengan mengurangi risiko gagal panen, baik karena tekanan lingkungan maupun penyakit. Sejauh ini sudah puluhan produk pangan, pakan, dan benih tanaman hasil rekayasa genetika yang mendapat sertifikasi keamanan hayati dan beredar di Indonesia, tetapi resistensi di masyarakat masih terjadi.
”Bioteknologi merupakan salah satu alat untuk menjawab berbagai tantangan pangan, misalnya meningkatkan produktivitas. Selain itu, teknologi rekayasa genetika ini juga bisa mengurangi risiko gagal panen karena berbagai ancaman dari luar, baik bencana alam maupun merosotnya daya dukung alam, misalnya kesuburan lahan,” kata Bambang Prasetya, Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika dan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam diskusi daring tentang peran produk rekayasa genetika (PRG) dalam memperkuat ketahanan pangan, Selasa (30/1/2024).
Menurut Bambang, dengan merakit tanaman melalui bioteknologi, perluasan potensi penanaman bisa dilakukan di lahan marjinal, misalnya di sekitar pantai yang memiliki salinitas tinggi dan tanah gambut. Bioteknologi bisa menghasilkan tanaman yang bisa beradaptasi di lingkungan seperti ini.
Peneliti Pusat Riset Hortikultura BRIN Joko Santoso mengatakan, merakit tanaman melalui rekayasa genetik pada prinsipnya adalah untuk menghasilkan sifat tanaman sesuai yang diinginkan. Tanaman transgenik merupakan tanaman yang telah disisipi atau memiliki gen asing dari spesies tanaman yang berbeda atau sama atau makhluk hidup lainnya melalui bioteknologi modern.
”Dibandingkan pemuliaan melalui persilangan konvensional, banyak sifat yang tidak diinginkan ikut terbawa. Ketika melalui rekayasa genetik, kita bisa memasukkan beberapa sifat ke dalam tanaman yang diinginkan,” ujarnya.
Dia mencontohkan, jagung dan kedelai yang sudah disisipi dengan gen toleran herbisida menjadi tahan saat disemprot herbisida. Sementara itu, gulma di sekitarnya menjadi mati.
”Ketika kita menanam jagung dan kedelai yang direkayasa genetika hingga tahan herbisida, kita tidak perlu mencabut rumput atau gulma di sekitarnya, tapi cukup mengaplikasikan herbisida. Di tingkat global, pemasaran produk jagung dan kedelai ini sudah sangat masif,” ujarnya.
Contoh lain, jagung hasil PRG yang telah disisipi gen dari Bacillus thuringiensis sehingga menghasilkan toksin untuk membunuh hama penggerek batang. Tanaman jagung transgenik ini menjadi tahan hama.
”Ada juga padi emas (golden rice) melalui proses rekayasa dengan menyisipkan suatu gen sehingga berasnya mengandung betakaroten atau pro-vitamin A pada bagian endosperm,” ujarnya.
Peredaran di Indonesia
Menurut Bambang, di tingkat global, banyak komoditas strategis yang sudah dihasilkan melalui rekayasa genetika, mulai dari beras, jagung, kentang, gandum, kacang kedelai, buah-buahan seperti pepaya dan apel, hingga ikan salmon. Berdasarkan data hingga tahun 2022, setidaknya ada 32 jenis tanaman pangan hasil rekayasa genetika yang sudah dipasarkan di tingkat global.
”Ada studi yang menyebutkan, bioteknologi telah berkontribusi meningkatkan produktivitas tanaman sebesar 822 ton dengan nilai sekitar 225 miliar dollar AS dalam kurun 1996-2018,” ujarnya.
Sekalipun sudah banyak beredar dan banyak laporan saintifik tentang keamanannya tetapi salah satu tantangan saat ini adalah masih adanya penolakan sebagian masyarakat terhadap PRG.
Menurut dia, berbagai produk pangan hasil PRG juga sudah banyak di Indonesia. Sejak 2011 hingga 2022, Indonesia sudah menerbitkan sertifikasi keamanan hayati untuk berbagai PRG. Untuk komoditas pangan sudah ada 49 produk, di antaranya kedelai, jagung, tebu, dan kanola.
Rekomendasi untuk keamanan hayati pakan telah dikeluarkan untuk 16 produk, di antaranya jagung dan tebu. Adapun untuk produk keamanan hayati lingkungan telah diterbitkan 20 produk berupa 6 tanaman dan 14 vaksin hewan.
"Terbaru, ada sepuluh benih tanaman hasil PRG yang sudah dilepas,” ujarnya. Sepuluh tanaman tersebut, di antaranya tebu NXI4T produk PT Perkebunan Nusantara XI pada tahun 2013, kentang biogranola MoA tahun 2021, jagung DK95-NK603 dari Bayer pada tahun 2022, dan sisanya jagung produksi Sygenta.
Menurut Bambang, sepuluh benih tanaman transgenik ini dilepas karena sudah mendapat sertifikasi keamanan hayati pada 2011-2022 melalui pengkajian keamanan pangan, keamanan lingkungan, dan keamanan pakan. ”Regulasi di Indonesia untuk keamanan tanaman transgenik ini sudah mengacu pada regulasi internasional,” ujarnya.
Bambang mengatakan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) oleh Perserikatan Bangsa-bangsa dalam the Earth Summit di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992. Hal ini kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994.
Berikutnya, Indonesia juga meratifikasi Protokol Cartagena tentang Biosafety of the Convention on Biological Diversity pada 2003 yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004. ”Dengan adanya undang-undang ratifikasi tadi, juga sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan PRG dan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2014 tentang Komite Keamanan Hayati untuk PRG,” ujarnya.
Penolakan di masyarakat
Bambang mengatakan, meski sudah banyak beredar dan banyak laporan saintifik tentang keamanannya, tetapi salah satu tantangan saat ini adalah masih adanya penolakan sebagian masyarakat terhadap PRG. ”Penolakan terhadap produk PRG di masyarakat umumnya terbagi menjadi dua. Kelompok pertama, yang belum memahami dengan baik. Kedua, terkait persaingan dagang. Misalnya, kalau kita merakit produk yang tahan pestisida, maka penghasil pestisida pasti resisten,” ujarnya.
Tak hanya di Indonesia, penolakan terhadap PRG sebenarnya juga terjadi di banyak negara lain. Laporan KL Keatley dari Gilead Science, Amerika Serikat. di jurnal Quality Assurance (2000) menyebutkan, PRG masih menjadi topik kontroversi di Amerika Serikat dan banyak negara maju lain. Masyarakat mempertanyakan keamanannya dan menginginkan produk tersebut diberi label hasil rekayasa genetika.
Menurut Keatley, beberapa kekhawatiran terutama menyangkut soal keamanan PRG untuk penggunaan jangka panjang. Perhatian terutama terkait sifat alergi yang mungkin ditimbulkan oleh produk ini, kemungkinan efek transfer resistensi antibiotik, mengingat gen penanda yang resisten antibiotik digunakan pada banyak PRG. Selain itu, ekspresi sifat yang sebelumnya tidak terekspresikan dan perpindahan serbuk sari dari tanaman hasil rekayasa genetika.