Upaya untuk meredam pemanasan global yang dilakukan Indonesia masih jauh dari cukup untuk mencapai Perjanjian Paris.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aksi dan kebijakan iklim untuk pengurangan emisi di Indonesia dikategorikan sangat tidak mencukupi atau critically insufficient. Artinya, upaya untuk meredam pemanasan global yang dilakukan pemerintah masih jauh dari cukup. Terdapat kesenjangan yang jauh antara kebijakan sekarang dan tingkat emisi yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015, yakni 1,5 derajat celsius.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, aksi mitigasi iklim yang dilakukan Pemerintah Indonesia belum maksimal dan cenderung melemah. Indonesia perlu mengevaluasi kembali target iklim atau nationally determined contributions (NDC) sebesar 29-41 persen pada 2030, serta meningkatkan koordinasi antarsektor agar dapat mengakselerasi pencapaian target Perjanjian Paris.
”Di Indonesia tidak terjadi penurunan emisi, bahkan aksi iklim kita memburuk. Ini disebabkan ada kenaikan emisi pada 2022, salah satunya karena peningkatan konsumsi batubara yang dibakar untuk kegiatan hilirisasi,” kata Fabby di Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Di Indonesia tidak terjadi penurunan emisi, bahkan aksi iklim kita memburuk.
Data Climate Action Tracker (CAT) per Desember 2023 menunjukkan, emisi Indonesia pada 2022 sekitar 1.805 metrik ton karbon dioksida ekuivalen (MtCOe2). Jika kebijakan iklim saat ini tidak diperbaiki, emisi di Indonesia hanya turun 1.487 MtCOe2 sampai 1.28 MtCOe2. Angka ini masih perlu diturunkan sekitar 800 MtCOe2 pada 2030 agar target penurunan emisinya sejalan dengan Perjanjian Paris.
Berdasarkan penilaian CAT tersebut, Indonesia perlu meningkatkan persentase bauran energi terbarukan berkisar 55-80 persen pada tahun 2030.
”Belum ada negara yang sesuai dengan Perjanjian Paris, tetapi Indonesia masih amat jauh, ada sekitar 800 MtCOe2 yang harus ditutup dan kita hanya punya enam sampai tujuh tahun hingga akhir dekade ini,” kata Koordinator Proyek CAT, IESR, Delima Ramadhani.
Operasionalisasi pembangkit listrik batubara baru dan sistem kuantifikasi emisi dari pembangkit off-grid (pembangkit listrik tenaga surya independen) menyebabkan kenaikan emisi di Indonesia sekitar 21 persen di 2022. Selain itu, emisi Indonesia juga diproyeksikan naik sekitar 300 MtCOe2 pada 2030.
”Cukup sedih untuk disampaikan bahwa kita sekarang critically insufficient. Artinya, apabila negara memiliki kebijakan yang sama seperti Indonesia, maka kenaikan suhu global bisa mencapai 4 derajat celsius. Ini penilaian paling rendah dalam CAT,” tuturnya.
Padahal, tahun 2023 saja sudah dinobatkan sebagai salah satu tahun terpanas, dengan kenaikan suhu global mencapai 1,4 derajat celsius sejak era pra-industri. Perhelatan COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, juga menyatakan bahwa kebijakan serta aksi yang dilakukan oleh negara-negara di dunia masih belum dapat mengurangi laju peningkatan emisi agar sejalan dengan target Perjanjian Paris.
Kepala Deputi Pemantauan Pelaksanaan Mitigasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Franky Zamzani berpendapat, ada perbedaan perhitungan data di atas dengan pemerintah. Realisasi pengurangan emisi Indonesia menurut pemerintah sudah di bawah ambang batas. Data KLHK menunjukkan emisi Indonesia pada 2022 sekitar 998 MtCOe2 atau menurun 884 MtCOe2 (42 persen) dari target 1.220 MtCOe2.
”Saya belum tahu juga metodologi IESR ini. Kami belum melihat lagi laporan ini karena sebetulnya kalau (kebijakan) ini diteruskan sampai 2030 saya optimistis target itu tercapai, apalagi kita tambah. Namun, kalau model ini diubah lagi, kita belum tahu bagaimana (dampaknya),” kata Franky.
Koordinator Direktorat Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Anna Amalia, mengatakan, perbedaan data akan selalu terjadi jika dianalisis dengan metode yang berbeda. Namun, kedua data ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang banyak untuk memenuhi Perjanjian Paris.
Menurut Anna, sejumlah upaya pemerintah dengan kebijakan aksi iklim pada 2023, seperti pembangunan PLTS Terapung Cirata yang menjadi terbesar di Asia Tenggara dan kilang green hydrogen pertama di Indonesia, serta kebijakan lainnya, akan terus digenjot. Semua kebijakan sudah disiapkan dalam rencana pembangunan nasional jangka pendek, menengah, dan panjang.
”Pemerintah kini bergerak lebih progresif, 20 tahun ke depan kita akan punya rencana jangka panjang yang sangat menitikberatkan penurunan emisi dan tentunya kebijakan di bawahnya akan mengikuti,” kata Anna.
Anna juga memastikan bahwa rencana pembangunan nasional jangka panjang ini tengah digodok dan akan disepakati sebelum masa pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir. Oleh karena itu, pemerintahan selanjutnya tetap harus melaksanakan rencana yang dibuat saat ini.