Sistem Pendidikan Modern Menghambat Regenerasi Petani
Generasi X masih mendominasi pekerja pertanian di Indonesia, yakni 42,39 persen. Gen Z hanya 2,14 persen.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem pendidikan modern turut memengaruhi terhambatnya regenerasi petani, mahasiswa yang hidup di perkotaan kebanyakan enggan menerapkan ilmunya langsung di sawah atau hulunya karena lebih memilih bekerja di sektor hilir dalam sistem pertanian. Faktor penghasilan yang tidak menentu juga menghambat regenerasi petani.
Antropolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, Yusuf Ernawan, mengatakan, permasalahan tersebut sudah terjadi pada 1830-an hingga sekarang. Dalam teori involusi yang dijelaskan antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz, dijelaskan bahwa ketertarikan orang desa terhadap kawasannya mengalami penurunan setelah munculnya perkotaan dan model-model pendidikan modern yang bersifat teknis.
”Permasalahan terkait hilangnya minat generasi muda Indonesia untuk berprofesi sebagai petani memang sudah terjadi sejak lama. Ya, karena model pendidikan saat ini sifatnya modern teknis yang tidak berhubungan secara langsung dengan pertanian,” kata Yusuf, Sabtu (27/1/2024).
43 persen mahasiswa IPB lebih berminat bekerja di sektor hilir, seperti menjadi pebisnis pertanian atau agropreneur.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, generasi X (43-58 tahun) masih mendominasi pekerja pertanian di Indonesia, yakni 42,39 persen. Disusul baby boomer (59-77 tahun) sebanyak 27,61 persen dan milenial (27-42 tahun) mencapai 25,61 persen.
Sementara petani dari generasi Z (11-26 tahun) memiliki proporsi paling sedikit, yaitu hanya 2,14 persen. Adapun petani berusia lebih dari 78 tahun atau pre-boomer yang masih aktif bertani sebanyak 2,24 persen.
Yusuf menilai, berbagai upaya sektor pendidikan untuk mengembalikan lagi mahasiswa ke sektor pertanian, seperti melalui kuliah kerja nyata (KKN), pengabdian, sosialisasi, dan sebagainya sering kali hanya formalitas. Orientasinya pendidikan modern yang membentuk sarjana-sarjana atau elite-elite tinggal di kota dan bekerja di bidang jasa dan jika dipaksakan pulang ke desa akan mengalami kesulitan untuk mengimplementasikan ilmunya.
”Karena memang sudah tidak sejalan dan tingkat kreativitas setiap individu juga berbeda untuk bertahan,” ucapnya.
Masyarakat kota seharusnya juga turut membantu mengatasi ketahanan pangan, bukan hanya mengonsumsi saja. Misalnya, dengan menanam tanaman sayur di rumah atau lingkungan sendiri serta mengolah tanah kosong di perkotaan untuk pemenuhan pangan skala mikro. Sementara pemerintah juga tetap harus memberdayakan masyarakat perdesaan dengan meningkatkan teknologi pertanian.
Dalam diskusi pangan, Rabu (24/1/2024), Rektor IPB University Arif Satria mengakui bahwa 43 persen mahasiswanya lebih berminat bekerja di sektor hilir, seperti menjadi pebisnis pertanian atau agropreneur. Maka dari itu, mereka membuat program Inkubator Bisnis IPB sejak 1994 yang kini sudah mencapai 327 perusahaan rintisan di bidang pertanian dengan tingkat keberhasilan 70,6 persen.
”CEO-nya mahasiswa tingkat akhir atau alumni IPB yang tugasnya mendiseminasi produknya di lapangan, lalu membuka pasar karena masalah sekarang itu di pasarnya,” kata Arif dalam diskusi yang diselenggarakan Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL).
Intensifikasi lahan
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta, juga menambahkan, masalah ketahanan pangan nasional harus diatasi dengan intensifikasi lahan, bukan ekstensifikasi. Selain menelan biaya yang besar untuk lingkungan, ekstensifikasi lahan atau menambah areal baru juga akan menghasilkan emisi karbon yang akan memperparah kerusakan alam.
”Intensifikasi lahan bisa dilakukan melalui benih unggul hingga akses pupuk. Melihat lagi kesenjangan produktivitas pertanian antara pulau Jawa dan luar Jawa masih cenderung besar, maka, optimalisasi lahan pertanian yang ada perlu terus digenjot,” kata Aditya.
Penelitian CIPS menunjukkan, produktivitas pertanian padi di Jawa mencapai 5,64 ton per hektar atau 23 persen lebih tinggi daripada produktivitas padi di luar Jawa yang 4,58 ton per ha. Luas panen padi di luar Jawa mencakup sekitar 50 persen dari luas panen padi nasional, tetapi kontribusinya pada produksi padi nasional hanya 44 persen.