Jawab Kecemasan, Anak Muda Bangun Lingkungan Pangan Sehat
Anak dan remaja menghadapi masalah malanutrisi kompleks, yakni kurang gizi, obesitas, dan kekurangan zat gizi mikro.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·6 menit baca
Zeehan Khairunnisa Afriansyah yang duduk di bangku kelas IX SMP Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Jakarta bukannya tidak mau memilih pangan yang sehat. Ketika jajan di kantin sekolah ataupun di sekitar sekolah, ia lebih mudah mendapatkan makanan yang mengandung banyak garam, gula, dan lemak.
Belum lagi jika ingin memesan makanan melalui aplikasi, pilihan makanan yang tersedia lebih banyak yang cenderung kurang sehat. Itu seperti makanan siap saji, makanan dengan lauk yang digoreng dengan banyak minyak, ataupun minuman manis dengan boba yang menggiurkan. Selain mudah didapatkan, harga makanan tersebut juga lebih terjangkau. Promo atau diskon pun sering diberikan untuk jenis makanan itu.
Berbeda dengan makanan yang lebih sehat yang rendah gula, garam, dan lemak. Makanan-makanan tersebut tidak banyak tersedia, baik di kantin sekolah maupun di dekat tempat tinggal. Harganya juga biasanya lebih mahal.
Kecemasan yang sama juga disampaikan Assyifa Nur’aini. Mahasiswa Departemen Gizi Kesehatan dari Universitas Gadjah Mada tersebut kesulitan mendapatkan makanan yang lebih sehat ketika bepergian ke tempat wisata. ”Ada banyak produk yang dijual oleh pedagang ataupun kelompok UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) di sekitar tempat wisata. Namun, kandungan yang digunakan pada produk yang dijual tidak jelas,” tuturnya.
Berangkat dari persoalan tersebut, baik Zeehan maupun Assyifa akhirnya berinisiatif untuk mendorong lingkungan di sekitar tempat tinggalnya agar bisa menyajikan produk pangan yang lebih sehat dan bergizi bagi mereka. Lewat kegiatan Health Heroes Nutrihunt yang mereka ikuti, berbagai pengetahuan mengenai pangan yang sehat dan bergizi didapatkan secara lebih baik.
Dari bekal pengetahuan itulah, mereka akhirnya coba mengimplementasikannya di lingkungan sekolah dan tempat tinggalnya. Health Heroes Nutrihunt merupakan program kerja sama antara Kementerian Kesehatan, Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN), dan Foundation Botnar yang bertujuan untuk mengubah perilaku remaja agar mengonsumsi makanan yang lebih sehat.
Zeehan telah berhasil mendorong sekolahnya untuk bisa menyediakan kantin sehat. Di kantin tersebut, makanan yang dijual oleh penjual kantin sesuai dengan takaran gizi yang dibutuhkan. Jajanan dengan kandungan gula, garam, dan lemak yang tinggi tidak lagi tersedia. Tidak hanya itu, kantin sehat di sekolahnya kini juga dilengkapi dengan berbagai papan informasi yang berisi edukasi mengenai pangan yang sehat dan aman. Label kandungan gizi pada setiap makanan yang dijual di kantin juga disertakan.
Sementara Assyifa mengimplementasikan ide mengenai pangan yang sehat dan bergizi ketika ia menjalankan program kuliah kerja nyata (KKN). Ia bersama timnya melakukan inkubasi ke UMKM di kawasan wisata di Pangalengan, Jawa Barat. Para pelaku UMKM di wilayah tersebut diedukasi dan didampingi untuk membuat label informasi gizi pada setiap produk yang dihasilkan. Para pelaku UMKM juga mendapatkan edukasi mengenai takaran penggunaan gula, garam, dan lemak yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan.
”Dengan cara ini harapannya, masyarakat yang menjadi wisatawan juga lebih mudah mendapatkan makanan yang lebih sehat ketika datang ke tempat wisata. Para pelaku UMKM sebenarnya mau menyediakan makanan yang lebih sehat. Selama ini mereka hanya tidak tahu harus mulai dari mana,” kata Assyifa.
Gizi anak dan remaja
Country Director GAIN Agnes Malipu menuturkan, kesadaran anak-anak dan remaja mengenai pemilihan pangan yang sehat harus terus ditingkatkan. Kesadaran yang baik akan pangan sehat tidak hanya bermanfaat bagi diri mereka, tetapi juga lingkungan di sekitarnya. Anak-anak dan remaja sekaligus bisa mengadvokasi teman sebayanya untuk juga lebih sadar akan pentingnya mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi.
