Sekolah Gratis Masih Diskriminatif, Siswa Tidak Mampu Jadi Korban
Semua anak bangsa berhak menuntaskan pendidikan dasar berkualitas.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bersekolah gratis untuk jenjang pendidikan dasar dinilai masih diskriminatif karena pemerintah hanya memberlakukan di sekolah negeri. Pada praktiknya, sekolah gratis pun tidak sepenuhnya bebas biaya. Hal ini membuat upaya penuntasan pendidikan dasar masih menjadi beban bagi masyarakat, terutama dari kalangan keluarga tidak mampu.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, Rabu (24/1/2024), di Jakarta, mengatakan, pemerintah telah menyatakan wajib belajar 12 tahun dari SD hingga SMA/SMK sederajat. Namun, layanan sekolah negeri yang disediakan pemerintah daerah terbatas. Kondisi ini memaksa banyak anak dari keluarga tidak mampu bersekolah di swasta dengan konsekuensi mengeluarkan biaya.
Namun, kenyataan di sekolah negeri sekalipun masih ada pungutan liar yang membebani siswa. Penyebabnya, biaya operasional sekolah yang masih minim untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas.
Ubaid mengatakan, JPPI bersama dengan sejumlah orangtua yang menjadi korban penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang diskriminatif tersebut mengajukan gugatan ke Mahakamah Konstitusi (MK). Pada Selasa kemarin digelar sidang perdana gugatan materi Pasal 34 Ayat (2) Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Pasal ini merupakan pasal penting yang menjamin anak-anak Indonesia untuk bisa bersekolah bebas biaya.
”Tapi, sayangnya, pasal ini ditafsirkan sepihak oleh pemerintah, dan hanya diberlakukan di sekolah negeri. Di sekolah negeri pun tidak sepenuhnya bebas biaya karena banyaknya pungutan (liar) di sana-sini,” kata Ubaid.
Ubaid menilai, anak-anak di usia wajib mengenyam pendidikan dasar sama-sama anak Indonesia. Namun, pada praktiknya mereka mendapatkan layanan pendidikan yang berbeda-beda.
Pada Pasal 34 Ayat (2) UU Sisdiknas No 20/2003 dinyatakan, ”Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. ”Pasal ini jelas mewajibkan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bebas biaya. Kenyataannya, masih banyak orangtua yang harus merogoh kocek dalam-dalam supaya bisa menyekolahkan anaknya. Ini yang kita persoalkan dalam materi persidangan,” ujar Ubaid.
Pemerintah akan terus meningkatkan kualitas pelaksanaan program PIP sebagai bagian dari upaya pemerataan hak dan kualitas pendidikan sehingga semua anak Indonesia dapat merasakan manfaat dari program tersebut.
Tafsir dan praktik penerapan yang dilakukan pemerintah atas pasal 34 Ayat (2) ini telah memakan banyak korban. Mereka adalah anak-anak Indonesia yang tidak kebagian bangku sekolah negeri karena daya tampung yang disediakan tidak sebanding dengan jumlah anak yang mau bersekolah. Anak-anak terpaksa masuk ke sekolah swasta yang berbiaya.
Gugatan ke MK ini memperjuangkan, seharusnya makna ”tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 Ayat (2) UU Sisdiknas adalah setiap warga negara, tanpa terkecuali, berhak mendapat pendidikan tanpa harus membayar biaya pendidikan. Biaya itu meliputi biaya SPP, biaya buku, biaya seragam, biaya transportasi, dan biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan.
Program Indonesia Pintar
Secara terpisah, Kepala Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Abdul Kahar mengatakan, pemerintah menyedikan bantuan dana pendidikan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu lewat Program Indonesia Pintar (PIP). Sasaran penerima PIP bersumber dari tiga data, yaitu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang telah terverifikasi oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Data DTKS tersebut selanjutnya dipadankan dengan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) untuk mengecek keberadaaan pelajar tersebut di sekolah.
Selain itu, lanjut Kahar, sejak 2023 Puslapdik telah memadankan Data Pensasaran Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). ”Dengan data P3KE diharapkan ketepatan sasaran bantuan PIP menjadi jauh lebih baik karena pada dasarnya data hasil dari BKKBN tersebut basisnya adalah keluarga,” ujar Kahar.
Para orangtua siswa antre untuk mencairkan dana Program Indonesia Pintar (PIP) di Bank BRI Unit Bintaro, Jakarta Selatan, Kamis (15/4/2021).
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, tiap tahun penyaluran PIP ditargetkan kepada 17,9 juta pelajar dengan anggaran Rp 9,7 triliun. Pada tahun ini, Kemendikbudristek menambah sasaran untuk jenjang SMA sebanyak 567.531 pelajar dan jenjang SMK sebanyak 99.104 pelajar. Penerima PIP mencapai 18,6 juta pelajar.
”Penambahan jumlah sasaran tersebut bersamaan dengan peningkatan satuan bantuan yang semula Rp 1.000.000 menjadi Rp 1.800.000 untuk pelajar SMA dan SMK,” ucap Nadiem.
PIP untuk jenjang SD senilai Rp 450.000 per tahun dan SMP sebesar Rp 750.000 per tahun. Selain PIP, para pelajar SMA dan SMK yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi terbuka untuk kembali mendapatkan bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah.
”Pemerintah akan terus meningkatkan kualitas pelaksanaan program PIP sebagai bagian dari upaya pemerataan hak dan kualitas pendidikan sehingga semua anak Indonesia dapat merasakan manfaat dari program tersebut,” kata Nadiem.
Neisya Cantika Putri, siswi kelas XII SMK Citra Medika, Magelang, Jawa Tengah, menerima bantuan PIP sejak SD. ”Dana dari PIP ini sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan sekolah, seperti buku, sepatu, dan tas. Bantuan PIP ini telah banyak membantu anak-anak Indonesia yang kurang mampu serta menjadi motivasi bagi kami sebagai pelajar untuk sekolah hingga jenjang yang lebih tinggi lagi,” kata Neisya.