”Kemudahan akses pada makanan sekarang ini justru menjadi ironi karena makanan yang lebih sehat cenderung sulit didapatkan. Tidak sedikit pula orangtua yang karena sudah sibuk dengan kegiatannya menjadi terbatas untuk menyediakan bekal yang sehat untuk anaknya, sementara pilihan makanan di sekolah juga tidak diketahui pasti kandungannya,” tuturnya.
Kemudahan akses pada makanan sekarang ini justru menjadi ironi karena makanan yang lebih sehat cenderung sulit didapatkan.
Itu sebabnya, ia berharap kerja sama lintas sektor bisa semakin kuat untuk membangun lingkungan pangan yang lebih sehat bagi anak-anak dan remaja. Menurut dia, jika masyarakat ingin setiap anak lebih banyak mengonsumsi makanan yang sehat, makanan yang sehat itu harus dipastikan mudah dijangkau. Selain jangkauan terhadap ketersediaan, harga pada produk pangan tersebut juga terjangkau.
Ketersediaan akses serta kesadaran akan pentingnya makanan yang sehat dan bergizi semakin mendesak. Sebab, anak-anak dan remaja di Indonesia terbebani dengan masalah gizi, baik kekurangan gizi maupun gizi berlebih yang menyebabkan obesitas.
Ahli biokimia gizi yang juga Guru Besar IPB University Rimbawan menuturkan, anak dan remaja di Indonesia menghadapi beban tiga kali ganda malanutrisi (triple burden malnutrition), yakni kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan kekurangan zat gizi mikro.
Setidaknya tercatat ada 21,6 persen anak yang mengalami tengkes (stunting). Sebanyak 26 persen anak usia 5-14 tahun mengalami anemia, dan 32 persen anak usia 15-24 tahun mengalami anemia. Kondisi anemia terjadi ketika anak kekurangan zat besi yang merupakan salah satu zat gizi mikro yang penting untuk pertumbuhan.
Namun, di lain sisi, angka obesitas sentral pada anak dan remaja juga tinggi. Sebanyak 8,1 persen ditemukan pada anak usia 5-12 tahun, 26,9 persen pada anak usia 13-15 tahun, dan 13,5 persen pada anak usia 16-18 tahun.
Selain itu, perilaku anak dan remaja terkait gizi juga kurang baik. Sebanyak 50,4 persen anak usia 10-14 tahun mengonsumsi makan manis, sebanyak 61,86 persen mengonsumsi minuman manis, 44,2 persen mengonsumsi makanan berlemak, dan 78,5 persen mengonsumsi makanan berpenyedap yang melebihi batasan yang ditetapkan. Kondisi tersebut diperburuk dengan tingginya angka kurang aktivitas fisik.
Rimbawan mengatakan, pedoman gizi seimbang dan aturan mengenai label informasi gizi sudah diatur oleh pemerintah. Pada peraturan menteri kesehatan juga disebutkan agar masyarakat membatasi makanan yang manis, asin, dan berlemak serta membiasakan diri untuk membaca label gizi pada kemasan. ”Jadi sudah ada peraturannya, tetapi belum banyak disosialisasikan, termasuk ke anak dan remaja,” katanya.
Asisten Deputi Bidang Ketahanan Gizi dan Promosi Kesehatan Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Jelsi Natalia Marampa menyampaikan, koordinasi dari lintas sektor akan semakin diperkuat untuk memastikan gizi pada anak dan remaja bisa lebih terjamin. Pemerintah pun kini sedang menyusun aturan mengenai penerapan cukai untuk minuman manis dalam kemasan. Upaya peningkatan gizi akan dikembangkan pula untuk anak sekolah dasar, setelah upaya peningkatan gizi pada remaja dan 1.000 hari pertama kehidupan telah berjalan.
Diharapkan, ketersediaan akses pangan yang sehat dan aman bagi anak dan remaja bisa lebih baik. Hal itu diperlukan untuk mencegah berbagai penyakit yang bisa terjadi di masa depan. Konsumsi makanan dan minuman dengan kandungan gula, garam, dan lemak yang tinggi di usia muda akan berisiko menyebabkan penyakit tidak menular di masa depan. Akibatnya, produktivitas masyarakat akan menurun dan beban pembiayaan kesehatan akan semakin meningkat.